ADA tokoh yang membuat pernyataan, “Di antara tanda tokoh agama pecinta dunia adalah menghalalkan musik. Kalau mereka mencintai akhirat pasti lebih menyibukkan dirinya dan umatnya dengan al-Quran.”
Komentar saya:
1. Ini prasangka buruk (suuzhzhan) kepada para ulama yang berpendapat halalnya musik dengan syarat, bahwa mereka itu lebih cinta dunia dari akhirat. Padahal, pendapat mereka dalam menghalalkan musik itu pendapat ilmiah dan dilandasi oleh dalil dan argumentasi ilmiah.
BACA JUGA:Â Musik Haram? Ini Menurut Imam 4 Madzhab
Anggap saja, pendapat mereka itu lemah (marjuh), itu tetap tidak bisa dijadikan alasan, menuduh mereka lebih cinta dunia dari akhirat.
2. Ambil permisalan, musik bagi ulama yang membolehkannya, itu semisal main bola, ngopi sambil ngobrol ngalor ngidul, nonton tv dan youtube, baca novel atau komik, dan semisalnya, yang memang berpotensi melalaikan.
Tapi apakah karena itu berpotensi melalaikan, dan membuatnya teralihkan dari sibuk dengan Al-Qur’an, otomatis kita haramkan itu semua?
Sikap Terhadap Pendapat yang Menghalalkan Musik
3. Ada ungkapan Øسنات الأبرار سيئات المقربين, yang maknanya, “hal yang baik bagi orang-orang umum, tidak baik bagi orang-orang khusus.”
Maksudnya, ada perkara-perkara yang pada dasarnya boleh, namun memang tidak layak dilakukan oleh orang-orang khusus. Contoh, shalat sunnah itu tidak haram ditinggalkan, tapi tak layak ditinggalkan oleh orang-orang shalih, apalagi ulama pemimpin umat.
BACA JUGA:Â Hukum Mendengarkan Musik dan Nyanyian
Contoh, nongkrong lama-lama membincangkan dunia (selain untuk nafkah wajib), selama tidak jatuh pada pembicaraan haram dan meninggalkan kewajiban, tak terlarang. Tapi itu tak layak dilakukan oleh ulama dan shalihin.
Demikian juga musik. Jangan bayangkan, ulama yang membolehkan atau menghalalkan musik itu, hari-harinya sibuk mendengarkan musik dan meninggalkan Al-Qur’an. Mereka berfatwa di atas landasan ilmu mereka, bukan untuk memuaskan hawa nafsu mereka.
4. Kalau mau menjelaskan haramnya musik, fokus saja pada dalil dan istidlalnya yang shahih. Tidak perlu membuat narasi yang tidak ada nilainya dalam penetapan hukum syar’i. Kan beragama itu dengan dalil?
Facebook: Muhammad Abduh Negara