Oleh: Dedeng Juheri
“APA motif naik gunung?
Usai shalat shubuh seorang bapak bertanya, karena malam itu kami turun gunung dan sampai pukul 00.30 wib.
Di saat pendaki lain tidur di base camp pendakian, saya dan seorang kawan sengaja tidur di Masjid Al-Multazam, Kuningan Jawa Barat.
“Selain hobi, ada juga yang berburu view, sunrise, refreshing dan sebagainya.”
“Kalau kamu sendiri?”
Agak gelagapan saya beroleh tanya seperti ini, lalu dengan sedikit diplomatis saya pun menjawab: “Memuncak untuk melihat hamparan alam, tafakur, merenung, bersyukur dan mengagungkan Pencipta.”
Tentu saja ini jawaban basa-basi, yang bisa saja setiap orang memiliki motif sendiri untuk apa ia mendaki, menjelajahi gunung demi gunung.
Lalu apa niat saya sebenarnya?
Selain jawaban saya di atas pada seorang bapak, semenjak awal sebelum mendaki saya sudah terus terang pada seorang kawan, ”Saya ingin shalat Dhuha, sujud di puncak gunung.”
Kerinduan mendaki puncak tertinggi, semoga menyadarkan kita betapa kecil, rendah, dan lemah di hadapan Allah Swt.
Begitu sampai di ketinggian 3078 meter di atas permukaan laut, ternyata masih ada yang lebih tinggi. Betapa besar, kokoh, menujulang, agung, dan perkasa.
Menyaksikan mentari menyingsing lembut dari timur, awan hitam pelan-pelan menyalakan benih cantik, bias, semburat, garis lurus, warna-warni menghiasi pagi hari.
Awan pun menjadi putih, bergulung seperti karpet empuk nan gemulai.
Puncak Gunung Slamet di arah timur, Purwokerto Jawa Tengah menampakan keanggunannya. Sawah, ladang, danau, sungai, dan pemukiman warga menampakkan wajah indahnya.
Maka nikmat Tuhan mana lagi yang kaudustakan? []