Oleh: Muhammad Abduh Negara
SELAIN berisi perintah untuk melakukan sesuatu, Syariah Islam juga berisi perintah untuk meninggalkan sesuatu. Perkara yang diperintahkan untuk ditinggalkan ini, ada yang hukumnya makruh, juga ada yang haram.
Saat melakukan sesuatu yang diperintahkan, dalam banyak kasus, aktivitas kita itu hanya dianggap sah oleh Syariah, jika kita meniatkannya. Ini sesuai dengan Hadits masyhur:
إنما الأعمال بالنيات
Artinya: “Sesungguhnya amal-amal itu tergantung dengan niatnya.” (Muttafaq ‘alaih)
BACA JUGA:Â Akibat Terlalu Sering Maksiat
Dan sesuai dengan kaidah fiqih: الأمور بمقاصدها (Setiap perkara itu sesuai dengan tujuannya).
Adapun meninggalkan sesuatu yang diperintahkan oleh Syariah untuk ditinggalkan atau dijauhi, seperti zina, memakan harta riba, membunuh, mencuri, berjudi dan berbagai kemaksiatan lainnya, ia tetap sah dan diakui, meski kita tidak berniat secara khusus untuk meninggalkannya.
Misal, dalam satu hari kita tidak berzina, maka tujuan dari perintah syara’ untuk meninggalkannya, atau larangan syara’ untuk melakukannya, sudah kita penuhi, meski sepanjang hari tersebut kita tidak berniat untuk meninggalkan zina.
Namun, jika kita ingin mendapatkan pahala dari aktivitas meninggalkan berbagai maksiat tersebut, kita perlu niat.
Jadi, kita sudah dianggap meninggalkan zina oleh syara’, saat kita tak berzina, meskipun kita tak berniat meninggalkan zina. Kita tak berzina misalnya, karena tidak terpikir saja, atau sibuk dengan aktivitas lain, tidak ada kesempatan dan hal-hal yang memancing untuk melakukannya, dan seterusnya.
BACA JUGA:Â Awas, Hindari 3 Pokok Maksiat Ini!
Namun kita tidak mendapatkan pahala di sisi Allah ta’ala dari aktivitas meninggalkan zina tersebut, kecuali jika ia kita niatkan. Misal, setiap bangun pagi, kita berniat bahwa hari itu kita tidak akan berzina, tidak memakan riba, tidak berjudi, tidak mencuri, dan lain-lain, karena Allah ta’ala.
Jika kita niatkan seperti ini, aktivitas kita meninggalkan berbagai kemaksiatan di atas, akan mendapatkan balasan pahala dari Allah ta’ala.
Wallahu a’lam. []
Rujukan: Idhah Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, karya Syaikh ‘Abdullah bin Sa’id Al-Lahji, Halaman 24, Penerbit Dar Adh-Dhiya, Kuwait (dengan beberapa tambahan penjelasan).