Pada perkara-perkara yang masyru’ (disyariatkan) secara mutlak, seperti Shalat sunnah, puasa sunnah, membaca Al-Qur’an, berdoa, berdzikir, dan semisalnya, maka ia boleh dikerjakan kapan saja, selama tidak ada dalil yang melarangnya pada waktu atau tempat tertentu, juga seseorang boleh mendawamkan (merutinkan) pada waktu tertentu meski tak ada dalil pendukung untuk waktu-waktu tersebut, selama tidak meyakini fadhilah khusus di dalamnya.
Karena itu, ada shalat sunnah muthlaq, yang boleh dikerjakan kapan saja, selama bukan pada waktu yang diharamkan (atau: makruh tahrim dalam madzhab Syafi’i). Demikian juga membaca Al-Qur’an boleh kapan saja, asal tak berhadats besar dan tidak berada pada keadaan atau waktu yang dilarang.
BACA JUGA: Bagaimana Cara Taaruf Sesuai Syariat Islam?
Boleh juga mendawamkan dzikir tertentu dari ba’da Shubuh sampai waktu Dhuha misalnya, sebagaimana yang diamalkan oleh Ibnu Taimiyyah. Atau shalat malam ratusan rakaat seperti yang dilakukan sebagian salafush shalih. Atau mengkhatamkan Al-Qur’an tiap tujuh hari sekali yang diamalkan ulama salaf. Dan berbagai contoh lainnya.
Pada hal-hal semacam ini, tidak perlu bertanya, “Apakah ada contohnya dari Nabi?” Tapi yang diperlukan, “Apakah ada dalil yang melarangnya?” Karena keabsahannya sebagai amal sudah diterima dari disyariatkannya ia secara mutlak.
Dalam fatwa Islamweb.net, nomor 78059 disebutkan:
فالذي يظهر والله أعلم أن من خص عبادة معينة بوقت معين دون اعتقاد لفضيلة فعلها في هذا الوقت، أنه لا حرج عليه في ذلك إن شاء الله بالضوابط المذكورة…
Terjemah: “Yang tampak, wallahu a’lam, orang yang mengkhususkan ibadah tertentu pada waktu tertentu, tanpa keyakinan akan fadhilah (keutamaan) melakukannya pada waktu tersebut, hal itu boleh-boleh saja, insyaallah, dengan mengikuti ketentuan yang disebutkan (pada fatwa sebelumnya)…”
Habib ‘Umar bin Hafizh, dalam fatwa beliau sebagaimana dimuat di situs alhabibomar.com, fatwa nomor 90 menyatakan:
BACA JUGA: Sistem Deposito Menurut Syariat Islam
التخصيص إن جاء على وجه إنكار أن تُقام هذه العبادة في وقت آخر فهو الممنوع. وأما أن يرتب الإنسان لنفسه ترتيباً؛ فيرتب للعبادات المطلقة أوقاتاً معينة، فيجعل له ساعةً من الليل يسبح فيها، وساعةً من الليل يقرأ القرآن فيها – مثلاً من الساعة كذا إلى الساعة كذا – ، أو يقيم درسًا للعلم من الساعة كذا إلى الساعة كذا؛ فلا إشكال في كل ذلك كما هو معلوم من قواعد الشريعة، وسِيَر الصحابة والتابعين وتابعيهم بإحسان…
Terjemah: “Pengkhususan waktu ibadah, jika ia berisi pengingkaran jika ibadah tersebut dilakukan pada waktu yang lain, ini adalah hal yang terlarang. Namun jika seseorang mengatur untuk dirinya sendiri, ia mengatur ibadah yang disyariatkan secara mutlak (‘ibadat muthlaqah), pada waktu tertentu, misal ia menjadikan satu waktu pada malam hari untuk membaca tasbih, atau satu waktu pada malam hari untuk membaca Al-Qur’an –misal dari jam sekian hingga jam sekian–, atau ia membuka kajian ilmu dari jam sekian hingga jam sekian, maka tidak ada masalah pada hal-hal semacam ini, sebagaimana ia ma’lum dalam kaidah-kaidah Syariat, juga dari perjalanan hidup para Shahabat, Tabi’in, dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka dalam kebaikan…”
Wallahu a’lam bish shawab. []
Facebook: Muhammad Abduh Negara