JIKA kita mendapatkan sebuah hadits yang telah dishohihkan oleh para ulama’ mutaqoddimin (pendahulu kita), jangan kita tergesa-gesa untuk menghukumi dhoif (lemah) hanya semata ada ulama’ di zaman ini yang mendhoifkannya. Sebaliknya, jika ada suatu hadits yang telah didhoifkan oleh ulama’ mutaqoddimin, jangan kita tergesa-gesa untuk menshohihkannya hanya semata ada ulama’ di zaman ini yang menshohihkannya.
Simak petikan berikut ini:
والحكم بالتصحيح أو التضعيف مقبول إن صدر من متأهل متقدماً كان أو متأخراً، إلا أن أحكام المتقدمين أولى لسعة اطلاعهم وقوة عارضتهم،
“Menghukumi (hadits) dengan shohih atau dhoif, diterima jika muncul dari seorang yang memang ahli (dalam hal itu), baik dari kalangan (ahli hadits) terdahulu atau belakangan. Namun, hukum-hukum yang ditetapkan oleh para ahli hadits terdahulu, lebih utama (dibandingkan ulama’ belakangan) karena luasnya pengetahuan mereka serta kuatnya pendapat yang sangat bagus dari mereka.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rahimahullah- berkata:
بل الذين كانوا قبل جمع هذه الدواوين أعلم بالسنة من المتأخرين بكثير، لأن كثيراً مما بلغهم وصح عندهم قد لا يبلغنا إلا عن مجهول أو بإسناد منقطع أولا يبلغنا بالكلية، فكانت دواوينهم صدورهم التي تحوي أضعاف ما في الدواوين، وهذا أمر لا يشك فيه من علم القضية
BACA JUGA: Kepakaran Imam Hanbali dalam Ilmu Hadits
“Bahkan, orang-orang yang mereka (hidup) sebelum dikumpulkannya (kitab-kitab) kumpulan (hadits) ini, lebih banyak tahu tentang sunnah dari ulama’ belakangan. Karena kebanyakan (hadits) yang sampai kepada mereka dan shohih menurut mereka, terkadang tidak sampai kepada kita, kecuali dari seorang yang majhul atau dengan sanad yang terputus, atau tidak sampai secara keseluruhan. Buku kumpulan (hadits) mereka, adalah dada-dada mereka (maksudnya hafalan) yang mengandung berlipat-lipat lebih banyak dari yang ada dalam kitab-kitab kumpulan hadits saat ini. Ini merupakan perkara yang tidak diragukan sedikitpun bagi mereka yang mengetahui akan perkara ini.” [ Majmu’ Fatawa : 20/239 ].
Salah satu contohnya: Hadits tentang do’a keluar dari WC yang diriwayatkan oleh Aisyah –radhiallohu ‘anhu- beliau berkata:
كَانَ إِذَا خَرَجَ مِنَ الغَائِطِ قَالَ: «غُفْرَانَكَ»
“Adalah beliau –shollallahu ‘alaihi wa sallam- apabila keluar dari tempat buang hajat, beliau berdo’a : GHUFRONAKA (Ya Alloh ! Aku mohon ampun kepada-MU).” [ HR. Abu Dawud : 30 dan selainnya ].
Setahu kami, tidak ada satupun ulama’ salaf dari kalangan ahli hadits yang melemahkan hadits ini. Maka jika kemudian ada ulama’ di zaman ini yang melemahkannya, ini sangat meragukan sekali. Karena seluruh kaidah ilmu mustholah hadits yang dipakai di zaman ini, hanya “warisan” dari mereka. Kita hanya tinggal mempelajari dan mengaplikasikannya. Lantas bagaimana kita melemahkannya, sementara mereka semua menshohihkannya ?? ini sangat aneh dan tidak logis. Terkecuali kita membuat dan merumuskan sendiri berbagai kaidah mushtholah hadits, di luar apa yang telah mereka rumuskan. Ini baru mungkin.
Maka jika kita tidak sempat untuk meneliti hadits di atas secara ilmiyyah, dan hanya bersandar dengan tahsin (penetapan hukum hasan) atau tahshih (penetapan hukum shohih) dari para muhadits mutaqoddimin, maka itu sudah cukup untuk meninggalkan pendapat yang melemahkannya.
Al-Imam Ibnu Mulaqqin-rahimahullah- berkata:
رَوَاهُ الدَّارمِيّ فِي «مُسْنده» وَأَبُو دَاوُد وَالتِّرْمِذِيّ وَابْن مَاجَه فِي «سُنَنهمْ» وَالنَّسَائِيّ فِي «الْيَوْم وَاللَّيْلَة» . قَالَ التِّرْمِذِيّ: هَذَا حَدِيث حسن [غَرِيب] .قلت: وصحيح؛ فقد صَححهُ ابْن خُزَيْمَة وَابْن حبَان وَالْحَاكِم
“Hadits ini diriwayatkan oleh Ad-Darimi dalam “Musnadnya”, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dalam “sunan” mereka, dan An-Nasa’i dalam “Al-Yaum wal Lailah”. At-Tirmidzi berkata : Ini hadits yang hasan dan gharib. Saya berkata (Ibnu Mulaqqin) : Dan (hadits) ini derajatnya shohih. Telah dishohihkan oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim.” [Al-Badrul Munir : 2/394].
BACA JUGA: Motivasi Mengajar Kitab Hadits
Kami pribadi tidak mengingkari jika ada seorang yang hanya bersandar kepada hukum para imam ahli hadits mutaqoddimin sekelas At-Tirmidzi, Al-Bukhari, Muslim bin Hajjaj, An-Nasa’i, Abu Dawud dan yang semisal mereka terhadap suatu hadits. Karena terus terang, perangkat untuk melakukan penelitian terhadap suatu hadits di zaman ini, sangatlah terbatas. Tidak seperti zaman dulu. Ilmu mereka itu di dada, sedang kita di buku. Apa yang ada di dada mereka (berupa hafalan), lebih banyak berlipat-lipat dari apa yang tertulis di buku-buku di zaman ini. Ini baru dari sisi referensinya. Kita sudah kalah jauh. Belum lagi dari sisi yang lain.
Semua ini membawa kita kepada titik kesimpulan: Bahwa tahsin, atau tahshih, atau tadh’if para muhaddits mutaqoddimin haruslah dijadikan sebagai referensi utama. Sedangkan ulama’ ahli hadits zaman ini, dijadikan sebagai tambahan. Jangan sampai terbalik. []
Facebook: Abdullah Al-Jirani