Oleh: Abdul Fatah, S.Ud
BARANGKALI Allah memberimu, maka Dia menolakmu, dan bisa jadi Dia menolakmu maka Dia memberimu. Maka saat terbuka untukmu pintu pemahaman tentang penolakan-Nya, berubahlah penolakan itu menjadi pemberian. (Ibnu ‘Atha’illah as-Sakandari)
Ketika tubuh telah letih dengan ikhtiar yang maksimal dan munajat doa telah dipanjatkan, baik di waktu mustajab ataupun tempat yang terkabulkan, maka hati kecil kita pun kadang berbisik, “Seandainya do’a ini terkabulkan sekarang juga, maka sungguhlah indah.” Terselebatnya suara hati itu memang wajar karena jiwa lebih sering mencintai sesuatu yang mudah dan cepat serta cenderung membenci saat harus menunggu. Terlebih, ketika jiwa itu telah terjebak dalam perasaan cinta dan buaian alam angan-angan.
Pertanyaannya: siapakah yang bisa menjamin ‘keindahan’ ketika munajat itu terkabulkan?
Maka di sinilah, jiwa kita perlu kita tekan dan menarik lagi keinsyafan akan hikmah Allah di balik yang telah ditakdirkan.
Allah memberimu, Dia menolakmu
Siapa yang tak kenal Fir’aun? Seorang raja yang memiliki kekuasaan, kekayaan, dan kekuatan sekaligus. Dia menindas Bani Israel puluhan tahun. Bahkan, dia juga yang berkata, “Akulah Tuhan yang paling tinggi,” (Q.S. an-Nazi’ah: 24) atau “Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui Tuhan bagi kalian selain aku,” (Q.S. al-Qashash: 38).
Tahukah, siapakah yang memberi kekuasaan, kekayaan, dan kekuatan kepada Fir’aun?
Yang memberi dia tiada lain adalah Allah SWT. Tuhan yang hendak menunjukkan kuasaNya. Tuhan ingin memberikan gambaran akan makna ‘pemberian’ dan hakekat kedudukanNya. Tuhan yang hendak menyadarkan kepada kita bahwa ada sebuah ‘pemberian’ yang pada hakekatnya adalah penolakan. Allah SWT ingin menunjukkan kepada mata hati kita bahwa tak selamanya ‘pemberian’ itu nikmat, tapi bisa jadi niqmah (kecelakaan).
Maka benar apa yang disampaikan Ibnu Atha’illah as-Sakandari, “Berhati-hatilah bila ‘kebaikan’ Allah selalu kau dapatkan bersamaan dengan maksiat yang terus kau lakukan! Berhati-hatilah! Bisa jadi, itu adalah awal kehancuranmu yang berangsur-angsur. Allah SWT berfirman, ‘Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dengan cara yang tidak mereka ketahui,’” (Q.S. Al-A’raf:182).”
Allah menolakmu, Dia memberimu
Suatu ketika nabiyullah Musa AS berdoa, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau telah memberi kepada Fir’aun dan pemuka-pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan dalam kehidupan dunia (akibatnya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan Engkau). Ya Tuhan kami, binasakanlah harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih,” (Q.S. Yunus: 88).
Do’a yang dipanjatkan oleh rasulNya, salah satu rasul ulul azmi. Do’a yang diamini oleh saudaranya yang juga nabi, Harun AS. Do’a meminta agar dihentikannya kezaliman Fir’aun, makhluk durjana kala itu.
Namun, apa jawab Allah terhadap panjatan do’a dari dua nabiNya itu?
AlIah berkenan menjawab do’a itu, dengan berfirman: “Sesungguhnya telah diperkenankan permohonan kamu berdua, sebab itu tetaplah kamu berdua pada jalan yang lurus dan janganlah sekali-kali kamu mengikuti jalan orang-orang yang tidak mengetahui,” (Q.S. Yunus: 89). Allah SWT menolak doa sang kalimullah untuk mengijabahi doanya seketika. Allah membuktikan janjiNya dengan menundanya. Ya, dengan menundanya. Tahukah, kapan itu jarak permintaan sang kalimullah dengan ijabahnya itu? Sebagian mufassir menjelaskan bahwa jaraknya adalah 40 tahun.
Sebuah Keinsyafan
Begitulah gambaran daripada ‘pemberian’ dan ‘penolakan’-Nya. Allah tidak akan menyia-nyiakan do’a hambaNya. Namun Allah SWT juga punya hal yang terbaik bagi hamba tersebut. Allah pemilik jalan terbaik dan hikmahNya kadang terlewat oleh mata ataupun pikiran kita.
Ada banyak cara ketika Allah SWT hendak mengabulkan do’a kita. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada seorang muslim pun yang berdoa dengan sebuah doa yang tidak terkandung di dalamnya dosa dan pemutusan silaturahmi, kecuali Allah akan memberikannya salah satu dari ketiga hal berikut: Allah akan mengabulkannya dengan segera, mengakhirkan untuknya di akhirat atau memalingkannya dari keburukan yang semisalnya.”
Tatkalah para sahabat mendengar tutur beliau, maka mereka pun dengan semangat, “Kalau begitu kami akan memperbanyak doa kami.” Ternyata Rasulullah pun tak kalah untuk menimpalinya, “Allah lebih banyak lagi (memberikan karunia dan keutamaan daripada do’a kalian),” (H.R. Ahmad).
Beruntunglah mereka yang tetap berdo’a dan tidak tergesa-gesa menginginkan karunia sesaat. Ijabah bisa saja datang saat ini atau masa yang akan datang berdasar hikmahNya. Saat Dia memberi, maka itu adalah kemurahanNya. Saat, Dia menunda, maka itu adalah keadilanNya. Semuanya terbaik. Perasaan ini takkan dimiliki kecuali oleh orang-orang yang telah dibukakan untuknya pintu pemahaman.
Maka sungguh indah ketika kita meresapi kembali do’a istikharah yang diajarkan Rasulullah, “Aku memohon kepadaMu sebagian karuniaMu yang agung karena sesungguhnya Engkau Mahakuasa sedangkan aku tidak berkuasa, dan Engkau Mahatahu sedangkan aku tidak tahu, dan Engkau Maha mengetahui perkara yang gaib. Ya Allah, sekiranya Engkau tahu bahwa urusan ini lebih baik untuk diriku, agamaku, dan kehidupanku serta lebih baik pula akibatnya di dunia dan akhirat, maka takdirkanlah dan mudahkanlah urusan ini bagiku, kemudian berkahilah aku dalam urusan ini.”
Atau, mari meresapi tutur kata khalifah kedua, amirul mukminin Umar bin Khattab ra., “Aku tak pernah menghawatirkan apakah doaku akan dikabulkan. Sebab setiap kali Allah mengilhamkan hambaNya untuk berdoa, maka Dia sedang berkehendak untuk memberikan karunia. Yang aku khawatirkan adalah jika tidak berdoa, takkan terasa manisnya kehambaan, hingga kita merasa bermesra pada Allah dalam doa. Itulah yang lebih penting dari pengabulannya. Takkan terasa lezatnya ketaatan, hingga kita lebih mencintai Zat pengijabah permintaan kita, dibanding wujud dari pengabulan itu.”
Wallahu a’lam. []