JIKA berbicara sesuai hukum agama, apabila posisimu ialah seorang laki-laki yang sudah dewasa tidak menjadi persoalan menikah tanpa restu orang tua.
Sebab apabila ditinjau dari segi hukum fiqih, pengantin laki-laki yang mempunyai niat menikahi perempuan, tidak butuh orang tua untuk duduk sebagai wali dalam akad nikah. Ijab qabul yang dilakukannya cukup dilakukan oleh dirinya sendiri.
Masalahnya posisimu ialah seorang perempuan. Dalam urusan ijab qabul saat prosesi akad nikah, perempuan tidak boleh melakukan akad nikah dan ijab qabul sendiri. Karena pada dasarnya Allah SWT memang tidak berikan wewenang itu kepadanya. Allah memberikan wewenang untuk melakuan ijab qabul atas diri seorang perempuan hanyalah kepada ayah kandungnya yang sah, di mana posisinya sebagai wali.
Hanya saja, baik laki-laki dan perempuan tetap saja mesti memiliki etika bahwa restu dari orang tua In-syaa Allah akan menjadi doa keselamatan dan kesejahteraan dalam berumah tangga. Oleh sebab itu, sangat disarankan menikah dengan restu kedua orang tua, karena bagaimana pun kita tidak akan terlahir dan mewujud sebagai manusia apabila tidak melalui perantara orang tua kita.
Apalagi kalau posisi kita perempuan, bukan etika dan spiritualitas saja yang menjadi pertimbangan, tetapi juga mengantisipasi hal-hal buruk yang bisa saja timbul di kemudian hari. Misalnya, apabila terjadi perceraian, apa jadinya nasib seorang perempuan? Di dunia ini, banyak yang menjadi mantan istri tetapi tidak ada istilahnya mantan anak. Kalau menikah tanpa restu orang tua, kemudian kedua orang tua murka akan menjadi malapetaka yang sesalnya ditanggung seumur hidup.
Cinta memang terlihat megah di dalam dada, namun hati-hati saat kemegahan itu merobohkan akal sehat akan menjadi petaka. Hukum yang sudah menjadi ketetapan Allah bersifat mutlak, kita tidak memiliki wewenang untuk mengubahnya. Justru pada saat orang tua kita kurang menyetujui inilah yang akan menjadi bukti ketangguhan seorang laki-laki untuk membuktikan cintanya. Sebagai laki-laki, dirinya harus mampu meyakinkan orang tuamu dengan beragam cara.
Kadangkala orang tua menyengaja kurang merestui untuk melihat apakah calon menantunya tangguh moral, mental dan spiritualnya untuk menjadikan cinta sebagai kesempurnaan separuh agama. Bukankah selalu ada ujian agar mencapai kebahagiaan yang sempurna penikmatannya. Anggap saja, orang tuamu sedang merencanakan hal terbaik untuk memilihkan imam rumah tangga yang mampu bertanggung jawab dunia-akhirat.
Pada saat laki-laki pilihan hatimu berjuang meyakinkan orang tuamu, cobalah dirimu juga membuka musyawarah. Bukankah dirimu itu darah daging orang tuamu, jadi kesungguhanmu dalam meyakinkan orang tua dengan santun dan sabar akan membuka pintu restu mewujud dengan sedemikian lebar.
Selamat menjadi peramu cinta, bukan sekadar menjadi pemimpi cinta. Peramu cinta berjuang mengolah keyakinannya dengan tata cara yang baik dan benar. Berjuang dengan sekuat tenaga sembari berpasrah pada ketetapan Allah.
Sedangkan pemimpi cinta, masih menikmati pemaknaan cinta sebagai sesuatu yang indah tanpa melalui kerja keras, sehingga begitu menemukan sedikit hambatan mencoba keluar dari jalur kebaikan dan kebenaran. Semoga Allah membuka pintu hati orang tuamu, sehingga kesanggupanmu menikah dengan seseorang yang dirimu cinta terengkuh dalam jiwa. Aamiin .[]
Arief Siddiq Razzan