KEKUASAAN identik dengan kekayaan dan kemewahan. Namun, tak semua penguasa mempunyai sifat tamak dan serakah. Tak sedikit, pemimpin atau penguasa yang justru memegang prinsip kesederhanaan dalam hidupnya.
Di Indonesia, kesederanaan ini dapat ditemukan dalam diri para pemimpin, khususnya di awal-awal kemerdekaan. Sebut saja founding father Indonesia, Soekarno-Hatta, dan Agus Salim, pejuang kemerdekaan Indonesia. Bagaimana kesederhanaan mereka?
BACA JUGA: Makna Kemerdekaan dalam Teks Proklamasi
Berikut ini sekelumit kisah tentang bersahajanya ketiga tokoh tersebut di balik sosoknya yang begitu membanggakan bagi bangsa Indonesia.
Soekarno
Jauh sebelum blusukan populer di dekade ini, Bung Karno telah melakukannya berpuluh-puluh tahun lalu. Menyambangi petani, tukang sate, pedagang obat, dan para sopir di sudut-sudut kota maupun desa merupakan kegemarannya. Bung Karno kerap menyamar agar bisa melebur dengan rakyat kecil yang tengah bergumul di desa. Ia juga dengan santainya bercakap, bercanda, serius, dengan mereka. Tanpa pengawal.
“Rakyat adalah roti kehidupan. Aku ingin bercampur dengan rakyat. Itulah yang menjadi kebiasaanku,” kata Bung Karno dalam buku ‘Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat’ karya Cindy Adams, yang terbit pertama kali tahun 1965.
Jika kesederhanaan seseorang bisa diukur dari makanan sehari-harinya, bisa dipastikan bahwa bapak proklamator sekaligus presiden RI pertama yakni Soekarno adalah orang yang bersahaja.
Dikutip dari “Menyusuri Kenang-kenangan Perjuangan Masa Mudaku” yang merupakan bagian Bunga Rampai Soempah Pemoeda yang terbit pada 1978, makanan favorit Bung Karno adalah sate ayam. Di buku tersebut dijelaskan, setelah penetapan Bung Karno sebagai presiden pertama dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), tanggal 18 Agustus 1945 yang bertepatan dengan bulan Ramadhan, Bung Karno pulang berjalan kaki. Santapan berbuka puasanya adalah sate ayam yang dibelinya sendiri di pinggir jalan dari seorang pedagang tanpa pakaian atas, alias bertelanjang dada.
Selain sate, Bung Karno juga menggemari sambal pecel. Di meja makan keluarganya, bumbu itu selalu tersaji. Sambal pecel selalu menemani santap siang Bung Karno, biasanya disajikan bersama lele plus lalapan daun singkong dan pepaya. Ia akan mencomot langsung dari cobek dan menyantapnya dengan tangan tanpa sendok dan garpu.
“Kalau enggak ada, pasti Bapak menanyakan. Kalau lagi makan pecel lele, Bapak seperti tidak ingat sekitarnya,” ujar Muslih bin Risan (70), mantan pelayan pribadi keluarga Soekarno, seperti dikutip dari Historia.
Mohammad Hatta
Begitu bersahajanya wakil presiden pertama RI ini tampak pada keinginannya yang sederhana namun tak terpenuhi hingga akhir hayatnya. Mohammad Hatta pernah punya keinginan untuk bisa memiliki sepatu Bally. Sepatu dengan merek tersebut, pada tahun 1950-an, merupakan sepatu ‘keren’ yang bermutu tinggi. Harganya pun mahal.
Saking inginnya, Bung Hatta bahkan sampai menyimpan guntingan iklan yang memuat alamat penjual sepatu Bally di sebuah tempat. Bertahun-tahun ia menabung untuk bisa membeli sepatu idamannya itu. Padahal, posisinya sebagai wakil presiden RI pada saat itu, memungkinkan dirinya untuk mendapatkan sepatu tersebut secara cuma-cuma dengan memanfaatkan koneksi dan relasi tentunya. Sebab, jika mengandalkan gaji pada masa itu belum memungkinkan.
Bung Hatta memilih untuk menabung sedikit demi sedikit. Namun, di balik keinginan besarnya akan sepatu Bally, Hatta tetaplah Hatta yang berjiwa penolong. Saat ada saudara, kerabat, dan sahabatnya meminta pertolongan, Hatta tak pernah menolak membantu. Uang tabungan pun akhirnya tidak pernah cukup. Hingga akhir hayatnya, sepatu Bally idaman Bung Hatta tidak pernah terbeli karena tabungannya tidak memadai. Bahkan, guntingan iklan sepatu Bally itu masih tersimpan hingga Hatta tutup usia.
Agus Salim
‘Memimpin adalah menderita’. Begitulah kutipan Agus Salim yang sangat diingat hingga kini. Seorang diplomat ulung, penguasa 9 bahasa, tetapi tetap bersahaja. Bahasa asing yang dikuasainya antara lain Belanda, Inggris, Jerman, Prancis, Arab, Turki, dan Jepang.
Agus Salim pernah menjabat Menteri Luar Negeri periode 3 Juli 1947 – 20 Desember 1949. Di masa jabatannya, Agus Salim menjadi ketua delegasi Indonesia dalam Inter Asian Relation Conference di India dalam rangka pembukaan hubungan diplomatik dengan negara Arab, terutama Mesir dan Arab Saudi.
Di balik segala prestasinya, ekonom Faisal Basri pernah menyebut, tidak ada tokoh bangsa yang lebih bokek dari Agus Salim. Itu semua karena lelaki asal Sumatera Barat itu tidak memiliki rumah sampai akhir hayatnya.
“Sangat bokek jadi tidak ada tokoh bangsa yang semelarat namun sebahagia Haji Agus Salim. Hatta masih punya rumah di kawasan Menteng. Agus Salim boro-boro punya rumah. Sampai wafat ia tetap berstatus “kontraktor”,” kata Faisal dalam situs pribadinya.
BACA JUGA: Haji Agus Salim: Ulama, Diplomat dan Negarawan Sejati
Seperti apa kontrakan seorang pejabat negara secemerlang Agus Salim pada masa itu?
Saat itu dia tak tinggal di rumah kontrakan mentereng seperti Pondok Indah dan Menteng. Agus Salim hanya tinggal di rumah kecil, di gang sempit di berbagai kawasan kumuh Jakarta. Dari Tanah Abang, Jatinegara, Petamburan, Agus Salim pernah tinggal di sana. Yang paling terkenal adalah saat Agus Salim tinggal di Gang Listrik bersama istrinya, Zaianatun Nahar. Ironisnya, di Gang Listrik itu, Agus Salim pernah hidup tanpa listrik. Sebab, saking bokeknya, dia tak sanggup bayar listrik sehingga harus diputus.
Di kontrakan tersebut hanya ada kasur gulung, ruang makan, dapur, dan tempat menerima tamu bersatu dalam satu ruangan besar. Ketika para tetamu datang ke rumahnya, Agus Salim menyediakan makanan nasi goreng kecap. []
SUMBER: KUMPARAN