AISYI tertegun. Ia memandangi rintik hujan di luar yang semakin deras turun. Sementara Bunda yang sedang membersihkan rumah sekali-sekali melirik ke arahnya. Berulang kali Aisyi melirik jam mungil di pergelangan tangan kirinya. Matanya tidak lepas dari rintik hujan.
Ketika sudah lewat hampir 15 menit, Aisyi menurunkan tas yang sudah digendongnya. Mulutnya mengeluarkan bunyi “Hhhhh,” yang panjang.
“Kenapa?” Bunda akhirnya bertanya demi melihat putri tersayangnya tampak seperti sedang kesal.
Aisy menatap Bunda. “Itu Bunda, hujannya kok tidak berhenti-henti. Kalau begini, Aisyi jadi tidak bisa pergi…”
Bunda tersenyum, “Lho, kamukan bisa pakai payung….”
“Iya tapi coba Bunda lihat, anginnya besar sekali. Mana sudah mau meluap lagi airnya….” Mulut Aisyi sedikit manyun sekarang.
Bunda tertawa kecil.
“Lho Bunda kok malah tertawa sih? Aisyi sudah telat setengah jam nih…”
“Memangnya kamu ada acara apa sih hari Minggu ke sekolah segala?” tanya Bunda yang kemudian duduk di samping Aisyi.
“Besok Aisyi jadi petugas upacara. Sekarang kan perlu berlatih sama teman-teman…”
Bunda merapikan kerudung kecil Aisyi yang masih terus memandang ke luar. Anak kelas 4 SD itu berharap hujan akan segera berhenti.
“Dari kemarin pagi hujan terus. Jalanan kan jadi becek Bunda…, dan kita tidak bisa kemana-mana…”
Bunda tersenyum. Ia mendekap putri tersayangnya itu. “Aisyi, Aisyi…. Kamu ingat sesuatu?”
“Apa Bunda?”
“Apa yang terjadi beberapa bulan kemarin?”
Aisyi mengerutkan kening, berusaha untuk mengingat-ingat sesuatu. “Apa ya?”
Bunda tertawa kecil, “Nah anak Bunda sekarang pelupa deh…”
Aisyi memandangi wajah Bunda lama. “Apa sih Bunda?”
“Aisyi,” ujar Bunda, “Kamu tahukan kalau sebelum dua bulan yang lalu hampir tidak pernah hujan sekalipun?”
Aisyi mengangguk.
“Nah, sekarang kok diturunkan hujan oleh Allah, Aisyi malah jadi kesal…”
“Iya tapi inikan tidak berhenti dari kemarin Bunda…. Jadinya kita sulit ke luar rumah…”
“He sayang, dulu kamu pernah berdoa supaya diturunkan hujan. Supaya kamu bisa hujan-hujanan. Supaya kamu tidak kepanasan….”
Aisy sekarang terdiam.
“Nah sekarang, setelah hujannya selalu turun mestinya kamu bersyukur deh…”
“Begitu Bunda?”
Bunda mengangguk. “Kamu tahu sayang, hujan yang turun dari kemarin pagi ini adalah rahmat Allah yang sedang turun ke bumi. Kepada kita.”
“Kenapa Bunda?”
“Ya coba kamu pikir deh, dengan hujan turun ini, sampah-sampah yang tadinya tersangkut di selokan, di sungai-sungai jadi terbawa hanyut..”
“Tapikan Bunda, jadinya banjir. Jalanan kita jadi jeblok.”
“Nah itu dia. Sebenarnya banjir itu tidak akan terjadi kalau kita mau membuang sampah pada tempatnya. Lagipula, coba Aisyi pikir lagi deh, ada mahluk-mahluk Allah lain yang sangat memerlukan air agar tetap bisa hidup.”
Aisyi mengangguk. “Seperti apa Bunda?”
Bunda melirik ke luar, hujan masih belum berhenti juga. “Ya seperti cacing, ikan, belut, kodok dan lainnya. Bisa Aisyi bayangkan tidak bagaimana kondisi mereka ketika berbulan-bulan lamanya tidak ada hujan turun—waktu kemarau itu?”
Bunda berhenti sejenak, kemudian melanjutkan, “Nah, mereka juga sama seperti kita, kepanasan. Dan dengan adanya air hujan ini, mereka bisa tetap hidup. Karena mereka sangat memerlukan air. Yang lebih kasihan lagi, mereka tidak akan berkembang biak jika tidak ada air.”
Aisyi mengangguk. “Tapi kan Bunda bagusnya sih diselang-seling ya, tidak hujan terus dan tidak kemarau terus…”
Bunda tersenyum. “Aisyi sayang, kalau itu terserah kehendak Allah. Nah, yang paling penting adalah bagaimana kita ini mensyukuri nikmat yang diberikan oleh Allah kepada kita ini. Percayalah, kemarau dan musim hujan sama bermanfaatnya bagi kita…”
“Walau misalnya ketika musim hujan terjadi banjir Bunda?”
Nunda mengangguk, “Betul. Itu artinya Allah sedang menegur kita, itulah akibatnya kalau membuang sampah sembarangan. Nah Aisyi suka buang sampah sembarangan tidak?”
Aisyi terdiam, kemudian berkata, “Nghh, cuma kalau buang bungkus permen saja Bunda. Lagipula ketika itu tidak ada tempat sampahnya, Bunda.”
“Itu juga sama sampah. Sekecil apapun sampah ya tetap sampah. Kelihatan kecil ya? Coba Aisyi pikir deh, jika saja ada seribu orang yang berpikiran sama seperti kamu, maka akan ada seribu bungkus permen yang menjadi sampah. Berserakan di jalan-jalan dan selokan.”
Aisyi terdiam. Ia memandangi Bunda. Bunda kembali bicara, “Nah, jika di dekat kamu tidak ada tempat sampah, bungkus permennya bisa kamu simpan dulu di tas, atau di saku baju kamu.”
Aisyi tersenyum. “Iya Bunda, aku janji tidak akan membuang sampah di mana lagi.”
“Itu anak yang sholehah. Sekarang karena hujannya juga belum berhenti, sambil menunggu reda, lebih baik Aisyi membantu Bunda membersihkan ruang belakang ya?”
“Terus janji dengan teman-teman di sekolah gimana Bunda?”
“Aisyi,” Bunda mengecup kening Aisyi, “Percaya deh, teman-teman kamu pasti mengerti. Lagipula kamu telat juga bukan di sengaja. Nah, kalau setengah jam lagi masih belum reda, nanti ayah deh yang akan mengantar kamu ke sekolah…”
“Terima kasih, Bunda. ..”
Hujan masih terus turun di luar. Aisyi segera menyimpan tasnya di meja, mengikuti Bunda ke belakang. []