MASYARAKAT awam kesempatan belajar dan kemampuan pemahamannya terbatas, orientasi belajarnya untuk beramal, bukan untuk menyampaikan apalagi mengajarkan ilmu kepada orang lain.
Yang seperti ini, tepatnya disajikan berbagai kesimpulan ilmu yang sifatnya praktis dan sederhana saja sesuai dengan kemampuan nalar mereka. Jika diberi materi-materi yang berat dan njlimet, maka sangat dikhawatirkan hanya akan menjadi fitnah bagi mereka sendiri.
Menyampaikan Ilmu kepada Masyarakat Awam
Dengan keterbatasannya, sangat mungkin mereka akan keliru dalam memahami dan menerapkan materi-materi yang sebenarnya bukan konsumsi mereka. Apalagi jika penjelasannya hanya bersifat global, tanpa diiringi pemaparan yang lengkap dan detail. Tentu potensi kekeliruannya juga semakin besar.
BACA JUGA: Bolehkah Orang Awam Berfatwa?
Jadi, jangan heran bila saat ini bermunculan orang-orang yang secara keilmuan masih belum mencukupi bahkan masih ‘kosong’, tapi mutaālim (sok alim) dan gegabah dalam berfatwa, ijtihad, dan istinbath. Hal ini sangat mungkin disebabkan oleh kesalahan metode tarbiyah sejak awal.
Akibatnya, mereka akan merasa pantas untuk melakukan hal-hal besar yang sebenarnya hanya boleh dilakukan oleh para ulama (berfatwa dan lain sebagainya).
Mereka akan menganggap, bahwa aktifitas tersebut (fatwa dan yang lainnya) merupakan hal yang mudah dan bisa dilakukan oleh siapapun, bahkan oleh mereka yang baru hadir kajian sekali atau dua kali sekalipun.
Tepat sekali ungkapan yang berbunyi:
طَعَامُ الْكِبَارِ سَمُّ الصِغَارِ
“Makanan orang dewasa, racun bagi anak kecil.”
Menyampaikan Ilmu kepada Masyarakat Awam
Artinya; makanan orang dewasa itu bermanfaat jika diberikan kepada orang dewasa. Tapi jika diberikan kepada anak kecil (bayi), hanya akan membinasakannya.
Hujjatul Islam, Imam Al-Ghazali (w. 505 H) rahimahullah menjelaskan, bahwa salah satu tugas seorang mu’allim (pengajar/dai) hendaknya tidak menyampaikan hal-hal yang tidak bisa dijangkau oleh nalar atau pikiran suatu kaum.
Lalu beliau menyitir hadis nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Kami seluruh para nabi diperintah untuk menempatkan manusia pada kedudukannya masing-masing dan tidak berbicara kepada mereka kecuali sesuai kadar akal mereka.”
Dalam hadis yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidaklah seorangpun berbicara dengan suatu kaum dengan pembicaraan yang mereka tidak mampu untuk menjangkaunya, kecuali akan menjadi fitnah bagi sebagian mereka.”
فَلاَ يَنْبَغِيْ أَنْ يُفْشِيَ العَالِمُ كُلَّ مَا يَعْلَمُ إِلَى كُلِّ أَحَدٍ.هَذاَ إِذَا كَانَ يَفْهَمُهُ الْمُتَعَلِّمُ وَلَمْ يَكُنْ أَهْلاً لِلْاِنْتِفَاعِ بِهِ فَكَيْفَ فِيْمَا لاَ يَفْهَمُهُ ؟
Tidak seyogyanya seorang alim untuk menyampaikan segala apa yang dia ketahui kepada setiap orang. Larangan ini untuk perkara yang bisa dipahami oleh seorang pembelajar, tapi ia bukan seorang yang ahli untuk mengambil manfaat darinya.
BACA JUGA: Orang Awam pun Tahu
Menyampaikan Ilmu kepada Masyarakat Awam
Lalu bagaimana dalam perkara yang seorang tidak bisa memahaminya ? (Tentu larangannya lebih keras lagi).
Beliau (Imam Al-Ghazali) juga menyatakan:
قُلُوْبُ الأَبْرَارِ قُبُوْرُ الأَسْرَارِ
“Hati orang yang baik itu merupakan kuburan berbagai rahasia.”
Artinya; orang yang baik (termasuk orang yang alim) akan selektif dalam menyampaikan ilmu atau hal yang dia ketahui dengan mempertimbangkan potensi mashalat dan mafsadat yang akan terjadi.
Perkara yang tidak layak disampaikan karena khawatir akan menimbulkan kerusakan atau fitnah, maka akan dia kubur dalam hatinya (dirahasiakan). (Ihya ulum Ad-Din : 1/144). Wallahu a’lam. []
Facebook: Abdullah Al-Jirani