“Puasa dan Al-Qur’an akan memberikan syafaat bagi seorang hamba pada hari kiamat. Puasa berkata, ‘Wahai Tuhanku sesungguhnya aku menghalanginya dari makan dan syahwat pada siang hari, maka berikanlah syafaat kepadaku untuknya. Lalu Al-Qur’an berkata, ‘Wahai Tuhanku, sesungguhnya aku telah menghalanginya dari tidur waktu malam hari, maka berikanlah syafaat kepadaku untuknya. Maka keduanya dapat memberikan syafaat.” (HR. Ahmad, Ath-Thabrani dan Hakim. Dishahihkan oleh Al-Albany dalam Shahih Al-Jami, no. 3882).
MENGHAFAL al-Qur’an mempunyai keutamaan di dunia dan di akhirat. Keutamaan di dunia di antaranya adalah nikmat Rabbani yang datang dari Allah, yang menjanjikan kebaikan, keberkahan dan kenikmatan dan ilmu bagi penghafalnya. Dan para penghafal Al-Qur’an mendapatkan Tasyrif Nabawi (penghargaan khusus dari Nabi). Dan seorang yang menghafal Al-Qur’an orang-orang terhormat yang merupakan keluarga Allah yang ada di atas bumi.
Di akhirat kelak, selain akan mendapatkan syafaat, para penghafal Al-Qur’an juga mendapat kehormatan berupa Tajul Karomah (mahkota kemuliaan) bagi dirinya dan kedua orang tuanya.
1. Sejarah menjaga kemurnian al-Qur’an
Tak bisa disangkal bahwa Nabi Muhammad SAW menerima wahyu al-Qur’an dari Jibril dengan cara hafalan, karena beliau adalah seorang ummy (al-‘Ankabut : 48). Demikian pula beliau mengajarkan kepada para sahabat. Setiap kali turun ayat al-Qur’an para sahabat yang kebanyakan juga tidak bisa baca tulis dengan penuh semangat menghafal ayat-ayat al-Qur’an yang mereka terima dari Nabi, di samping ada beberapa sahabat yang diminta untuk menuliskannya.
Lalu muncullah gagasan untuk mengumpulkan al-Qur’an pada masa kekhalifahan Abu Bakar Siddiq ra dari Umar ibnu Khattab ra. Umar merasa khawatir akan hilangnya sebagian Al-Qur’an dari penghafalnya yang banyak gugur dalam pertempuran.
Oleh sebab itu khalifah Abu Bakar ra memerintahkan Zaid bin Tsabit, penulis suhuf-suhuf di zaman Rasulullah untuk mengumpulkan suhuf-suhuf al-Qur’an, baik yang terdapat pada pelepah kurma, tulang hewan maupun dari para penghafal Al-Qur’an yang masih hidup. Dengan demikian kaum muslimin pada saat itu sepakat meyakini, bahwa mushaf Abu Bakar adalah mushaf Al-Qur’an yang sahih yang diakui oleh semua sahabat tanpa ada yang membantah.
Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab nyaris tidak ada lagi kegiatan dalam rangka mengumpulkan Al-Qur’an, karena menitikberatkan pada penyebaran agama Islam ke seluruh penjuru dunia.
Barulah pada masa Khalifah Usman bin Affan ra, setelah wilayah kekuasaan Islam sudah semakin luas, oleh sebab itu semakin beraneka ragam pula bangsa-bangsa bukan Arab yang memeluk Agama Islam.
Seorang sahabat bernama Hudzaifah ibnu Yaman mengusulkan kepada khalifah agar segera diambil kebijaksanaan terkait timbulnya perbedaan-perbedaan mengenai bacaan al-Qur’an, karena setiap kabilah merasa paling baik bacaan al-Qur’annya.
Usul itu segera diterima Khalifah Usman ra, untuk segera mengirim utusan untuk meminta mushaf kepada Hafsah yang disimpan di rumahnya untuk disalin (diperbanyak). Untuk memperbanyak mushaf ini kembli khalifah Usman menunjuk Zaid sebagai ketuanya dengan anggota-anggotanya Abdullah bin Zubair, Said ibnu Ash, dan Abdurahman bin Harits.
Setelah selesai memperbanyak mushaf, maka Usman menyerahkan kembali mushaf yang asli kepada Hafsah. Kemudian lima mushaf lainnya dikirim kepada penguasa di Mekah, Kuffah, Basrah dan Suriah, dan salah satunya dipegang oleh Khalifah Usman bin Affan sendiri.
Demikianlah sejak saat itu mushaf Al Qur’an tersebut dinamai mushaf al Imam atau lebih dikenal dengan mushhaf Usmany, karena disalin pada masa khalifah Usman bin Affan.
2. Tantangan penghafal al-Qur’an pada saat ini
Dibanding dengan tradisi tahfizh al-Qur’an di negara-negara Timur Tengah, tradisi menghafal al-Qur’an di Indonesia untuk saat ini mempunyai beberapa perbedaan dan tantangan tersendiri, antara lain :
1. Dipandang sebagai ilmu khusus yang berdiri sendiri dan tidak diorientasikan sebagai dasar ilmu yang harus dilengkapi oleh ilmu-ilmu bantu yang lain.
2. Dilaksanakan di pesantren dan khusus untuk menghafal al-Qur’an. Santri secara full-time berada di pesantren dan khusus menghafal al-Qur’an.
3. Usia santri yang menghafal al-Qur’an sudah menginjak usia remaja, antara 12 – 18 tahun
4. Saat menghafal al-Qur’an tidak dibarengi dengan belajar ilmu lain baik secara formal maupun informal.
5. Setelah selesai (khatam) menghafal al-Qur’an jarang yang melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi.
6. Kondisi zaman yang kian menyulitkan seseorang untuk dapat mengingat hafalannya. Seperti gangguan akibat wanita, maraknya media yang menyiarkan kemaksiatan, atau karena faktor makanan.
Dengan beberapa ciri tersebut, para huffazh al-Qur’an di Indonesia biasanya disiapkan untuk upacara sema’an, menjadi kyai dan ustadz di pesantren tahfizh al-Qur’an atau menjadi peserta, pelatih atau hakim Musabaqah Hifzhil-Qur’an baik di tingkat kabupaten, propinsi, nasional maupun internasional. Jarang kita dengar para huffazh al-Qur’an di Indonesia menjadi ulama besar sebagai pimpinan Majelis Ulama atau Syuriyah, atau menjadi imam di masjid-masjid besar.
3. Keutamaan menghafal al-Qur’an di bulan Ramadhan
Bulan Ramadhan adalah bulan al-Qur’an, maka dari itu hendaknya seorang Muslim memberikan porsi perhatian yang lebih terhadap al-Qura’n di bulan ini. Suasana dan peluang waktu untuk menghafal al-Qur’an di bulan suci Ramadhan, tentu akan berbeda bila dibandingkan dengan bulan-bulan lainya. Di bulan suci Ramadhan, semangat untuk beramal akan semakin meningkat, terutama dalam membaca Al-Quran dan shalat malam selain yang paling inti yaitu berpuasa di siang harinya.
Salah satu keutamaan menghafal al-Qur’an di bulan suci ini adalah bisa menguatkan ingatan karena malam di bulan Ramadhan senantiasa diisi dengan shalat sunnah, seperti Tarawih.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa untuk memperkuat ingatan hafalan al-Qur’an adalah dengan shalat Qiyamullail.
Diriwayatkan dari sebuah hadits yang diterima dari Ibnu Abbas ra. Beliau berkata: “ Sewaktu kami bersama Rasulullah SAW di suatu majlis tiba-tiba datang Ali bin Abi Thalib lalu berkata kepada Rasulullah:” hafalan Al-Qur’an telah hilang dari ingatanku”. Bagaimana supaya hafalanku jadi kuat? Kemudian Rasulullah SAW berkata kepadanya:” Hai bapak Hasan! Maukah aku ajarkan/beritahukan kepadamu satu amalan/do’a yang dapat bermanfaat bagimu dan bagi orang yang engkau ajarkan dan akan selalu ingat/ selalu menetap dihatimu apa yang engkau pelajari/hafal? lalu sayyidina Ali menjawab:” Ya. Mau ya Rasul”. Beliau berkata:” Apabila datang malam jum’at maka bangunlah pada sepertiga malam kalau sanggup karena pada waktu tersebut merupakan maqom ijabah doa sebagaimana yang dikatakan Nabi Ya’kub kepada anaknya;” Tuhanmu akan mengampuni dosamu.” Wallahu’alam bisshawab. []