Oleh: Ustadz Ainul Yaqin
Wakil Ketua Majelis Dakwah dan Pendidikan Islam (MADANI)
krtpainulyaqin@gmail.com
ISLAM telah memberikan panduan dalam ibadah kepada Allah secara (Komprehensif) bahkan detail dalam segala aspek ibadah termasuk persoalan pernikahan, mulai dari rukun, syarat menikah serta tata cara memilih pasangan yang ideal sesuai arahan Nabi, termasuk mempersiapkan pernikahan yang ideal menurut sunnah, dalam membingkai rumah tangga Sakinah, Mawwadah Warahmah (Samara).
Bulan Muharram adalah salah satu bulan haram dari yang empat bulan, yaitu Zulqa’idah, Zulhijjah dan Muharram dan Rajab. (HR. Bukhari dan Muslim)
Bulan Muharam juga dimaksudkan mengingatkan umat Islam untuk mengenang hijrah yang dilakukan Rasulullah dari Mekah ke Madinah pada akhir bulan Shafar, dan tiba di Madinah pada awal bulan Rabiul Awal.
Imam Fakhruddin ar-Razi berpendapat bahwa setiap perbuatan maksiat di bulan haram akan mendapat adzab yang lebih dahsyat, sebaliknya, amal ibadah shalih akan mendapatkan pahala berlipat .
وَمَعْنَى الْحَرَمِ: أَنّ الْمَعْصِيَةَ فِيْهَا أَشَدُّ عِقَاباً ، وَالطَّاعَةُ فِيْهَا أَكْثَرُ ثَوَاباً
“Maksud dari haram adalah sesungguhnya kemaksiatan di bulan-bulan itu memperoleh siksa yang lebih berat dan ketaatan di bulan-bulan tersebut akan mendapat pahala yang lebih banyak.”(Tafsir al-Fakhrir Razi juz 16 :53)
Menikah adalah ibadah adalah kebaikan yang disunahkan dalam rangka menjauhkan diri dari maksiyat, mencegah kerusakan (zina), menghalalkan hubungan sebagai suami istri untuk memperoleh keturunan, kesemuanya adalah kebaikan dan kemaslahatan dalam kehidupan sebagai umat Islam.
Karenanya sangat pas dan klop jika bulan muharam yang mulia, kita mengisinya dengan ibadah yang sangat mulia dan dianjurkan bagi yang telah mampu.
BACA JUGA: Jika Suami Minta Izin Menikah
Keyakinan akan kekuatan khusnudzon (berbaik sangka) kepada Allah “khusnudzon” sebenarnya untuk mengajarkan umatnya dalam kehidupan yang lebih baik. Khusnudzon (berbaik sangka) bahwa segala sesuatu adalah baik dan positif jika tidak ada larangan dari Allah SWT. Khusnudzon Kepada Allah SWT akan menempatkan posisi seseorang lebih menguntungkan, lebih dekat pada kesuksesan, keberkahan dan kemuliaan dari Allah SWT, termasuk meyakini bahwa Allah akan memberikan kebaikan dalam pernikahan yang dilaksanakan pada bulan Muharam.
Allah akan mengamini (baca: mengabulkan) apa yang menjadi persepsi atau keyakinan kita akan kekuasaan atau karuniaNya, jika kita menganggap bahaya atau jelek, bisa jadi Allah akan mengamini sugesti atau keyakinan tersebut.
Begitu juga sebaliknya, jika beranggapan bulan Muharam adalah bulan yang mulia, bulan dimana banyak karunia Allah SWT pada para Nabi-nabi-Nya.
Dan dengan melaksanakan pernikahan pada bulan mulia tersebut ada harapan, spirit, motivasi agar Allah juga melimpahkan kebahagiaan dan kesuksesan dalam perkawinan. Bisa jadi hal tersebut akan dikabulkan Allah SWT, karena prasangka baik itu.
Karena itu berprasangkalah baik bahwa Muharram berkah untuk menikah.
قال النبي – صلى الله عليه وسلم – : يقول الله تعالى : أنا عند ظن عبدي بي
Nabi Muhammad SAW bersabda: Sesungguhnya Allah berfirman: “Aku sebagaimana prasangka hambaku kepada-Ku…” (HR.Bukhori Muslim)
Dalam redaksi hadits riwayat Imam Ahmad, terkait hadits qudsi tersebut malah jelas ada penekanan
أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي ، إِنْ ظَنَّ بِي خَيْرًا فَلَهُ ، وَإِنْ ظَنَّ شَرًّا فَلَهُ
“Aku sesuai prasangka hamba-Ku kepada-Ku, jika ia berprasangka baik kepadaku maka bagi-Nya kebaikan dan jika berprasangka buruk kepada-Ku maka baginya keburukan.” (HR.Ahmad)
Begitu mulianya Muharram, hingga diabadikan dan diagungkan dalam Al-Qur’an sebagai spirit ibadah agar Umat Islam menyadari kemuliaan bulan Muharam dan hikmah didalamnya.
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS At Taubah: 36).
BACA JUGA: Lebih Baik Terlambat Menikah daripada Menyesal Seumur Hidup
Kesadaran untuk memperbanyak mendekatkan diri pada Allah SWT, beribadah dengan berpuasa sunnah (Tasu’a dan Asyuro), bersedekah, menjalankan ibadah sunnah yang lain, berlomba dalam kebaikan, sekaligus menjauhi segala perbuatan dzholim dan dosa.
Bulan Muharam juga disebut sebagai bulan Allah (Syahrullah). Sebagaimana sabda Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْل
“Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadan adalah puasa pada syahrullah (bulan Allah) yaitu Muharram. Sementara salat yang paling utama setelah salat wajib adalah salat malam.” (HR Muslim)
Merencanakan Pernikahan dibulan Muharram itu Indah, dengan niat meningkatkan Ibadah Kepada Allah, menjadikan spirit Muharam untuk Hijrah dzhohir dan bathin menuju keridhoan Allah SWT. adalah hal sangat positif dan tentunya akan memperoleh balasan kebaikan dari Allah SWT.
Sebab menurut konsepsi Islam, bahwa hidup sepenuhnya untuk mengabdi dan beribadah hanya kepada Allah SWT, berbuat baik kepada sesama manusia. Dan menikah adalah membangun rumah tangga adalah salah satu kesunnahan, lahan subur bagi ibadah dan amal shalih di samping ibadah dan amal-amal shalih yang lain. Terlebih dijalankan dengan niat kebaikan dan mengharap keberkahan dari Allah SWT di bulan Muharam tersebut.
Janganlah menciptakan keraguan atau sikap was-was dengan menganggap bahwa Bulan Muharram sebagai bulan sial untuk menikah, mendatangkan kemadharatan. Apalagi haram menikah dengan alasan yang kurang berdasar, karena kekhawatiran atau prasangka yang berlebihan tanpa dasar, atau menduga-duga.
BACA JUGA: Benarkah Ada Larangan Menikah di Bulan Muharram?
Jika alasan terhalangnya karena peristiwa tertentu seperti peristiwa karbala atas wafatnya sayidina Husen bin Ali Karamullah Wajha, yang kebetulan bertepatan dengan ‘Asyura (hari kesepuluh) bulan muharam, maka mungkin kita bisa mengganti di hari lainya, dengan alasan lebih rasional karena rasa empati dan duka.
Terlebih secara etika atau adab asyura dan tasu’a disunahkan bagi kita puasa, maka kita menempatkan di hari lain. Menghormati orang berpuasa sunnah maka kita juga memperoleh pahala, yakni pahala menghormati puasa sunnah serta semata-mata menjaga etika atau empati atas duka meninggalnya cucu Rosulullah, bukan karena haram ataupun takut sial.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengharamkan kebaikan-kebaikan yang telah Allah halalkan untuk kalian dan janganlah kalian melampaui batas! Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS Al-Maidah: 87) []