SEORANG wanita pasti akan mengalami masa, di mana kotoran yang ada pada dinding rahimnya meluruh atau yang biasa kita kenal dengan haid. Biasanya haid ini tiba sebulan sekali dengan jangka waktu paling lama 14-15 hari. Nah, ketika sedang berada dalam kondisi seperti ini, namanya manusia, seorang suami pasti ada keinginan untuk menggauli istrinya. Lalu, bagaimana jika hal tersebut terjadi?
Seringkali istri yang sedang haid, karena takut suaminya melakukan hal terlarang dengan dirinya, yakni melakukan jima’, maka sang istri memutuskan untuk menjauhi suaminya. Jika demikian, apakah itu termasuk istri pembangkang suami? Tentu saja hal itu diperbolehkan. Dengan catatan, jika suami selalu menyepelekan perkara terlarang itu dan tidak banyak menguasai pengetahuan agama. Hal ini perlu dilakukan agar tidak terjadi keburukan yang mungkar.
BACA JUGA: Mengapa Jima Jadi Sedekah bagi Suami untuk Istri?
Lalu bagaimana menghadapi suami yang telah paham dengan agama dan mengerti mengenai ketentuan tersebut? Imam Muslim dalam kitab Shahihnya, di Kitaabul Haidh (no. 455) mengatakan bahwa, “Lakukanlah segala sesuatu bersama istri yang sedang haid kecuali nikah (senggama lewat vagina).”
Maka, bagi seorang istri, dalam menghadapi suami yang seperti itu dianjurkan untuk tidak meninggalkan suami seorang diri. Seorang suami diperbolehkan beristimta’ (bercumbu) dengan istrinya dengan cara tidur bersamanya, mengecupnya, dengan tidak melakukan jima’ (senggama dengannya).
Hal ini juga sesuai dengan sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan Ibnu Majah di Kitaabut Thahaarah wa Sunanihaa (no. 286), “Lakukan segala sesuatu kecuali jima’ (senggama).”
BACA JUGA: 4 Tips Jima kembali Bergairah, Suami-Istri Wajib Tahu
Itulah yang dapat dilakukan oleh suami istri jika sang istri sedang haid dan suami ingin menggauli istrinya. Sekali lagi, istri tetap harus berada di samping suaminya dan jangan meninggalkannya, jika suami itu paham tentang hukum Allah tersebut.
Namun, jika tidak paham, maka istri diperbolehkan menjauhi suaminya. Bagi suami, harus mengerti dengan keadaan istrinya yang sedang dalam keadaan haid. Ia harus bisa menahan nafsu syahwatnya untuk melakukan senggama atau jima’ dengannya. []
Sumber: Fiqih Hubungan Intim/Karya: Syaikh Abu Malik bin as-Sayyid Salim/Penerbit: Pustaka Ibnu Umar]