SAAT kita mati, tubuh kita akan membusuk lalu menjadi tulang belulang.
Saat kita mati, ibadah fisik sudah tidak bisa kita jalankan, tinggal pahalanya yang kita peroleh, itu pun jika amal tsb benar-benar diterima sebagai amal shalih yang berpahala.
BACA JUGA: Zaid bin Tsabit, yang Menuliskan Al-Quran
Saat kita mati, kita sudah tidak bisa lagi mengajar, tidak bisa lagi hadir di majelis ilmu, baik sebagai nara sumber atau peserta.
Saat kita mati, bisa jadi manusia perlahan akan melupakan kita, melupakan majelis kita bahkan nama kita
Tapi, ada cara “mengabadikan” dan mendokumentasikan kebaikan itu.. Yaitu tulislah kebaikan, ide, ilmu, gagasan, pengajaran, dan apa pun yang bermanfaat..
Baik buku, jurnal, esay, makalah, artikel, dan lainnya. Tidak apa-apa jika sedikit pembacanya disaat kemunculannya. Sebab, itu tetap menjadi data base diri kita di dunia yang suatu saat manusia akan membutuhkan dan mencarinya.
Imam asy Syafi’i sudah wafat 12 Abad lalu, tapi karyanya masih kita nikmati. Pahala ilmu bermanfaat tiada henti baginya.
Begitu pula para imam hadits seperti Bukhari, Muslim, dan ashabus sunan, mereka wafat sudah 11 Abad lalu. Tapi kumpulan hadits mereka menjadi rujukan miliyaran umat Islam.
Inilah cara cerdik mengawetkan manfaat ilmu dan amal shalih.
Telah shahih dari Umar bin Khathab dan Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhuma, mereka berkata, “Ikatlah ilmu dengan tulisan.’ (Diriwayatkan oleh Al Hakim dalam Al Mustadrak, Ath Thabarani dalam Al Kabir, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra, dll)
BACA JUGA: Apa Hukum Menulis Kaligrafi Ayat Alquran Berbentuk Binatang?
Telah shahih pula dari Anas bin Malik bahwan Rasulullah SAW bersabda, “Ikatlah ilmu dengan (menulis) buku.” (HR. Khathib Al Baghdadi dalam Tarikh Baghdad, Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyqi, Ibnu Abdil Bar dalam Jaami’ Al Bayan Al ‘Ilmi wa Fadhlih, Ramahurmuzi dalam Al Muhaddits Al Fashil, dll)
Begitulah, mujahid ditemani dan dikenang karena darahnya, para ulama ditemani dan dikenang karena goresan tintanya. []
SUMBER: UMMU FATUM