SALAH satu kaidah penting dalam fiqih Islam adalah kaidah “درء المفاسد أولى من جلب المصالح” (menghilangkan mafsadat lebih utama dari meraih kemaslahatan).
Pada dasarnya, Syariat datang untuk meraih kemaslahatan dan menghilangkan mafsadat, tapi kadang terjadi ta’arudh (pertentangan) antara dua hal ini, dan pada kondisi ta’arudh ini, menghilangkan mafsadat lebih penting dan harus diutamakan dibandingkan meraih kemaslahatan.
Contoh penerapan kaidah ini:
1. Disyariatkan tidak menghadiri Shalat Jum’at dan jamaah, karena sakit, khauf, dan hal-hal lain yang dikhawatirkan menimbulkan dharar dan mafsadat bagi dirinya atau orang lain.
BACA JUGA: Ahli Fikih yang Sejati
2. Pemilik harta tidak boleh menggunakan harta miliknya jika itu merugikan orang lain, misal menghidupkan mesin yang bersuara sangat bising di tengah pemukiman.
3. Tidak boleh menjual barang-barang haram seperti minuman keras dan narkoba, meski itu mendatangkan keuntungan bagi dirinya.
4. Tidak boleh monopoli dan menaikkan harga di atas kewajaran, meskipun itu menguntungkan bagi dirinya.
Namun ada beberapa kondisi, meraih maslahat lebih utama meski harus jatuh pada mafsadat, karena sisi maslahatnya jauh lebih penting untuk diraih. Contohnya:
1. Berdusta adalah perbuatan haram dan mafsadat, namun ia dibolehkan jika ditujukan untuk mendamaikan dua muslim yang sedang bermusuhan, atau kepada istri untuk kebaikannya.
Imam As-Suyuthi menyatakan bahwa ini sebenarnya masuk dalam kaidah “melakukan mafsadat yang lebih ringan untuk menghindari mafsadat yang lebih berat”.
BACA JUGA: Fikih Ibadah Orang Indonesia
2. Mengucapkan kalimat kufur itu haram dan mafsadat, namun boleh dalam rangka bercerita, atau saat dipaksa yang bisa menyebabkan kematiannya, selama orang yang dipaksa ini hatinya tetap kokoh dalam keimanan.
Ini dibolehkan, karena menjaga keselamatan jiwa jauh lebih maslahat dibandingkan keburukan mengucapkan ucapan kufur yang hatinya tetap kokoh dalam keimanan. Wallahu a’lam. []
Rujukan: Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah Wa Tathbiqatuha Fi Al-Madzhab Asy-Syafi’i, karya Dr. Muhammad Az-Zuhaili, Juz 2, Halaman 38-39, Penerbit Dar Al-Bayan, Damaskus.
Facebook: Muhammad Abduh Negara