SEORANG muslim tidak boleh sembarangan mengkafirkan orang lain. Apalagi jika tidak mempunyai dasar ilmu yang mumpuni. Maka sebaiknya kita selalu berhati-hati dalam persoalan ini.
Di antara akidah ahlussunnah waljama’ah adalah membedakan antara takfir muṭlaq dan takfir mu’ayyan.
Mengutip Muslim.or.id, takfir muṭlaq yaitu menjatuhkan vonis kekufuran kepada suatu keyakinan, ucapan, atau perbuatan yang merupakan pembatal keislaman, atau menjatuhkan vonis kafir kepada pelakunya secara umum tanpa menunjuk pada orang tertentu.
Contohnya seperti perbuatan menyembah berhala, membenci syariat Allah Ta’ala dan tuntunan Nabi-Nya ṣhallallāhu ‘alaihi wa sallam, meyakini bahwa shalat itu tidak wajib atau zina itu tidak haram. Hal ini masuk ke dalam kategori kafir.
BACA JUGA: Kematian Orang Kafir
Mengkafirkan Orang Sembarangan, Bolehkah?
Sedangkan Takfir mu’ayyan yaitu menjatuhkan vonis kafir kepada seseorang tertentu karena dia telah melakukan suatu pembatal keislaman. Maka, harus kita pahami bahwa jangan pernah sembarangan mengkafirkan orang jika tidak punya ilmunya.
Contohnya seperti menyebut “Si Fulan itu kafir”. Namun Takfīr mu’ayyan tidak boleh diarahkan kepada seseorang kecuali jika telah terpenuhi syarat-syarat dan hilang penghalang-penghalang dari pengkafirannya.
Maka, yang boleh melakukan takfīr mu’ayyan adalah hanya para ulama’ besar atau mufti yang telah mengetahui apakah si Fulan yang melakukan pembatal keislaman tersebut telah terpenuhi syarat atau hilang penghalang dari kekafirannya.
Sementara itu tugas kita sebagai penuntut ilmu adalah mempelajari apa saja yang merupakan pembatal keislaman sehingga kita bisa menghindari dan memperingatkan orang lain darinya. Dengan kata lain, tugas kita adalah seputar takfīr muṭlaq, bukan takfīr mu’ayyan. Sekali lagi, kita yang awam jangan sembarangan mengkafirkan orang.
Rasulullah ṣhallallāhu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan kita agar tidak sembarangan mengkafirkan orang secara mu’ayyan.
Dari Ibn ‘Umar radhiyallāhu ‘anhumā, bahwa Nabi ṣhallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أيما رجل قال لأخيه يا كافر فقد باء بها أحدهما.
“Jika seseorang berkata kepada saudaranya, ‘Wahai kafir,’ maka tuduhan itu akan kembali kepada salah satunya.” (HR. Bukhari no. 6104 dan Muslim no. 60. Bukhari juga meriwayatkan hadis ini dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu no. 6103)
Mengkafirkan Orang Sembarangan, Bolehkah?
Para ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud “tuduhan itu akan kembali kepada salah satunya” bukan bermakna si penuding itu telah kafir dengan ucapannya. Akan tetapi, ini termasuk dalam bab memberikan ancaman yang keras kepada orang yang melakukan sebuah dosa yang besar di mata syariat.
Adapun jika Fulan tersebut telah tegas kekafirannya dalam dalil secara mu’ayyan, maka wajib bagi kita untuk meyakini kekafirannya. Contoh: Fir’aun, Abu Jahl, Abu Lahb, Abu Thalib, dll. Demikian pula orang-orang yang memang beragama selain Islam, maka wajib bagi kita untuk meyakini kekafiran mereka.
Sementara itu, mengutip laman Republika, Syekh an-Nawawi al-Bantani, dalam kitab Sullam at-Taufiq bahwa berkata kafir kepada sesama umat Islam bisa masuk dalam kategori murtad dalam ucapan.
Syekh Nawawi menjelaskan bahwa murtad lebih buruk daripada kufur. Karena, orang murtad itu adalah orang yang telah mengenal ajaran Islam, namun keluar dari Islam. Jika orang murtad tidak segera bertaubat dengan mengucapkan kalimat shahadat, maka semua amal kebaikannya akan melebur.
Di zaman ini, umat Islam mungkin banyak yang tidak sadar sembarangan mengkafirkan orang lantaran tidak hati-hati dalam berbicara. Mereka tidak sadar bahwa ucapannya itu dapat menimbulkan dosa, bahkan bisa membawanya kepada kekufuran.
BACA JUGA: Ketika Kafir Quraisy Mengajak Rasulullah Bekerja Sama dalam Ibadah
Mengkafirkan Orang Sembarangan, Bolehkah?
Bisa jadi masalahnya adalah karena masyarakat modern tidak mau mempelajari agama secara mendalam. Masyarakat modern mengabaikan dasar-dasar agama, sehingga mudah melakukan perbuatan dosa.
Imam Nawawi sendiri membagi murtad menjadi tiga macam, yaitu murtad dalam i’tikad, murtad dalam perbuatan, dan murtad dalam ucapan. Murtad dalam iktikad, di antaranya meragukan adanya Allah dan kerasulan Nabi Muhammad SAW.
Tidak hanya itu, menurut Imam Nawawi, menghalalkan zina, bersetubuh dari lubang belakang, membunuh orang tanpa haknya, mencuri, dan menggasap barang yang bukan miliknya juga merupakan bagian dari murtad dalam iktikad.
Murtad dalam perbuatan juga dijelaskan dengan rinci dalam kitab ini. Di antara perbuatan yang termasuk dalam kategori murtad adalah bersujud kepada berhala, matahari atau makhluk lainnya. Sementara, murtad karena ucapan lebih banyak lagi yang dicontohan dalam kitab ini. Di antaranya adalah mengkafirkan sesama umat Islam. []