Oleh: Rahmatia Lang Ere, tialangere@gmail.com
BAGAIMANA mungkin, mengurangi bisa membuat semakin bertambah? Terdengar kontradiktif, tapi tentu saja mungkin, dan fenomena ini sering kita jumpai di alam. Mari kita perhatikan.
Alam memberikan begitu banyak pelajaran berharga. Siang dan malam yang nampaknya kontradiktif, ternyata terjadi secara bersamaan. Timur dan barat juga sering kita katakan sebagai kata yang berlawanan, tapi ternyata timur bisa menjadi barat dan barat bisa menjadi timur.
Dari sebatang pohon pun banyak pelajaran berharga yang dapat diambil, tentu saja hanya oleh orang yang mau “membaca” tanda-tanda yang diberikan. Sebuah contoh kecil, sebatang pohon yang dipangkas ujung-ujungnya. Nampak jelas bahwa setelah dipangkas, ukuran pohon itu menjadi lebih kecil, ukuran pohon kita kurangi. Tapi, beberapa waktu setelah itu, akan ada banyak tunas baru yang tumbuh, yang nantinya akan berkembang menjadi cabang-cabang pohon yang lebih banyak serta lebih subur dari sebelumnya. Mengurangi ukuran pohon, membuat ukurannya semakin brtambah besar.
Sedekah pun seperti itu. Dengan kalkulasi sederhana, setelah bersedekah harta kita berkurang sebanyak apa yang kita sedekahkan. Namun, matematika sedekah berbanding terbalik. Dengan mengurangi jumlah harta yang kita miliki lewat sedekah, menjadi penyebab semakin bertambah banyaknya harta yang kita miliki, cepat atau lambat, di dunia maupun di akhirat. Tidak percaya?
“Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Mahaluas, Maha Mengetahui.” (QS. 2: 261)
Dengan janji-Nya yang seperti ini, dan kita sama-sama tahu bahwa Dia tidak pernah ingkar janji, seharusnya membuat kita tidak ragu-ragu untuk mengeluarkan harta kita di jalan-Nya. Apapun keadaan kita, memiliki kekayaan atau berkecukupan. Ya, lawan dari kekayaan adalah kecukupan, bukan kemiskinan. (Lihat QS. 53: 48).
“Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa; (yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan.” (3: 133-134)
“Hendaknya orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan.” (65: 7)
Dari kedua kutipan ayat tersebut, terlihat bahwa bukan hanya yang memiliki kekayaan saja yang diminta untuk bersedekah. Orang yang dalam keadaan sempit rezekinya juga diminta melakukan hal yang sama. Lapang maupun sempit, kaya maupun cukup.
Berkaitan dengan urusan sedekah ini, saya jadi teringat sebuah kisah dari seorang teman, yang dia peroleh dari Ustadz Salim A. Fillah (via inspiring_muslimah). Diceriterakan tentang seorang haji, sebut saja Haji Usman. Mungkin orangtuanya dulu berdo’a agar sang putra mewarisi kemuliaan Sayyidina Utsman ibn Affan Radhiyallahu ‘Anhu.
Pemilik salah satu usaha batik terkemuka di Yogyakarta ini memang dikenal atas kedermawanannya, seakan harta telah begitu tak berharga baginya. Seakan dunia telah begitu hina di matanya. Ringan baginya membuka kotak persediaan, gampang baginya menyeluk kantong simpanan dan seakan tanpa beban dia mengulur bantuan. Inilah mungkin sosok nyata orang yang dunia di tangannya dan akhirat di hatinya. Maka beberapa orang pengusaha muda yang bersemangat mendatangi beliau…
“Ajarkan pada kami, Ji,” kata mereka, “bagaimana caranya agar kami seperti Haji Usman. Bisa tidak cinta pada harta dan tidak sayang pada kekayaan, hingga seperti haji Usman, bershadaqah terasa ringan.”
“Wah,” sahut Haji Usman tertawa, “salah alamat!”
“Lho?”
“Lha iya. Kalian datang pada orang yang salah. Lha saya ini SANGAT MENCINTAI HARTA SAYA je. Saya ini sangat mencintai kekayaan saya je.”
“Lho?”…
“Kok lho. Lha sebab saking cinta dan sayangnya saya pada harta, SAMPAI-SAMPAI SAYA TIDAK RELA MENINGGALKAN HARTA SAYA DI DUNIA INI. Saya itu TIDAK MAU BERPISAH dengan kekayaan saya. Makanya sementara ini saya titip-titipkan dulu. TITIP pada Masjid, TITIP pada anak yatim, TITIP pada madrasah, TITIP pada pesantren, TITIP pada pejuang fii sabilillah. Alhamdulillah ada yang berkenan dititipi, saya senang sekali. Alhamdulillah ada yang sudi diamanati, saya bahagia sekali. Pokoknya DI AKHIRAT NANTI MAU SAYA AMBIL LAGI. Saya ingin kekayaan saya itu dapat saya nikmati berlipat-lipat di akhirat.”
Mengurangi agar semakin bertambah. Tambahan itu bisa langsung kita rasakan di dunia dalam waktu cepat atau lambat, atau bisa juga Allah tangguhkan hingga nanti di akhirat. Sekali lagi, mengurangi agar semakin bertambah, tidak hanya berkutat pada masalah harta. Tapi lebih jauh lagi dari itu, mengurangi kecintaan pada dunia, agar semakin bertambah kedekatan kita dengan-Nya. []