TANYA: Apakah berdosa orang yang sudah mampu berqurban tapi menundanya?
JAWAB: Dikutip dari konsultasisyariah.com, hukum berqurban adalah sunah muakkadah menurut pendapat yang kuat (rajih). Inilah pendapat yang dipegang oleh mayoritas ulama (jumhur). Sehingga orang yang meninggalkannya tidak berdosa. Hanya saja, para ulama mewanti-wanti kepada mereka yang mampu kemudian tidak berqurban, bahwa mereka telah melakukan perbuatan yang sangat makruh.
Sebagian ulama berpandangan wajib untuk yang berkemampuan. Mereka berdalil dengan hadis,
مَنْ وَجَدَ سَعَةً فَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا
Barangsiapa yang memiliki kemampuan namun tidak berqurban, makan jangan sekali-kali mendekat ke tempat sholat kami. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
Pendapat ini dipegang oleh mazhab Hanafi.
Namun pendapat kedua ini dipandang lemah karena :
[1] hadis di atas dinilai lemah (dha’if) oleh para ulama hadis. Karena diantara perawinya terdapat Abdullah bin ‘Ayyas, yang dinilai sebagai perawi yang lemah.
Sebagaimana keterangan dari Syaikh Syu’aib al Arnauth rahimahullah, “Sanad hadis ini lemah. Abdullah bin ‘Ayyas (salah seorang rawinya) dinilai lemah. Dia juga mengalami kekacauan dalam periwayatan hadis ini. Keterangan selanjutnya akan dipaparkan di pembahasan takhrij.” Kemudian beliau melanjutkan, “Syaikh Albani menilai hadis ini hasan dalam Takhrij Musykilah al Faqr. Namun beliau keliru dalam penilaian tersebut.”
(Ta’liq Musnad Imam Ahmad 2/321).
[2] terdapat riwayat shahih, bahwa Abu Bakr, Umar, Ibnu Abbas, dan beberapa sahabat lainnya tidak berqurban. Karena mereka khawatir kalau berqurban dianggap suatu yang wajib.
Imam Thahawi menyatakan,
وروى الشعبي عن أبي سريحة قال رأيت أبا بكر وعمر ـ رضي الله عنهما ـ وما يضحيان كراهة أن يقتدى بهما.
Asy-Sya’bi meriwayatkan dari Suraihah, beliau berkata, “Saya melihat Abu Bakr dan Umar -semoga Allah meridhoi keduanya- tidak berqurban. Karena tidak ingin orang mengikutinya (pent. menganggapnya wajib),” (Mukhtashor Ikhtilaf al-Ulama 3/221).
Abu Mas’ud al Anshori pernah mengatakan
إني لأدع الأضحى وأنا موسر مخافة أن يرى جيراني أنه حتم علي.
Sungguh saya pernah tidak berqurban padahal kondisi saya mampu. Karena saya khawatir tetanggaku akan berpandangan bahwa berqurban itu kewajiban. (Ahkam al Quran, al Jasshos, 5/85).
Ibnu Umar menegaskan,
ليست بحتم ـ ولكن سنة ومعروف
“Berqurban bukan sebuah kewajiban. Namun hanya sunah yang ma’ruf,” (Ahkam al Quran, al Jasshos, 5/85).
Oleh karenanya yang lebih tepat, hukum berqurban adalah sunah mu-akkadah. Sementara makna sunah dari sudut pandang fikih adalah, perbuatan yang bila dikerjakan berpahala, bila ditinggalkan tidak berdosa. Sehingga meninggalkannya tidak berdosa meskipun kondisinya mampu. Hanya saja hukumnya sangat makruh. []