Ustadz, saya tinggal di Portugal, Alhamdulillah saya seorang muslim, saya mempunyai pertanyaan khususnya tentang masalah pernikahan dengan wanita ahli kitab yang beriman bahwa Allah itu ada, namun dia dalam kondisi hamil dari laki-laki sebelumnya yang menghamilinya diluar nikah. Apakah menikahinya dianggap sah dan apakah dia mempunyai masa iddah sebagaimana seorang muslimah?
Alhamdulillah, kami sitat dari Islamqa.
Pertama. Di antara syarat sahnya menikah dengan wanita ahli kitab adalah dia harus afifah (menjaga kehormatan dirinya), berdasarkan firman Allah Ta’ala-:
“(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.” (QS Al-Maidah: 5).
Maksud dari al Muhshanat dalam ayat di atas adalah para wanita merdeka dari ahli kitab yang menjaga kehormatan dan kesucian mereka, merekalah yang dihalalkan untuk dinikahi oleh seorang muslim.
Adapun selain mereka yang tidak menjaga kehormatan mereka, maka haram untuk dinikahi baik mereka seorang muslimah atau wanita ahli kitab sampai mereka bertaubat terlebih dahulu.
Syeikh Abdurrahman as Sa’di –rahimahullah- berkata: “Adapun para wanita nakal yang tidak menjaga kehormatannya dari perbuatan zina, maka tidak boleh menikahi mereka, baik yang beragama Islam atau termasuk wanita ahli kitab sampai mereka bertaubat, berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik”. (QS. An Nuur: 3)
(Tafsir Syeikh as Sa’di: 221).
Atas dasar itulah, maka tidak dihalalkan untuk menikahi wanita yang disebutkan dalam pertanyaan; karena tidak adanya syarat menjaga kehormatannya dalam dirinya.
Kedua.
Wanita yang hamil dari pernikahan maupun dari perzinaan tidak dihalalkan untuk dinikahi sampai masa iddahnya berlalu, yaitu; sampai sesudah melahirkan, berdasarkan riwayat Abu Daud (2158) dari Ruwaifi’ bin Tsabit al Anshori –radhiyallahu ‘anhu- berkata: saya telah mendengar Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
“Tidak dihalalkan bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyiram airnya pada tanaman orang lain, maksudnya menggauli wanita yang hamil dari orang lain.” (Dihasankan oleh Syeikh Al Baani dalam Shahih Sunan Abu Daud)
Atas dasar inilah, jika seorang wanita telah bertaubat dari perbuatan zina, maka ia menjadi terhormat kembali dan boleh menikahinya setelah masa iddahnya selesai; yaitu setelah janinnya dilahirkan, syarat untuk menikahi wanita ahli kitab sama dengan syarat menikahi wanita muslimah, yaitu; dengan persetujuan wali dan dihadiri oleh para saksi.
Apa yang telah dijelaskan sebelumnya dalam masalah ini dilihat dari sisi hukum syar’i, sedangkan dilihat dari sisi nasihat dan irsyad bahwa seorang muslim hendaknya tidak melanjutkan pernikahan seperti itu; dengan alasan bahwa wanita tersebut bisa jadi akan kembali lagi pada masa lalunya dengan melakukan perbuatan yang diharamkan, demikian juga menikah dengan wanita ahli kitab secara umum akan mempunyai dampak pada agama, akhlak, anak-anak dan suaminya, maka berpaling darinya lebih selamat dan lebih utama.
Jika menikahi wanita ahli kitab yang menjaga kehormatannya saja menimbulkan beberapa faktor negatif, masalah terkini yang tak kunjung usai, maka bagaimana jika kondisinya seperti yang anda sebutkan, telah berkumpul dalam dirinya dua keburukan, semoga Allah melindungi kita semua. Wallahu a’lam. []