Oleh: Muhammad Ulil Fachrudin
Mahasiswa Sejarah Universitas Negeri Semarang
KEMISKINAN merupakan suatu gejala masyarakat karena kurang terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan untuk bertahan hidup dilihat dari segi ekonomi. Terlebih di negara-negara berkembang seperti Indonesia, sampai saat ini masih banyak masyarakat Indonesia yang tingkat taraf hidupnya berada di garis ekonomi menengah kebawah. Satu hal yang patut dicarikan penyelesaian dari semua pihak.
Menurut Abu Anas dalam artikel terbitan Prisma mengenai kemiskinan, sejak Soeharto membahas program “mengentaskan” kemiskinan pada April 1993, maka sejak itu pula pembahasan orang-orang yang dibawah garis kecukupan ini masih menjadi kajian utama pemerintah. Menurut Prof. Harimurti Kridalaksana untuk mengentaskan kemiskinan dapat dilakukan dengan “menolong orang-orang miskin” melalui sebuah program amaliah dari pemerintah.
Gerakan amaliah dari pemerintah sampai sekarang masih dapat kita jumpai di Indonesia berupa subsidi untuk rakyat ekonomi lemah. Padahal menurut Hotman Siahaan dalam harian Kompas tertanggal 15 Desember 1988, menyatakan bahwa gerakan amaliah pada dasarnya menimbulkan ketergantungan yang semakin tinggi karena bisa menimbulkan mental subsidi dan melemahkan inisiatif masyarakat. Oleh sebab itu tahapan amaliah harus segera diubah untuk meningkatkan tingkat kedewasaan rakyat Indonesia.
Kesejahteraan rakyat yang dicanangkan pemerintah melalui berbagai subsidi dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang sering diluncurkan untuk mengentaskan kemiskinan, ternyata tidak membuat kasus kemiskinan di Indonesia berkurang, sebab faktanya kemiskinan masih tetap ada sampai saat ini, bahkan cenderung semakin meningkat. Berbicara mengenai kemiskinan, Al Quraan sering mengkaitkannya dengan istilah fakir miskin. Lantas, bagaimanakah penjelasan fakir miskin dalam Al-Quran?.
Menurut Buletin DDII No.7 Tahun XX 1993, secara jelas Al-Quran membela dan memihak kaum dhuafa. Termaktub dalam Quran Surah Al-Qashash ayat 5-6 yang berbunyi,“Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang tertindas (mustadhafain atau dhuafa) di bumi dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi bumi. Dan Kami tegakkan kedudukan mereka di bumi.” Melihat kenyataan di bumi saat ini, masih banyak kaum tertindas dan fakir miskin. Namun satu hal yang harus menjadi keyakinan kaum muslim bahwa Allah akan memenuhi janji-Nya, pun juga dengan Al-Qashash ayat 5-6 tersebut. Allah Yang Maha Mengetahui tahu benar bahwa masyarakat dunia akan terpecah terbagi menjadi beberapa kaum. Ada kaum kaya yang suka menindas, dan ada kaum miskin yang tertindas. Demikian yang mula-mula terkandung dari surah Al-Qashash tersebut.
Namun, ada sebagian orang yang menyangkal masyarakat sekarang telah terpecah ke dalam beberapa kelompok. Pasalnya, orang yang mengatakan perpecahan itu tidak terjadi ketika di masjid. Sebab, jika di masjid biar miskin maupun kaya, majikan atau buruh, bila ia datang lebih dahulu, maka berhak menempati saf terdepan. Memang pendapat tersebut ada benarnya jika dilihat secara formal. Namun ketika kita melihat bagaimana keadaan dan kondisi di pabrik, di perkebunan, dan kondisi sosial lingkungan saat ini secara menyeluruh maka akan bertolakbelakang dengan kondisi saat di masjid.
Turunnya surah Ar Ra’du ayat 11 yang berbunyi,“Sesungguhnya Allah tiada mengubah keadaan suatu kaum, kecuali jika mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” Sejatinya ayat diatas mengokohkan pandangan bahwa umat manusia sudah terpecah-pecah menjadi beberapa kaum. Perkembangan sejarah peradaban manusia yang terus berjalan menimbulkan perpecahan itu, bahkan sejarah mencatat bagaimanapun terampilnya seseorang, ia tidak akan bisa menjadi kaya tanpa menguasai hasil tenaga kerja orang lain secara langsung maupun tidak langsung. Relasi internal akan menjadi timpang, karena sebuah sistem yang mempunyai struktur pembeda, ada yang sebagian orang yang kaya dan ada juga yang miskin.
Seperti diketahui, menurut Abu Anas, masyarakat primitif belumlah terpecah menjadi kaum atau kelompok. Hidup secara bersama, seperti mencari makan dan makan bersama. Setelah manusia makin maju, setelah ada sebagian manusia berhasil menguasai hasil tenaga kerja manusia yang lainnya mulailah ia berangsur menjadi kaya. Maka beranjak dari situ munculah yang kaya dan miskin.
Seseorang tak akan dapat bekerja jika darah tidak mengalir dalam tubuh seseorang itu. Karena itulah, sesungguhnya hasil tenaga kerja orang lain yang dikuasai oleh orang kaya itu adalah jumlah darah yang mengalir pada tubuhnya. Ia telah berhenti menjadi manusia manakala darah tidak mengalir lagi. Dan Allah tahu benar bahwa ada manusia yang suka memakan darah manusia lain baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dinyatakan pada surah Al-An’am ayat 145 yang berbunyi “Katakanlah: tiada kuperoleh dalam apa yang diwahyukan kepadaku yang diharamkan atas orang memakannya, kecuali mayat (bangkai), darah yang mengalir atau daging babi, karena demikian itu keji dan fasik”.
Tuan budak memang tidak secara langsung memakan darah yang mengalir dalam tubuh budak-budaknya. Ia menghirup atau memakannya melalui pemilikan hasil tenaga kerjanya. Mungkin karena itulah HOS. Tjokroaminoto dalam tulisannya “Apakah Sosialisme itu?” mengatakan bahwa menghisap keringat orang bekerja, memakan hasil kerja orang lain, dan tidak memberikan bagian keuntungan semestinya, yang semua perbuatan serupa itu ditulis oleh Karl Marx dengan istilah Meerwaarde adalah dilarang sekeras-kerasnya oleh agama Islam.
Bertolak dari Surah Ar-Ra’du ayat 11, maka yang paling bertanggung jawab atas belum terwujudnya apa yang dijanjikan Allah dalam Surah Al-Qashash ayat 5-6 ialah kaum tertindas dan miskin itu sendiri. Jika orang kaya itu benar-benar beragama Islam secara lahir dan batin tentu dia turut bertanggung jawab. Konsekuensinya ia akan berhenti memakan darah yang mengalir dalam tubuh orang lain dengan menyerahkan hak-hak yang ada dalam harta orang kaya tersebut kepada orang miskin yang membutuhkan. Bahkan dalam agama Islam sudah diterangkan dalam surah Azzariyat ayat 19 yang berbunyi, “Dalam harta orang kaya ada hak orang miskin yang tidak meminta”. Namun, persoalannya adalah apakah orang kaya itu bersedia menyerahkan hak itu kepada yang bersangkutan? Sehingga dari hal tersebut dapat dipetik pelajaran bahwa seharusnya kaum yang tertindas tidak hanya menopang dagu menunggu bantuan dari kaum yang kaya, sebab tidak semua dari mereka yang memahami bahwa didalam harta mereka terdapat hak-hak orang miskin. Oleh karena itu, tegasnya kaum tertindas dan miskin itulah yang harus merubah nasib hidup mereka sendiri dengan tidak lagi ketergantungan dengan bantuan dari oranglain.
Sedangkan menurut Masdar Mashud dalam tulisannya di Tempo pada tanggal 1 Mei 1993 mengatakan bahwa kemiskinan itu bukan terjadi karena takdir Tuhan, melainkan karena sistem atau struktur yang timpang. Dan itu hasil ulah manusia sendiri secara keseluruhan. Sebab itu jika kemiskinan hendak diatasi, satu-satunya jalan ialah dengan mengubah sistem atau struktur yang timpang tersebut dengan sedemikian rupa sehingga setiap orang dijamin dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri.
Tujuan yang hendak dicapai dalam surah Al-Qashash ayat 5-6 diatas bukanlah sebatas mengentaskan kemiskinan melainkan menuntaskan kemiskinan. Untuk itu sistem dan struktur yang timpang harus diganti dengan sistem atau struktur yang adil. Dengan terwujudnya maksud surah Al-Qashash ayat 5-6 di bumi, maka harusnya tak ada lagi orang yang meminta-minta, yang mengharap belas kasihan akan diberi zakat dan tidak ada lagi yang menyerahkan hidupnya dengan menunggu bantuan dari oranglain. Dengan demikian jika sikap kemandirian tumbuh dalam diri orang-orang miskin, maka mereka akan memiliki sebuah harapan dan kemauan kuat untuk berubah. Bukan hanya itu saja, harusnya pemerintah pun menyadari akan hal ini, sehingga pemerintah harus menumbuhkan kemandirian pada setiap diri masyarakatnya dengan kebijakan-kebijakan yang tidak pragmatis dan serba instan. Wallahualam bishawab. []
Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri.