BOLEHKAH menunda berubungan setelah nikah, misalnya nunggu sampai selesai kuliah, braru berencana punya anak?
Setiap akad mempunyai konsekuensi. Diantara konsekuensi akad nikah adalah mereka berdua menjadi suami istri. Sehingga halal bagi mereka untuk melakukan apapun sebagaimana layaknya suami istri. Namun bukan berarti setiap yang melakukan akad harus segera melakukan yang dihalalkan untuk suami istri. Boleh saja, mereka tunda sampai waktu tertentu atau sesuai yang dikehendaki pasangan suami istri.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika beliau berusia 7 tahun. dan Beliau baru kumpul dengan Aisyah, ketika Aisyah berusia 9 tahun.
Dari Urwah, dari bibinya, Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau bercerita,
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikah dengan Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika Aisyah berusia 7 tahun. dan Aisyah kumpul dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau berusia 9 tahun, sementara mainan Aisyah bersamanya. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat ketika Aisyah berusia 18 tahun,” (HR. Muslim 3546).
Dalam riwayat lain, Aisyah radhiyallahu ‘anha juga bercerita,
“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menikahiku pada saat usiaku 6 tahun, dan beliau serumah denganku pada saat usiaku 9 tahun,” (Muttafaqun ‘alaih).
Semua riwayat ini dalil bahwa pasangan suami istri yang telah menikah, tidak harus langsung kumpul. Boleh juga mereka tunda sesuai kesepakatan.
Ar-Ruhaibani mengatakan,
Jika salah satu dari suami istri minta ditunda maka harus ditunda selama rentang waktu sesuai kebiasaan yang berlaku, untuk persiapan bagi pihak yang minta ditunda, seperti 2 atau 3 hari, dalam rangka mengambil yang paling mudah. Dan acuan dalam hal ini kembali kepada apa yang berlaku di masyarakat. karena tidak ada acuan baku di sana, sehingga harus dikembalikan kepada tradisi yang berlaku di masyarakat. (Mathalib Ulin Nuha, 5/257).
Bisa juga kembali kepada kesepakatan kedua pihak.
Dalam Fatwa Syabakah Islamiyah dinyatakan,
Syariat tidak menentukan batas waktu tertentu sebagai rentang antara akad dengan kumpul. Karena itu, acuan dalam rentang ini kembali kepada ‘urf (tradisi masyarakat) atau kesepakatan antara suami istri. (Fatwa Syabakah Islamiyah, no. 263188). Allahu a’lam. []
Sumber: konsultasi syariah