PASCAÂ jatuhnya rezim Assad, rakyat Suriah merasakan kegembiraan yang luar biasa. Suasananya, bagai perayaan Idul Fitri di Indonesia. Suara takbir bergema di masjid-masjid. Mereka yang dianggap hilang, kembali ke rumahnya. Yang di pengungsian pun pulang ke negrinya.
Peralihan kekuasaan pun masih berjalan damai. Pemerintah baru Suriah akan mengumumkan “peta jalan” setelah proses peralihan, yang meliputi pelaksanaan sensus, membuat konstitusi baru dan mengadakan pemilu bebas, lapor surat kabar pro pemerintah Turki, Hurriyet.
Presiden Amerika Serikat Joe Biden saat berbicara dengan Raja Yordania Abdullah II menyatakan dukungan bagi transisi yang dipimpin Suriah di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Jerman dan Prancis menyatakan siap bekerja sama dengan pemerintah baru Suriah, sambil tekanan bahwa penghormatan terhadap hak asasi manusia serta pelindungan kalangan minoritas akan menjadi syarat penting untuk kerja sama tersebut.
Dalam kondisi seperti ini, tiba-tiba Penjajah Zionis Israel melakukan pembatalan Gencatan Senjata 1974 secara sepihak. Lalu, mengagresi Suriah dengan pengerahan tank dan tentaranya hingga ke dekat Damaskus. Melakukan 300 serangan udara ke pangkalan milter, bandara dan kapal angkatan laut Suriah. Alasannya, menjaga keamanan Penjajah Zionis Israel.
Tidak itu saja, penjajah Zionis Israel juga tengah mulai menjalin kerjasama dengan kelompok oposisi Suriah yang tidak mengambil bagian dalam menjatuhkan rezim Assad. Targetnya, membuat kekacauan baru. Bila memungkinkan, terjadi pertempuran senjata baru di tubuh oposisi itu sendiri. Bisakah?
Sikap Penjajah Zionis Israel pasca kejatuhan rezim Assad di Suriah sama seperti sikap Yahudi bani Qainuqa di Madinah dalam menyikapi kemenangan Muslimin di perang Badar. Mereka membatalkan perjanjian Madinah yang berarti mengobarkan peperangan dengan Muslimin.
Tidak itu saja, mereka berusaha mengadu domba muslimin. Seorang tokoh Yahudi Bani Qainuqa, Syasy bin Qais, terus memata-matai Muslimin untuk mencari kelemahannya. Akhirnya ditemukan, caranya dengan mengelorakan kebencian antara suku Aus dan Khazraj yang telah memeluk Islam.
Dengan penuh kebencian, ia berbisik kepada pemuda Yahudi di sebelahnya, “Lihatlah orang-orang bani Aus dan Khazraj itu! Mereka kini telah bersatu di kota ini. Demi Allah, saya tidak akan pernah bersama mereka meskipun mereka bersatu!” Syasy bin Qais merasa bahwa inilah kesempatannya untuk mempengaruhi mereka.
BACA JUGA:Â Â Damaskus Jatuh, Basyar Al-Assad Dilaporkan Kabur; Akhir 50 Tahun Kekuasaan Keluarga Assad?
Ia dan kawannya menghampiri suku Aus dan Khazraj. Saat percakapan sedang mengalir, Ibnu Qais menyebut tentang kehebatan Khazraj atas Aus dalam Perang Bu’ats. Ia terus mengungkit-ungkit kembali hari kemenangan Suku Khazraj dan betapa kekalahan yang telah dialami Aus dalam peristiwa pada tahun-tahun belakangan itu.
Bahkan, pemuda yang mendampingi Syasy menyanyikan lagu-lagu permusuhan yang sudah biasa dilantunkan prajurit Khazraj saat berperang dengan Aus. Maka permusuhan pun terjadi antara Aus dan Khazraj. Beruntung, datang Rasulullah saw yang mendamaikannya.
Apakah oposisi Suriah akan teguh dengan peralihan kekuasaan yang damai? Apakah terprovokasi dengan ulah Penjajah Zionis Israel? []