Oleh: Diah Arminingsih
Magister Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, dyah.ponty@gmail.com
INDONESIA merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim mencapai 200 juta jiwa. Upaya untuk memberikan ketentraman batin umat dalam hal konsumsi, harus dilindungi hak-haknya dalam memperoleh kepastian tentang kehalalan produk pangan, minuman, obat, kosmetika, produk rekayasa genetik, dan barang gunaan lain.
Melalui website http://www.halalmui.org menerangkan bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sejak tahun 2005 hingga Desember 2011, LPPOM MUI telah mengeluarkan sedikitnya 5896 sertifikat halal, dengan jumlah produk mencapai 97.794 item dari 3561 perusahaan, ditambah dengan sertifikat halal yang dikeluarkan oleh LPPPOM MUI daerah yang kini tersebar di 33 provinsi di Indonesia.
Selain itu, ketentuan halal bukan hanya ketetapan yang berlaku untuk kaum Muslimin saja secara terbatas, melainkan juga secara umum sebagai kebutuhan bagi umat manusia, karena dalam aspek halal terkandung nilai-nilai yang bersifat universal, seperti kualitas pangan, keamanan dan keterjaminan mutu, yang semuanya itu sangat dibutuhkan oleh para konsumen.
Ketentuan halal ini juga memberi nilai tambah bagi dunia usaha, terutama di Indonesia dengan mengoptimalkan posisi Indonesia sebagai pasar sekaligus penyedia produk halal bagi konsumen, agar terwujud Indonesia sebagai pusat halal dunia.
Melalui website http://mysharing.com, konsumsi produk halal terus meningkat dari waktu ke waktu di negara-negara dimana muslim sebagai minoritas, seperti di negara-negara Eropa, Amerika maupun Australia. MasterCard-CrescentRating Muslim Travel Shopping Index 2015 mencatat konsumsi makanan wisatawan muslim mencapai 26,1 miliar dolar AS dan mempresentasikan 18 persen dari total pengeluaran wisata. Pada tahun 2017 wisatawan muslim diperkirakan menghabiskan pengeluaran senilai 28 miliar dolar AS hanya untuk makanan.
Sedangkan Korea Selatan sudah mempunyai 400 perusahaan bersertifikat halal. Di sisi pangan, dengan jumlah 400 perusahaan dihasilkan lebih dari 1.000 produk yang sudah bersertifikat halal baik melalui Federasi Muslim Korea (KMF), Majelis Ulama Indonesia (MUI) maupun Departemen Pengembangan Islam Malaysia (JAKIM). Sementara, kosmetik 5 persen perusahaan yang sudah bersertifikasi halal. Adapun nilai ekspor kosmetik dari Korea Selatan mencapai 2,9 miliar dolar Amerika Serikat (AS) ke 133 negara. Di sisi pariwisata, Malaysia dan Indonesia juga penyumbang wisatawan Muslim. Pada 2015, Korea Selatan kedatangan 460 ribu wisatawan Muslim dimana 105 ribu orang dari Malaysia dan 95 ribu orang dari Indonesia. Organisasi Pariwisata Korea Selatan (KTO) juga menominasikan 200 restoran ramah Muslim.
Al-Qur’an merupakan pedoman hidup umat Islam yang juga membahas tentang konsumsi. Ayat-ayat konsumsi ini turun bersamaan dengan ayat-ayat yang membahas tentang inti dari ajaran-ajaran Islam, sehingga dapat dikatakan bahwa ayat-ayat ini merupakan termasuk ayat-ayat yang penting. Hal ini dibuktikan dengan lebih banyaknya ayat-ayat konsumsi yang turun di Mekkah dari pada di Madinah. Ayat-ayat konsumsi dalam al-Qur’an termaktub sebanyak 27 kali, dan terdapat enam ayat yang menyebutkan kata “Halalan Thayyiba”. Adapun ayat-ayat al-Qur’an yang dimaksud adalah sebagai berikut:
Qs. An-Nahl (16): 114
فَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا وَاشْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
“Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu, dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya menyembah kepada Nya.”
Qs. Thoha (20): 81
كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَلا تَطْغَوْا فِيهِ فَيَحِلَّ عَلَيْكُمْ غَضَبِي وَمَنْ يَحْلِلْ عَلَيْهِ غَضَبِي فَقَدْ هَوَى
“Makanlah dari rezeki yang baik-baik yang telah Kami berikan kepada mu, dan janganlah melampaui batas, yang menyebabkan kemurkaan-Ku menimpamu. Barangsiapa ditimpa kemurkaan-Ku maka sungguh binasalah dia”.
Qs. Al-Mu’minun (23): 51
يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا ۖ إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Wahai para Rasul! Makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah kebajikan. Sungguh, Aku Maha Mengetahui apa yang kaum kerjakan.
Qs. Al-Baqarah (2): 168
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الأرْضِ حَلالا طَيِّبًا وَلا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Wahai manusia! Makanlah yang halal lagi baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.”
Qs. Al-Baqarah (2): 172
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
“Wahai Orang-orang yang beriman makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepada kamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika kamu hanya menyembah kepada Nya.”
Qs. Al-Maidah (5): 88
وَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي أَنْتُمْ بِهِ مُؤْمِنُونَ
“Dan makanlah dari apa yang telah diberikan Allah kepadamu sebagai rezeki yang halal dan baik, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.”
Halalan thayyiban pada ayat-ayat diatas merupakan asumsi dasar etika Islam yang akan mempengaruhi perilaku konsumsi seorang muslim. Makna dari halalan thayyiban yaitu sesuatu yang halal lagi baik. Secara harfiah, halal arti asalnya adalah lepas atau tidak terikat. Sedangkan thayyib berarti baik, bagus (al-hasan), sehat (al-mu’afa), dan lezat (al-ladzidz). Setiap yang baik dan yang sehat itu pasti halal; tetapi belum tentu semua dan setiap yang halal itu baik.
Menurut standar WHO dalam konsumsi menganut pada asas keberkualitasan hidup. Keberkualitasan hidup berasal dari kata kualitas yakni tingkat baik buruknya sesuatu; kadar, mutu, derajat atau taraf (kepandaian, kecakapan, dan sebagainya). Sehingga keberkualitasan hidup bisa dimaknai dengan tingkat mutu hidup seseorang.
Adapun makna kualitas dalam quality of life research adalah pemeriksaan pengaruh pada kebaikan dan makna dalam kehidupan, serta kebahagiaan rakyat dan kesejahteraan. Tujuan akhir adalah memungkinkan orang untuk hidup berkualitas, kehidupan yang baik, berarti dan menikmati.
Dalam Islam makna keberkualitasan hidup ini dapat kita temui pada makna dari ayat-ayat halalan thayyiban. halalan dan thayyiban adalah makanan yang bersih dari aspek-aspek yang membahayakan fisik, akal maupun spiritual pelakunya. Sehingga makna halalan dan thayyiban berdasar ayat-ayat konsumsi tersebut mengandung beberapa karakter kualitas hidup yaitu sebagai berikut:
Kekuatan Fisik
Menurut Hamdan Rasyid, makanan yang dikonsumsi sangat berpengaruh terhadap kepribadian seseorang baik secara jasmani dan rohani. Dari sisi biologis, makanan yang dikonsumsi merupakan sumber energi gerak dan gizi untuk mengembangkan maupun memperbaiki sel-sel tubuh.
Menurut Ibnu Khaldun banyaknya makanan dan campuran-campuran yang membusuk serta basahan-basahannya yang menimbulkan sampah-sampah kotor akibat tidak adanya keseimbangan pencernaan, hal ini diikuti oleh warna kulit yang tidak cerah dan bentuk tubuh yang tidak bagus karena banyaknya daging. Kekuatan fisik ini dapat ditemui maknanya dalam Qs. An-Nahl (16) ayat 114, Qs. Al-Mu’minun (23) ayat 51 dan Qs. Al-Baqarah (2) ayat 168.
Kekuatan Spiritual
Dalam tinjauan secara keagamaan, makanan yang halal merupakan energi yang positif dan gizi bagi sel-sel tubuh. Sehingga sel-sel anggota tubuh akan bergerak secara positif, membuat pelakunya menjadi ringan dan mudah untuk beribadah, serta mengarahkan individu untuk lebih taat kepada Allah SWT.
Namun sebaliknya, makanan yang haram menjadi sumber energi yang negatif, berakibat menjadi berat untuk beribadah dan cenderung mudah untuk berbuat maksiat. Maka, bisa dilihat orang yang memakan rezeki yang tidak halal, misalnya dari mencuri atau korupsi, ibadahnya cenderung malas dengan berbagai alasan.
Tubuhnya telah terkontaminasi dengan yang haram. Karena sumber energi negatif, membuatnya cenderung kepada perbuatan yang negatif pula, yakni maksiat. Kekuatan spiritual ini dapat ditemui maknanya dalam Qs. An-Nahl (16) ayat 114, Qs. Thoha (20) ayat 81, Qs. Al-Mu’minun (23) ayat 51 dan Qs. Al-Baqarah (2) ayat 172.
Kekuatan Mental
Kesehatan mental adalah suatu kondisi optimal yang menyangkut sisi emosional, dan sosial tanpa mengalami gangguan. Kondisi optimal tersebut terjadi apabila keberadaan seseorang tidak mengganggu lingkungannya, khususnya di lingkungan sosial. Kesehatan mental yang baik adalah mampu memelihara diri, temperamen, berperilaku dengan pertimbangan sosial, memiliki kecenderungan bahagia, kebersyukuran serta mampu menyesuaikan diri sesuai dengan lingkungannya.
Kebaikan hati dapat dibentuk melalui makanan yang halal, karena ini adalah intinya. Makanan adalah bibit dari segala perbuatan. Jika yang masuk halal, maka yang keluar juga halal. Jika yang masuk haram, maka yang keluar juga haram, jika yang masuk syubhat maka yang keluar juga syubhat. Dalam al-Qur’an surah Asy-Syuara (26) ayat 88-89 menyatakan bahwa hati yang baik adalah lambang kemenangan.
Sedangkan Ibnu Rajab berkata, “Hati yang baik adalah hati yang terbebas dari segala penyakit hati dan berbagai perkara yang dibenci, hati yang dipenuhi kecintaan dan rasa takut kepada Allah, dan rasa takut berjauhan dari Allah SWT.”
Hati yang baik akan menimbulkan amal perbuatan yang baik. Karenanya, jika hati itu baik dan hanya dipenuhi dengan kehendak Allah, niscaya amal perbuatannya hanya yang sesuai dengan kehendak Allah. Sehingga ia bersegera dalam melakukan perbuatan yang diridhai Allah, dan meninggalkan perbuatan yang dibenci Allah. Kekuatan mental ini dapat ditemui maknanya dalam Qs. An-Nahl (16) ayat 114, Qs. Thoha (20) ayat 81, Qs. Al-Mu’minun (23) ayat 51, Qs. Al-Baqarah (2) ayat 168 dan Qs. Al-Baqarah (2) ayat 172.
Kecerdasan Intelektual
Menurut Ibnu Khaldun basahan-basahan akibat banyaknya makanan tersebut menutupi akal dan pikiran dengan penguapan yang kotor darinya hingga naik sampai ke otak. Hal ini menimbulkan ketumpulan akal, kelalaian, dan penyimpangan dari sifat-sifat moderat secara umum.
Kadar pengaruh lapar terhadap tubuh dalam membersihkannya dari kelebihan-kelebihan yang rusak dan menimbulkan pengaruh buruk terhadap tubuh dan akal sebanding dengan kadar pengaruh makanan terhadap tubuh secara berlawanan dari pengaruh lapar tadi. Kecerdasan intelektual ini dapat ditemui maknanya dalam Qs. Al-Mu’minun (23) ayat 51, Qs. Al-Baqarah (2) ayat 168 dan Qs. Al-Maidah (5) ayat 88.
Kecerdasan Sosial
Ketika tubuh didominasi oleh hal-hal yang haram, maka dampaknya bukan hanya kepada diri yang bersangkutan, tetapi meluas kepada keluarganya. Misalnya, orang yang korupsi, mengkonsumsi makanan yang tidak halal. Maka anak-anaknya banyak yang terjerat dan kecanduan narkoba, berperilaku hidup bebas (free sexs), suka dugem atau perbuatan maksiat lainnya.
Hal ini telah diisyaratkan dengan hadist Nabi saw :”Setiap tubuh yang tumbuh dari makanan yang haram, maka api neraka lebih utama baginya.”(H.R.At-Thabrani). Juga dalam Hadist Nabi saw, berupa wasiat beliau kepada sahabatnya, Ka’ab bin ‘Ujroh dengan makna: ”Wahai Ka’ab bin Ujroh, sesungguhnya tidak tumbuh daging dari makanan yang haram, kecuali neraka yang lebih berhak untuknya.” (H.R. At-Turmudzi). Kecerdasan sosial ini dapat ditemui maknanya dalam Qs. Thoha (20) ayat 81, dan Qs. Al-Maidah (5) ayat 88.
Berdasarkan keterangan-keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa hukum dasar amal setiap manusia adalah untuk dapat membawa manfaat serta kemaslahatan dalam hidupnya pada khususnya dan kemaslahatan orang banyak pada umumnya.
Menurut Muhammad, dalam “Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam” menyatakan bahwa tujuan konsumsi dalam Islam adalah untuk memperoleh maslahah terbesar. Karakter khusus dalam etika Islam merupakan konsep yang menitikberatkan pada hubungan manusia dengan Tuhan. Begitu pula dengan tingkat kualitas hidup seorang muslim, ia berbanding lurus dengan kualitas keimanan terhadap Tuhannya. Sehingga dapat dikatakan bahwa, kualitas hidup seorang muslim bisa semakin baik jika melaksanakan segala tata aturan yang telah Allah syariatkan, dan bisa semakin buruk jika meninggalkan apa-apa yang telah Allah perintahkan.
Dengan demikian haruslah dipastikan bahwa setiap muslim memiliki pemahaman yang sama terkait hakikat atau ruh konsumsi yang tersurat maupun tersirat dalam al-Qur’an. Output dari pemahaman tersebut adalah dapat meningkatkan keberkualitasan hidup setiap individu, yang pada akhirnya keberkualitasan hidup itu merupakan sarana untuk mencapai kemenangan didunia maupun akhirat. Wallahu a’lam. []