Asy-Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid–rahimahullah- berkata :
فإِن إِلزاق العنق بالعنق مستحيل, وإِلزاق الكتف بالكتف في كل قيام, تكلف ظاهر. وإِلزاق الركبة بالركبة مستحيل, وإِلزاق الكعب بالكعب, فيه من التعذر, والتكلف
“Melekatkan pundak dengan pundak dalam setiap berdiri (ketika shalat) termasuk perbuatan takalluf (memberatkan diri) yang sangat jelas. Melekatkan lutut dengan lutut, perkara yang mustahil. Melekatkan mata kaki dengan mata kaki, di dalamya terdapat perkara yang sangat sulit (terwujud) dan memberatkan diri.” [ La Jadida : 11 ].
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan –hafidzahullah- berkata :
وليس معنى رص الصفوف ما يفعله بعض الجهال اليوم من فحج رجليه حتى يضايق من بجانبه؛ لأن هذا العمل يوجد فرجا في الصفوف، ويؤذي المصلين، ولا أصل له في الشرع
“Bukanlah makna merekatkan shaf, apa yang dilakukan oleh sebagai orang-orang bodoh di hari ini berupa perenggangan (ngangkang) kedua kakiya sampai menyempitkan orang yang di sisinya. Karena sesungguhnya amalan ini akan didapatkan celah di dalam shaf, menganggu orang yang shalat, serta tidak ada asalnya dalam syari’at.” [ Al-Mulakhash Al-Fiqhi : 124 ].
[3]. Merapatkan shaf, bukan berarti tanpa ada celah. Akan tetapi diperlukan celah untuk mendapatkan kenyamanan dalam melakukan gerakan-gerakan shalat. Dimana kadar celahnya tidak terlalu lebar, namun juga tidak sampai mepet/nempel. Celah yang dilarang itu jarak antara dua orang yang bershaf yang bisa di isi oleh satu orang atau lebih.
Adapun jika kurang dari itu, maka ini dianjurkan.
BACA JUGA: Muslimah Luruskanlah Shafmu
Imam Muhammad Anwar Syah Al-Kasymiri Al-Hindi –rahimahullah- menyatakan :
أي أن لا يَتْرُكَ في البين فرجةً تَسَعُ فيها ثالثًا. بقي الفصل بين الرجلين: ففي «شرح الوقاية» أنه يَفْصِلُ بينهما بقدر أربع أصابع، وهو قول عند الشافعية، وفي قولٍ آخر: قدر شبر.
“Artinya : Janganlah seorang meninggalkan celah/jarak di antara (dia dan orang di sampingnya) yang bisa digunakan untuk satu orang ketiga di dalamnya. Telah tetap adanya jarak antara kedua kaki. Di dalam “Syarh Al-Wiqayah” : Sesungguhnya seorang menyela di atara keduanya seukuran EMPAT JARI. Ini merupakan pendapat Asy-Syafi’iyyah. Dalam pendapat lain, : satu jengkal.” [ Faidhul Bari : 2/302 ].
Jadi yang dimaksud sabda nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- :
وسدوا الخلل ولا تذروا فرجات للشيطان
“Tutuplah celah-celah dan jangan kalian tinggalkan celah-celah untuk syetan.”
Maksudnya, yang dilarang adalah meninggalkan celah yang bisa ditempati oleh satu orang. Bukan berarti tidak ada celah/jarak sama sekali. Seperti kalau nabi memerintahkan kita untuk shalat di awal waktu, bukan berarti kita sudah harus takbiratul Ihram pas detik pertama waktu shalat masuk. Tapi ada jaraknya, untuk berpakaian, untuk wudhu, dan juga berjalan ke masjid. Ini perkara yang dimaklumi bersama. Simak ucapan Ibnu Daqiqil Ied dalam kitabnya “Al-Ihkam” : 2/38.
Hal ini didasarkan berbagai indikasi, diantaranya :
■Kita diperintah untuk melembutkan diri dalam bershaf. Dan hal itu tidak akan terwujud kecuali ada jarak di antara orang-orang yang shalat. Sebagaimana dalam sebuah hadits, Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda :
خياركم أَلينكم مناكب في الصلاة
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling lunak/lembut pundaknya di dalam shalat.” [ HR. Abu Dawud ].
Menurut Al-Khathabi –rahimahullah- Kalimat “paling lembut pundaknya”, maknanya :
ومعناه لزوم السكينة في الصلاة, والطمأْنينة فيها, لا يلتفت ولا يحاك منكبه منكب صاحبه
“Terus menerus tenang dalam shalat, tidak menoleh dan pundaknya tidak memotong (mengoyang) pundak orang lain.” [ Ma’alim Sunan lewat “La Jadida” : 14 ].
Menurut Al-Munawi –rahimahullah- :
ولا يُحاشر منكبُهُ منكبَ صَاحِبه
“Pundaknya jangan sampai berdesakan dengan pundak sahabatnya.”[Faidhul Qadir : 3/466].
BACA JUGA: Bagaimana Mengatur Shaf Anak-anak?
■Dalam sebagian gerakan-gerakan shalat, sangat membutuhkan adanya jarak antara orang yang satu dengan yang lain, seperti mengangkat tangan ketika takbir, saat bersedekap, posisi tangan saat rukuk dan sujud yang dijauhkan dari tubuh, saat duduk tasyahhud terkhusus ketika tasyahhud akhir dengan posisi tawwaruk.
Apakah bisa jika tidak ada jarak, kita mengamalkan hadits nabi yang memerintahkan kita untuk merengangkan atau menjauh tangan dari rusuk saat sujud misalkan? Tidak bisa.
Oleh karena itu standar jarak dalam bershaf, sebagaimana yang disebutkan dalam kitab “Bughyatul Mustarsyidin” (140) :
وتعتبر المسافة في عرض الصفوف بما يهيأ للصلاة وهو ما يسعهم عادة مصطفين من غير إفراط في السعة والضيق
“Dan jarak yang dianggap (diakui) dalam lebar shaf-shaf dengan apa yang seorang bisa mempersiapkan dan mengatur shalat. Dan ia adalah apa yang secara adat mencukupi mereka, orang-orang yang bershaf tanpa berlebihan dalam keluasan dan kesempitan.”
Adapun hadits dari An-Nu’man bin Al-Basyir –radhiallohu ‘anhu- berkata :
وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ
“Aku melihat seorang dari kami melekatkan mata kakinya dengan mata kaki sahabatnya.”
Ucapan ini disebutkan oleh Al-Bukhari dalam “Shohih-nya” secara mu’allaq (1/146) di bawah Bab : “Melekatkan Pundak Dengan Pundak Dan Telapak Kaki Dengan Telapak Kaki Di Dalam Shaf” [ Lihat “Al-Fath” : 2/122 ].
Maka ada beberapa jawaban :
»Pertama : Jika memang tata cara merapatkan shaf dengan cara menempelkan mata kaki dengan mata kaki dan pundak dengan pundak, kenapa yang mengamalkan hanya “seorang” saja ? kemana yang lain dari para sahabat. Padahal, para sahabat adalah generasi yang paling bersemangat dalam kebaikan dan sunnah.
Bahkan dalam “Musnad Al-Mushili” disebutkan, bahwa perbuatan tersebut disempat dicela oleh Anas bin Malik :
قَالَ أَنَسٌ: «لَقَدْ رَأَيْتُ أَحَدَنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ، وَلَوْ ذَهَبْتَ تَفْعَلُ ذَلِكَ الْيَوْمَ لَتَرَى أَحَدَهُمْ كَأَنَّهُ بَغْلٌ شَمُوسٌ»
“Anas bin Malik berkata : Sungguh aku melihat salah satu dari kami melekatkan pundaknya dengan pundah sahabatnya, kakinya dengan kaki sahabatnya. Seandainya hari ini kami melakukan hal ini lagi, sungguh kamu akan melihat salah satu dari mereka seperti bighal (peranakan kuda dan keledai) yang menentang/melawan.”[ 6/381 ].
»Kedua : Makna melekatkan di situ bukan makna hakiki, akan tetapi makna majazi, artinya penyangatan dalam lurus dan rapat. Bukan benar-benar nempel.
»Ketiga : Itu dilakukan hanya untuk wasilah (perantara) meluruskan dan merapatkan shaf saja. Jika sudah lurus, maka tidak nempel lagi. Lihat keterangan sebelumnya dari ucapan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin –rahimahullah-.
[4]. Amaliah merapatkan mata kaki dengan mata kaki dan pundak dengan pundak ketika bershaf, tidak mungkin akan konsisten. Karena jika konsisten, mereka harus melakukannya dalam seluruh keadaan ketika shalat, dari takbir pembukaan sampai salam. Dan ini perkara yang tidak mungkin terwujud seperti ketika posisi sujud, atau duduk di antara dua sujud, atau duduk tasyahhud (awal ataupun akhir), dan yang lainnya. Ini semua justru menjadi indikasi tambahan, bahwa dibutuhkan celah/jarak dalam bershaf.
[5]. Para ulama kibar di Saudi pun tidak mengamalkan tata cara merapatkan shaf sebagaiman yang diamalkan oleh sebagian kecil muslimin di Indonesia ini. Bisa disaksikan lewat video atau gambar. Tentunya amaliah mereka didasarkan kepada ilmu dan bukan kejahilan.
Kesimpulan :
1]. Meluruskan dan merapatkan shaf dalam shalat, perkara yang disyari’atkan. Dan hukumnya sunnah menurut jumhur ulama’, tidak sampai derajat wajib.
BACA JUGA: Jangan Lebay Merapatkan Shaf
2]. Meluruskan dan merapatkan shaf tidak dengan menempelkan mata kaki dengan mata kaki dan pundak dengan pundak. Akan tetapi dengan sedikit jarak antara keduanya. Dimana jaraknya tidak terlalu luas tapi juga tidak sampai nempel. Sekitar empat jari atau satu jengkal (antara telapak kaki yang satu dengan yang lain, bukan pundak).
3]. Adanya celah yang dilarang, adalah celah yang cukup dipakai untuk satu orang atau lebih. Adapun jika kurang dari itu, maka boleh (lihat point no : 2).
4]. Merapatkan shaf dengan menempelkan mata kaki dengan mata kaki dan pundak dengan pundak, hukumnya makruh, karena akan menganggu orang lain dan mengurangi kekhusyu’an seorang dalam shalatnya. []
Facebook: Abdullah Al-Jirani