Oleh Roni Tabroni
Penulis adalah dan Dosen Komunikasi Universitas Sangga Buana (USB) YPKP dan UIN SGD Bandung
MEMBANGUN kesadaran bermedia mungkin tidak semudah pentingnya makanan halal. Bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) di sini bisa mengkampanyekan makanan halal dengan pendekatan dalil yang mudah ditemukan dalam al-Quran, dengan pendekatan makanan sebaliknya yaitu haram dikonsumsi. Maka kesadaran itu tumbuh karena ada yang diharamkan termasuk keuntungan di balik makanan halal.
Fatwa semacam itu dapat digunakan untuk sistem ekonomi, misalnya bagaimana masyarakat dapat terjaga dari perilaku riba yang diharamkan oleh Allah. Maka alternatif tentang sistem syariah, mungkin lebih mudah, bahkan hingga membangun perbankan syariah besar-besaran. Semua Ormas Islam kemudian memindahkan kekayaannya dari bank konvensional ke bank syariah.
Yang lebih abstrak misalnya, yaitu tentang kewajiban menghindari pemikiran yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Ambil contoh misalnya tentang sekulerisme dan pluralisme. Menghindari pemikiran seperti itu relatif mudah difatwakan karena di lapangan kita akan menemukan cara-cara berfikir yang dianggap merusak keimanan dan keyakinan ummat.
Namun yang tidak mudah hingga kini adalah bagaimana MUI membangun keyakinan bersama akan pentingnya dakwah massif dan dapat menjadi sarana semua konten keagamaan (Islam). Bahwa semua metode dakwah sudah menjadi bagian dari perilaku ummat Islam dan organisasi-organisasinya. Namun dakwah di wilayah media atau yang lainnya menyebut dakwah bil qalam masih sangat lemah.
Biasanya, MUI selalu responsif terhadap berbagai isu keummatan, dari yang terkecil sampai paling besar. Namun untuk persoalan media, MUI sepertinya lupa. Walaupun demikian, MUI dan ummat Islam saat ini baik di Indonesia maupun dunia, sebenarnya menjadi bagian dari “korban” media. Bahkan bukan rahasia lagi bagaimana kini Islam Indonesia begitu buruk di mata dunia karena proses framing konten media luar negeri yang selalu mencitrakan Islam yang identik dengan perilaku radikal. Sementara di sisi lain kita tidak memiliki media yang besar dan kuat yang berpengaruh secara massif hanya sekedar menampilkan Islam yang sebenarnya.
Jangankan ummat Islam berbuat negatif, tidak melakukan apapun bisa jadi konten yang buruk. Aksi yang tanpa cacat saja masih tetap dicerminkan negatif di media besar yang berpengaruh terutama media luar, apakah dengan diksi-diksi yang negatif atau penghubungan dengan peristiwa lain yang sesungguhnya terpisah sama sekali. Islam kini hampir tidak memiliki wajah yang sebenarnya. Islam dirasakan kedamaiannya bagi pemeluknya sendiri. Aksi terorisme yang seringkali identik dengan Islam pun, tidak mampu dihadang oleh ribuan statement para ulama yang mengatakan tidak ada kaitannya dengan Islam, hanya karena simbol-simbol keislaman yang digunakan oleh para pelakunya.
Di sini, Islam menjadi objek penderita dari sebuah proses framing media yang benci terhadap Islam. Proses degradasi citra keagamaan ini menjadi sebuah proses penghancuran yang dilakukan secara profesional dan tertata rapi. Semuanya dibalut dengan sebuah mekanisme jurnalisme yang terverifikasi sehingga sulit terbantahkan. Maka tidak aneh jika ummat Islam pun kesulitan untuk menemukan celah dimana sisi kelemahan media-media yang berbau islamphobia ini sehingga dapat digugat secara hukum.
Proses pembingkaian berita terhadap sebuah fakta yang terjadi di jagat peradaban ini memang sah dilakukan. Sekaligus ini juga yang bisa menjelaskan bahwa tidak ada media yang sungguh objektif. Semua fakta terjadi dalam sebuah narasi kepentingan besar membungkus sebuah praktek jurnalistik. Subjektifitas menjadi terasa tatkala kita sudah “mengkonsumsi” pesan-pesan media tersebut.
Sementara di sekeliling kita (ummat Islam) selalu resah dengan keadaan tanpa bisa melakukan klarifikasi sekalipun. Hanya untuk menyajikan data paling otentik saja, kita hanya ramai dalam perbincangan warung kopi, atau paling banter diceramahkan para pendakwah di atas mimbar, tanpa membangun cara pandang dunia karena keterbatasan jangkauan – karena tidak ada media yang mau memuatnya.
Keadaban dan nilai-nilai baik Islam akhirnya terkubur dalam ruang-ruang religius sempit yang terbatas oleh benteng-benteng mesjid, mushola, majelis ta’lim, atau forum-forum keagamaan lainnya. Kita merasa hebat dan soleh karena berada di dalamnya. Sementara orang menganggap kita adalah bagian dari masyarakat keras, radikal, tidak toleran, bodoh, dan reaktif.
Kesadaran bermedia akhirnya tercecer dalam kelompok-kelompok kecil ummat Islam yang membangun kekuatannya sendiri-sendiri dengan kemampuan yang sangat terbatas. Dengan tanpa mengurangi rasa hormat, bahkan banyak media Islam yang diterbitkan pun dengan metode dan teknik jurnalistik sendiri dan tidak mampu mengimbangi media luar yang selalu menyerang Islam. Keberadaan media Islam yang masih kecil-kecil itu, juga harus menghadapi persoalan metode penyajian yang masih hitam putih sehingga orang sudah kabur sebelum membaca.
Keberadaan media Islam yang dianggap representatif dan memiliki kekuatan yang bisa mengimbangi media mainstream kini adalah Republika. Namun, keberadaan media (harian) Islam satu-satunya ini pun harus “babak belur” dihajar kanan-kiri, bahkan harus tetap berjalan menghadapi para pesaing yang sangat banyak dengan modal yang tidak berimbang. Sedangkan ummat Islam sendiri (termasuk Ormas-ormas Islam) tidak semua paham akan arti penting mendukung media ini sehingga turut memberikan nafas agar Republika (sebagai salah satu contoh) misalnya semakin besar.
Bercerai berainya ummat Islam dalam konteks dakwah di ranah media membuat kita tidak memiliki agenda yang terstruktur. MUI yang diharapkan dapat menjadi pemersatu ummat Islam untuk dakwah di bidang ini ternyata belum terlihat. Padahal setiap hari, setiap menit dan detik hidup ummat ini sangat dipengaruhi oleh konten media.
Di antara banyak agenda yang dapat dikontribusikan dalam membangun kekuatan media ummat ini, salah satu yang menjadi persoalan selalu pada aspek permodalan. Kehebatan media kini sangat dipengaruhi oleh modal. Sedangkan banyak ummat dan organisasi Islam kini yang bukan memberikan sumbangannya untuk memperkuat dakwah di media, baik langganan koran, iklan, atau memberikan zakatnya untuk media, justru yang terjadi selalu memanfaatkan media Islam untuk organisasinya.
Mungkin persoalan sumbangan untuk membesarkan media dakwah belum begitu familier bagi ummat Islam kita. Menyumbang untuk media dakwah, belum sama seksinya dengan menyumbang untuk bencana, wakaf al-Quran, pembangunan mesjid, atau untuk qurban dan beasiswa anak yatim.
Kita butuh media yang menginformasikan kita dan membuat citra Islam semakin baik, tetapi tidak mau mengulurkan tangan untuknya.
Sepertinya, potensi ZIS yang begitu besar di Indonesia, bahkan yang sudah terkumpul di berbagai lemabag zakat di tanah air, bisa dialokasikan sebagian untuk memperkuat media dakwah bersama ini. Begitu penting dan mendesaknya, tidak berlebihan jika MUI segera mengeluarkan fatwa untuk membangun kesadaran ummat dalam mendukung gerakan dakwah bermedia. Apakah gerakan infak secara khusus, atau menjadikan media sebagai salah satu asnaf di lembaga zakat. Media Islam jika sudah besar, kontennya bukan hanya untuk internal ummat Islam, tetapi juga untuk kemanusiaan dan peradaban universal. Wallau a’lam. []