Pada Sabtu (9/9/2017) Mohammed Soye (33) mengatakan semua manusia sama saja, agama tidak membuat kami berbeda.
“Umat Buddha memiliki daging dan darah, sama seperti kami. Jadi jika mereka hidup damai dan bebas di Myanmar, mengapa kami tidak bisa? Kami semua manusia dan semua manusia terlahir setara,” kata Soye
Mohammed Soye berasal dari kota Buthidaung di Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Soye melarikan diri ke Bnagladesh 10 hari yang lalu.
“Saya adalah seorang petani di kota Buthidaung, sama seperti orang Rohingya lainnya. Kami tidak memiliki hak untuk bekerja atau memiliki hak atas pendidikan sehingga kami tidak dapat memperoleh pekerjaan di kantor polisi, militer atau pun kantor pemerintahan lainnya. Kami harus bekerja di peternakan, atau mengumpulkan bambu dari hutan,” ungkap Soye seperti dilansir Aljazeera Media Network.Â
“Entah bagaimana kami bisa bertahan meski kami tidak memiliki kebebasan. Tapi itulah cara kami bertahan hidup,” terang Soye.
Ia kembali menceritakan, dua minggu yang lalu, militer dan komunitas Buddhis setempat datang ke desa tempat ia tinggal.
“Mereka mulai menembak dan membakar rumah kami, satu per satu. Saudaraku tertembak di sisi wajahnya dan meninggal di sana. Kami semua harus lari, jika tidak, kami pasti terbunuh juga,” katanya.
“Kami tidak tahu tujuan kami, kami terus berjalan selama 10 hari sampai akhirnya kami tiba di Bangladesh,” tambah Soye
Soye melanjutkan, Ibu nya berusia 80 tahun, lumpuh dan menderita asma, jadi ia harus menggendongnya sepanjang perjalanan. Ia menyeberangi tiga sungai dengan perahu sementara sisanya berjalan kaki.
“Dalam perjalanan, terkadang kami akan bertemu kelompok militer yang akan mulai menembaki kami dan kami akan tidur di hutan dimana banyak binatang liar disana,” cerita Soye.
“Jadi, ada banyak rintangan yang berbahaya namun tekad membuat kami harus melanjutkan perjalanan dan akhirnya kami melintasi perbatasan. Saya merasa jauh lebih nyaman sekarang karena saya berada di Bangladesh. Apabila kami Kembali ke rumah, kami bisa berakhir mati kapan saja. Di sini hidup kami aman,” ucap Soye.
“Tapi tetap saja, Bangladesh benar-benar baru bagi kami, kami tidak tahu apa-apa tentang negara ini, kami buta huruf, dan kami tidak tahu apa yang seharusnya kami lakukan di sini. Tapi jika Myanmar menyatakan, kami lebih suka pulang ke rumah,” ujarnya.
Soye mengatakan, seluruh dunia melihat gambaran tentang krisis Rohingya ini, namun tidak ada yang menekan pemerintah Myanmar untuk menghentikan kekerasan yang dilakukan terhadap warga Rohingya. “Tentu saja, mereka sebenarnya tidak ingin mencari solusi, jika tidak, kami pasti sudah melihatnya, tapi mengapa pemerintah internasional tidak memberikan tekanan pada mereka?”
“Pesan saya kepada dunia adalah bahwa manusia sama saja, agama tidak membuat kami berbeda. Umat Buddha memiliki daging dan darah, sama seperti kami. Jadi jika mereka hidup damai dan bebas di Myanmar, mengapa kami tidak bisa – kami semua manusia dan semua terlahir setara,” tutup Soye. [Erna]