Oleh: Rana Setiawan
Redaktur Kantor Berita MINA (Mi’raj News Agency), Penulis juga aktif menjadi Aktivis Islam dan Kemanusiaan dan pegiat Aqsa Working Group (AWG), rana@mirajnews.com
Kamis 2 November 2017, hari bersejarah bertepatan dengan 100 tahun Deklarasi Balfour. Deklarasi itu diyakini sebagai asal mula proyek penjajahan, juga akar konflik antara Palestina dan Israel yang masih berlanjut sampai hari ini.
Ada keterikatan kuat dalam sejarah Palestina antara Deklarasi Balfour, pembersihan etnis tahun 1948 dan pendudukan tahun 1967. Tentunya fakta-fakta mendasar yang perlu diingat oleh kita:
Fakta Pertama
Hampir 70 tahun lalu, tepatnya pada 14 Mei 1948, Palestina dicaplok dengan paksa melawan kehendak mayoritas penduduk pribuminya (Arab Palestina), berdirilah negara ‘sepihak’ Israel. Milisi Zionis yang kemudian membentuk basis tentara Israel mengusir sebagian besar rakyat Palestina, menggunakan kekerasan, teror, dan pembantaian. Sedikitnya 15.000 nyawa Palestina terenggut akibat kebengisan tentara-tentara Israel.
Sekitar 900.000 warga Palestina diusir dari tanah air mereka atau terpaksa melarikan diri dari rumah-rumah mereka. Peristiwa ini diperingati rakyat Palestina dan masyarakat dunia sebagai peristiwa “Hari Nakbah” (bencana).
Hari ini, rakyat Palestina dan keturunan mereka sudah mencapai 8,49 juta orang tersebar di belahan dunia. Hingga kini, Israel terus menghalangi mereka untuk kembali ke tanah airnya. Sekitar 7 juta pengungsi Palestina yang masih hidup dalam kondisi sulit tersebar di seluruh wilayah Palestina yang diduduki Israel, Yordania, Lebanon, dan bahkan Suriah.
Fakta Kedua
Lebih 50 tahun lalu, pada Juni 1967, Israel melancarkan perang dan serangkaian agresi militer terhadap negara-negara tetangganya, dan dalam masa tersebut secara ilegal menduduki wilayah Palestina yang tersisa di Tepi Barat dan Jalur Gaza (juga Dataran Tinggi Golan Suriah). Masjid Al-Aqsha di Kota Al-Quds (Yerusalem) ikut dicaplok otoritas penjajah Zionis itu. Peristiwa ini lebih dikenal dengan “Hari Naksah” (kemunduran).
Kediktatoran militer yang dipaksakan Israel masih ada hingga saat ini. Hak-hak dasar kemanusiaan orang-orang Palestina yang tinggal di wilayah tersebut secara sistematis ditolak oleh Israel, menjalankan sistem diskriminasi rasis yang dirancang dengan sengaja di sana.
Saat ini Israel menguasai lebih dari 85 persen tanah Palestina atau sekitar 27 ribu kilometer persegi. Adapun yang tersisa bagi rakyat Palestina sendiri hanya sekitar 15 persen. Israel mendirikan wilayah terisolir sepanjang perbatasan dengan Jalur Gaza dengan mencaplok sekitar 24 persen wilayah kantong Palestina itu atau sekitar 360 kilometer persegi.
Fakta Ketiga
Pada hari ini tepat 100 tahun lalu, pemerintah Inggris mengeluarkan “Deklarasi Balfour,” yang berjanji akan menyerahkan tanah Palestina ke sebuah gerakan penjajah – Zionisme. Deklarasi yang ditulis saat Perang Dunia I oleh Menteri Luar Negeri Inggris kala itu, Arthur James Balfour kepada Walter Rothschild, anak kedua dari Baron Rothschild pemimpin komunitas Yahudi Inggris, untuk dikirimkan kepada Federasi Zionis.
Waktu itu Inggris sedang berperang dengan kekhalifahan Turki Utsmani, dan uniknya Palestina saat itu bahkan belum pernah diduduki oleh Inggris. Palestina tidak pernah diberikan kepada pihak manapun oleh Kerajaan Inggris.
Sebelumnya, sebagian besar wilayah Palestina berada di bawah kekuasaan Khilafah Turki Utsmani, namun kemudian dibuat batas-batas baru Palestina dalam Perjanjian Sykes-Picot 16 Mei 1916 antara Inggris dan Perancis. Sebagai balasan untuk komitmen dalam deklarasi tersebut, komunitas Yahudi meyakinkan Amerika Serikat untuk ikut dalam Perang Dunia I.
Setelah berakhirnya Mandat Inggris di Palestina, Israel mengumumkan kemerdekaannya pada 1948 usai Majelis Umum PBB (1947) memilih untuk mendukung sebuah rencana guna membagi Palestina menjadi negara Palestina dan negara Yahudi, yang seketika ditolak oleh Perwakilan Palestina. sejak saat itu, jumlah orang Yahudi di Palestina meningkat dari 48.000 di tahun 1917 menjadi 608.230 pemukim pada tahun 1947.
Adanya Deklarasi Balfour menandakan Inggris telah membantu merampas sebuah negeri dari penduduk pribuminya secara paksa. “Rumah Nasional” yang dijanjikan untuk Zionis itu diciptakan di atas puing-puing bangunan dan desa Palestina.
Sebuah kampanye internasional yang menggugat Deklarasi Balfour pun kian meluas. Pada 2013, sebanyak 220 delegasi dari berbagai negara menandatangani memorandum yang menuntut Inggris meminta maaf atas Deklarasi Balfour. Penandatangan petisi itu dilakukan dalam sebuah konferensi yang digelar di Kairo dari 4-6 April 2013, dihadiri para pemuka dari negara-negara Arab dan Muslim.
Lalu pertengahan April 2017, sebuah petisi online disebar secara global dan masif bernama The Balfour Apology Campaign (BAC), muncul untuk mendesak Inggris meminta maaf. Setidaknya lebih dari 12.000 orang menandatangi petisi tersebut. Di Inggris, petisi dengan lebih dari 10.000 tandatangan harus menerima tanggapan resmi dari pemerintah Inggris. Namun, Inggris lagi-lagi menolak meminta maaf.
Apa yang dilakukan oleh banyak aktivis di seluruh dunia yang menggugat Deklarasi Balfour adalah aksi kemanusiaan sebagai bentuk penentangan terhadap penjajahan dan politik apartheid Israel.
Pada Kamis 2 November 2017, masyarakat dunia juga tengah menggaungkan gugatan terhadap deklarasi imprealis itu. Terutama Indonesia, melalui Indonesian Consortium for Liberation of Al-Aqsha terdiri atas beberapa lembaga pendukung perjuangan Palestina menggelar Focus Group Discussion (FGD) soal upaya yang bisa dilakukan dalam rangka menggugat Deklarasi Balfour.
ICLA sendiri terdiri dari Aqsa Working Group (AWG), Syubban Jamaah Muslimin (Hizbullah), Medical Emergency Rescue Committee (MER-C), Mi’raj News Agency (MINA), dan Radio Silaturrahim (Rasil).
Diskusi bekerjasama dengan Kedutaan Besar Palestina untuk Indonesia tersebut bertujuan menekan pemerintah Inggris karena telah memulai penjajahan di wilayah itu dan mendesak Israel mengakhiri penjajahannya.
Diskusi yang digelar di Kedutaan Besar Palestina untuk Indonesia di Jakarta menghadirkan para pembicara yang dikenal secara konsisten menyuarakan perjuangan Palestina, di antaranya: KH Yakhsyallah Mansur, MA., Imaam Jama’ah Muslimin (Hizbullah); Mr. Taher Hamad (Kuasa Usaha Ad Interm Kedutaan Besar Palestina untuk Indonesia); Prof. Dr. Makarim Wibisono (Former Pelapor Khusus PBB untuk situasi HAM di Palestina), dr. Sarbini Abdul Murad (Presidium Medical Emergency Rescue Committee – MER-C), dan Sakuri, SH. (Pegiat Aqsa Working Group – AWG). Juga dihadiri para tokoh dan aktivis.
Deklarasi Balfour tidak seharusnya dirayakan. Kita malah harus berkampanye agar deklarasi itu bisa dibatalkan. Tentu kita harus lantang menyatakan “Rakyat Indonesia, masyarakat dunia, menggugat Deklarasi Balfour.” Ini sejalan dengan amanat Undang Undang Dasar (UUD) 1945 yang mengharuskan kita menolak segala bentuk penjajahan.
Sebagai gantinya, dibutuhkan sebuah perdamaian yang nyata di mana semua orang yang tinggal di antara Sungai Yordania dan Laut Tengah itu dapat hidup dalam persamaan dan tanpa peraturan militer, sistem diskriminasi rasial atau perang secara berterusan, salah satu spirit masyarakat madani. []