Oleh: Muhammad Abduh Negara
1. Cadar hanya tradisi, bukan syariat.
2. Musik dan alat musik secara mutlak halal, selama tidak melalaikan.
3. Bersalaman laki-laki dan perempuan non-mahram boleh, selama tidak disertai syahwat.
4. Mengucapkan tahniah atas hari besar agama lain, selama bertujuan sekadar membina hubungan sosial, boleh-boleh saja.
Empat contoh pendapat/fatwa kontemporer di atas, dan semisalnya, merupakan pendapat-pendapat yang sangat populer di era kontemporer ini. Dan yang mengajukannya pun, harus diakui, bukan ulama sembarangan, min kibar ‘ulama fil ‘alam.
BACA JUGA:Â Pendapat yang Rajih Namun Tidak Difatwakan
Namun, jika kita membaca kitab-kitab turats (klasik), kita akan lebih sering menemukan pendapat/fatwa yang sebaliknya dibanding fatwa kontemporer.
Orang mungkin akan menyatakan, hal itu biasa, boleh-boleh saja, tidak diingkari perubahan fatwa, dll. Dan hal tersebut bukan poin utama di status ini.
Yang sangat disayangkan, kita cukup sering menemukan santri kontemporer, yang begitu kepincut dengan fatwa-fatwa kontemporer di atas, membuat narasi yang jauh dari sikap adil dan berimbang.
Misal, ada yang secara tegas menyatakan, tidak boleh berpendapat bahwa cadar itu wajib atau sunnah, harus menerima bahwa cadar itu cuma tradisi dan mubah saja. Kita patut bertanya ke orang tersebut, belum pernah baca kitab-kitab fiqih klasik ya?
BACA JUGA:Â Ikuti Fatwa Ulama agar Tak jadi Orang-orang Bodoh
Ada yang berkeras, menuduh pihak yang mewajibkan atau menyunnahkan cadar, mengharamkan mayoritas alat musik, dan semisalnya, dengan tuduhan: tidak berilmu, wahhabi, dll. Lagi-lagi kita katakan, ente tak pernah baca kitab-kitab fiqih klasik ya?
Wahhabi dan Syaikh MBAW, baru lahir sekitar 300-an tahun terakhir, sedangkan pendapat-pendapat tersebut sudah disebutkan sekian ratus tahun sebelumnya. Masa iya, pendapat-pendapat tersebut dimunculkan oleh Wahhabi. Anda punya akal kan untuk menimbang dan menilai? []