Oleh: Muakhor Zakaria
TADINYA saya tidak mau menceritakan pada istri saya, tentang pengalaman masa lalu bersama seorang kawan, khususnya ketika suatu hari perut kami keroncongan, lalu sepakat untuk menyerbu Warung Tegal (Warteg) di persimpangan pasar Royal, Serang. Cerita itu meluncur begitu saja dari mulut saya.
Barangkali yang mengingatkan saya pada kejadian itu adalah rasa lapar yang tak ketulungan, dan saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 02.05 dinihari. Saya sampaikan pada istri bahwa saya tak bermaksud untuk mengungkit masa lalu, dan saya pun sudah lama melupakannya.
Tadi sore, sekitar Pk. 17.30, saya dan istri hanya menyantap bubur ayam Cirebon yang mangkal tak jauh dari rumah kami. Kemudian, kami beranjak tidur sekitar Pk. 21.30. Untuk alasan yang sama tiba-tiba kami terbangun pada Pk. 02.05 dinihari karena rasa lapar.
Sebelum menuju ke dapur, saya matikan dulu televisi yang menyiarkan acara perdebatan para pakar mengenai perpanjangan PPKM. Entahlah, saya sendiri lupa kepanjangan PPKM itu. Yang saya tahu, bahwa tiap warga tak bisa bepergian jauh keluar kota, karena banyak polisi lalu lintas yang berpatroli dan menyetop di perbatasan, lalu menyuruh kita putar haluan agar kembali ke daerah masing-masing di masa pandemi Covid-19 ini.
Di dalam kulkas sama sekali tidak ada bahan persediaan yang layak disebut makanan. Setengah botol saus pedas, mentega yang sudah kering, seperempat botol sirup melon, dan satu siung bawang putih yang sudah agak layu.
Saat itu, baru saja dua bulan usia pernikahan kami. Jadi, kami belum merencanakan pola hidup tersendiri yang ada kaitannya dengan makanan, seperti soal lemak, gula atau kolesterol. Sebodo amat. Biarlah segala sesuatunya berjalan apa adanya, sebagai pasangan suami-istri yang seolah hidup di planet Venus maupun Mars.
Sampai saat ini saya bekerja di sebuah kantor pengacara, sedang istri saya bekerja sebagai sekretaris di kantor kelurahan Desa Pakupatan. Usia saya mulai beranjak ke 30-an tahun, hanya selisih dua tahun di atas istri saya.
Kembali pada persoalan lapar yang menyebalkan tadi. Suatu rasa lapar yang membuat kami menjadi sulit untuk berbaring dan memejamkan mata. Hingga akhirnya, setelah beberapa lama berdiam diri, kami sama-sama memutuskan untuk beranjak dari kasur, berjalan tanpa tujuan menuju dapur, lalu berakhir dengan saling duduk berhadapan di depan meja.
BACA JUGA: Penantian Sang Pengantin
Bergantian kami membuka, melihat, menutup pintu kulkas sambil berharap-harap. Tapi apa yang bisa diharap. Pekerjaan membuka-menutup pintu kulkas yang tidak akan mewujudkan perubahan apa-apa. Isi di dalamnya juga tidak akan berubah. Hanya begitu-begitu saja.
Seketika saya berpikir, kalau bawang putih diolesi mentega, lalu dikunyah kira-kira seperti apa rasanya. Dan juga apa yang terjadi dengan pertemuan dua jenis makanan itu di dalam lambung, kalau memang pantas disebut makanan.
“Ayo kita keluar sekarang,” ajak istri saya.
“Ke mana?” tanya saya singkat.
“Yah ke mana aja, cari makanan tentunya.”
“Ah, tengah malam begini… mana ada warung makan yang buka jam segini?”
“Pokoknya kita cari makan di mana aja, yang penting perut terisi… saya benar-benar lapar nih.”
“Ayo kalau begitu.”
Dan kami pun beranjak keluar rumah, menyalakan motor, lalu meluncur ke arah utara.
***
Sambil mengendarai motor, kami sempat bercakap-cakap di sepanjang jalan.
“Saya belum pernah merasa selapar ini seumur hidup saya,” kata isteri saya, “Atau jangan-jangan ini ada hubungannya dengan pernikahan kita?”
“Boleh jadi,” jawab saya, “Atau mungkin juga tidak.”
Rasa lapar ini memang agak aneh. Perut bunyi keroncongan seperti ada yang menusuk-nusuk di dinding-dinding lambungnya. Dulu, pernah saya mengalami hal seperti ini bersama seorang kawan, tapi di mana ya? Kapan ya? Oo iya, waktu kami…
“Menyerbu Warteg alias Warung Tegal,” seakan tanpa sadar saya mengeluarkan kata-kata ini.
“Menyerbu Warteg? Apa maksudnya?” tanya istri saya kaget.
“Beberapa tahun lalu, bersama seorang kawan, saya pernah menyerbu Warteg di persimpangan Pasar Royal Serang. Bukan warung makan besar maupun restoran, tapi hanya warung makan kecil… Warteg yang biasa ada di samping jalan di seluruh Banten ini.
Pemiliknya seorang nenek tua yang melakukan segala sesuatunya sendirian. Dia melayani pelanggan, menerima pembayaran di belakang meja. Hanya ditemani seorang pelayan wanita muda pendiam, yang umurnya sekitar 20-an.”
“Tapi, kalau mau menyerbu warung makan, kenapa juga harus Warteg itu?” tanya istri saya dengan penuh empati.
“Karena memang tidak ada alasan khusus untuk menyerbu warung makan yang lebih besar. Yang kami butuhkan waktu itu hanya makan. Lagipula, kami sama sekali bukan bermaksud merampok ataupun maling betulan. Kami cuma lapar, dan perlu makan. Itu saja.”
“Kapan kamu melakukan itu?”
“Wah, sudah lama sekali. Mungkin sudah lebih dari tujuh tahun lalu. Waktu itu kami benar-benar kere, bahkan untuk membeli odol dan sampo saja tidak mampu. Kami tidak pernah punya bahan persediaan makanan yang cukup.
“Kami melakukan beberapa hal yang sangat memalukan hanya untuk mengisi perut yang keroncongan. Kami masuk seketika, kawan saya menodong nenek tua itu dengan pisau lipat kecil yang terselip pada gunting kuku, lalu saya bilang pada pelayan perempuannya agar duduk di kursi dan jangan bergerak.
“Saat itu, saya menyuruhnya agar mengatakan bahwa nasi sudah habis jika ada pelanggan yang masuk.”
“Setelah itu, apa yang kamu lakukan?”
“Saya mengambil tas plastik dan membuka rice cooker besar yang biasa dipakai untuk melayani pembeli, lalu memasukkan nasi hingga penuh ke dalam tas plastik itu. Setelah itu saya mengambil dua plastik lagi untuk memenuhi isinya dengan ayam goreng, ikan mujahir, lele, tongkol, udang goreng, telor dadar, perkedel, dan lauk apa saja yang terpajang di etalase tinggi warung makan itu. Lalu, plastik satu lagi, saya isi dengan sayur-sayuran, ditambah lalapan terong, mentimun, jengkol dan sambal goreng sampai penuh.”
“Apakah nenek tua itu tidak berteriak atau melawan?”
“Kami mengancam dia supaya jangan bersuara. Tapi kalau melawan? Boro-boro dia sanggup melawan, wong jalannya saja pelan setengah bongkok. Kalaupun dia melawan, mungkin dengan sekali dorong sudah terpelanting ke lantai.”
“Kasihan juga nenek tua itu,” kata istri saya dengan pandangan menerawang.
“Ya, tentu saja kasihan,” balas saya kemudian.
Beberapa saat kami saling diam, lalu kata istri saya lagi, “Ngomong-ngomong ke mana teman kamu itu sekarang?”
“Entahlah. Saya pernah mendengar kabar buruk tentang dia karena selama tiga tahun terakhir ikut terlibat dalam kasus penipuan di perusahaan asuransi. Saya sendiri pernah cekcok dengan dia hingga beberapa tahun tidak saling bicara.”
Selama beberapa saat, istri saya tidak mengatakan apapun. Saya yakin, dia sudah merasa kalau saya tidak perlu menceritakan keseluruhan ceritanya.
BACA JUGA: Disaster Jono
Selain itu, nampaknya juga dia tidak bermaksud memperpanjang persoalan dengan mengatakan, “Saya kira, alasan mengapa kalian berdua putus hubungan, pasti berkaitan dengan penyerangan Warteg itu, kan?”
Akhirnya saya mengakui kesalahan, “Meskipun begitu, kami punya firasat bahwa kami telah melakukan sebuah kesalahan besar. Dan entah kenapa, kesalahan itu seperti melekat dalam diri saya, tak ada habis-habisnya. Kesalahan itu menjelma seperti momok atau bayangan gelap yang terus menghantui perjalanan hidup saya. Suatu hari, tiba-tiba saya bertengkar sengit dengan teman saya itu, tanpa alasan yang jelas. Barangkali itulah salah satu alasan yang saya maksud. Seolah kutukan nenek tua itu seperti kutukan yang sebenarnya.”
Istri saya terdian dengan raut muka yang mendongkol, “Sepertinya kutukan itu masih saya rasakan sampai sekarang.”
“Apa-apaan kamu?”
Saya terperangah kaget. Seketika saya menghentikan motor di depan sebuah toko roti yang tutup dalam cahaya lampu yang agak remang. Kami duduk-duduk di sebuah bangku yang ada di depan toko tersebut.
Lalu, saya tanyakan, bagaimana istri saya punya pikiran bahwa kutukan itu masih terus berlangsung hingga saya menikahi dirinya.
Menurut saya, hidup ini penuh dengan beragam kutukan, dan bagaimanapun akal pikiran manusia tidak sanggup menjawab dengan pasti, mana kutukan yang berpengaruh dan masih berlaku, dan mana kutukan yang sedikit pengaruhnya atau bahkan tak berpengaruh sama sekali. Seperti kaki kita terpeleset daun pisang yang tergeletak di lantai, siapa yang bisa memastikan bahwa kejadian itu suatu kutukan atau bukan.
“Bagaimanapun, terpeleset daun pisang dengan merampok Warteg, itu ibarat langit dan sumur. Semua orang juga paham.”
“Tapi kami lapar sekali waktu itu. Kami sangat butuh makan, dan jalan satu-satunya yang harus kami lakukan adalah menyerang Warteg itu?”
“Jalan satu-satunya?” istri saya tersenyum sinis, “Kamu nggak usah mempertahankan diri dengan retorika politis macam itu. Percuma saja… sebab, logika macam apa yang bisa membenarkan penodongan terhadap nenek tua renta pemilik Warteg.”
Dalam hati saya yang terdalam, memang sulit juga menampik omongan istri saya yang sangat masuk akal tersebut.
Saya masih ingat tatapan mata nenek tua itu, saat kami keluar dari warung makan itu, mulutnya komat-kamit seperti merapalkan sesuatu. Sorotan matanya tajam seperti bara api yang membuat wajah saya begitu panas, melebihi sengatan matahari yang terperangkap oleh gas rumah kaca yang gelap dan kelam.
***
Di atas bangku itu kami terdiam dalam waktu yang cukup lama. Mendadak, rasa lapar melilit perut lebih kuat dari sebelumnya, bahkan kepala saya sampai terasa pening dan kliyengan.
Seketika istri saya nyerocos lagi, “Sampai saat ini kita memang masih hidup bersama selama dua bulan ini, tapi selama ini pula saya merasa ada sesuatu yang janggal untuk memulai kehidupan rumah-tangga ini.”
“Sesuatu yang janggal bagaimana?” tanya saya waswas.
“Tentu ada kaitannya dengan kutukan ini,” sorotan matanya tajam ke arah saya, “tadinya saya tidak tahu kalau kejanggalan ini adalah kutukan. Tapi sekarang, semuanya sudah jelas. Kamu masih dikutuk, dan kutukan itu menempel pada diri saya.”
“Menempel bagaimana?” kata saya jengkel.
“Rasanya seperti melihat gelas kosong, tapi masih banyak butir-butir kopi yang hitam legam menempel pada dinding-dinding gelas itu.”
BACA JUGA: Ucok, Abang Kami
“Ya, ya, saya paham itu seperti dosa yang menempel, lalu bagaimana kita harus mencuci gelas itu hingga bersih?” kata saya tersenyum.
Istri saya terlihat serius, dia tak mau membalas dengan senyuman. Lalu, kata saya lagi, “Oke, kalaupun apa yang kamu katakan tadi benar, bahwa ini kutukan, lalu apa yang harus kita lakukan sekarang.”
Sambil memegang perutnya, tiba-tiba istri saya berkata tegas, “Kita harus serang minimarket yang masih buka malam ini.”
“Terus?” pancing saya lagi.
“Terus kita ambil makanan apa saja yang bisa kita makan, seperti roti sobek, biskuit, mi instan, sosis bakar, atau apa saja yang bisa mengatasi rasa lapar kita malam ini. Hanya itu satu-satunya jalan keluar.”
Saya terkaget-kaget mendengar omongan istri saya. Tapi dia begitu yakin, tidak dalam keadaan bercanda, juga tetap tak mau menampakkan senyumnya.
“Serius apa yang kamu bilang?” tanya saya menegaskan.
“Serius.”
“Kapan?”
“Sekarang juga. Kita keliling pasar Royal, lalu kita cari minimarket yang buka, dan kita serbu saat itu juga.”
“Oke kalau begitu.”
“Ayo kita ke rumah dulu sebentar, untuk mengambil apa-apa yang perlu dipersiapkan.”
***
Pagi jam 02.30 dini hari, kami mengelilingi Kota Serang dengan satu tujuan pasti: menyerang minimarket. Berdua, kami menelusuri jalanan sambil mengawasi setiap sudut jalan seperti elang yang sedang mencari-cari mangsa.
Sudah kami persiapkan di dalam boks motor, dua buah masker hitam, lakban dan sepucuk senapan yang diletakkan terpisah dari sarungnya. Senapan itu pernah saya beli sewaktu masih bujangan, dari seorang teman pemburu celeng yang kerap menyerang pesawahan di daerah Banten Selatan.
Tetapi, setelah berbulan-bulan memilikinya, saya masih juga belum bisa menggunakannya.
Malam itu, walau perlengkapan telah sesempurna mungkin, kami belum juga menemukan satu pun minimarket yang masih buka. Saya kendarai motor menelusuri jalanan kosong, dari terminal Pakupatan, terus meluncur ke jalan Stasiun, Taman, hingga pasar Royal. Kami berputar-putar di sekitar Jl. Brigjen Sjamun menuju alun-alun barat Kota Serang. Tapi apa mau dikata, tidak ada satu pun minimarket yang buka.
Dua kali kami sempat berpapasan dengan mobil patroli. Yang pertama, sedang berhenti di sisi jalan. Para polisi di dalam mobil itu berjaga sambil mencoba untuk tidak terlihat mencolok (mungkin untuk mengelabui siapapun yang ingin berbuat tindak kriminal saat tengah malam).
BACA JUGA: Ada Apa dengan Juned? (1)
Patroli kedua melaju dengan lambat, perlahan-lahan melewati kami, dan pada akhirnya melaju jauh di depan meninggalkan kami. Seketika saya merasa kedua tangan saya basah oleh keringat. Tapi hebatnya, istri saya justru tak merasa terusik, dan dia masih berkonsentrasi mencari-cari minimarket yang masih buka.
“Sudahlah, kita lupakan saja,” kata saya. “Sepertinya tidak ada minimarket yang buka di jam segini, lagipula…”
“Stop! Kita berhenti di sini!” teriak istri saya.
Motor saya rem seketika.
“Nah, itu dia,” katanya lagi.
Saya memerhatikan sekeliling. Sebuah plang iklan ponsel tersorot lampu mobil ambulans yang mungkin mengangkut pasien Covid-19. Di sebelahnya ada plang sebuah minimarket yang sudah tutup. Tapi di sebelahnya lagi ada plang berlampu lengkap dengan logo rumah Minangkabau, dan di bawahnya tertulis “Restoran Padang Salero Bundo”.
“Mana?” tanya saya, “Saya nggak lihat minimarket buka di sini?”
Tanpa berkata-kata, istri mengambil dua masker hitam dari boks motor, menenteng senapan, dan satu gulung lakban berwarna hitam. Dia membuka helm lalu memakai masker hingga di bawah mata, kemudian helm dipakai lagi rapat-rapat hingga yang terlihat hanya kedua mata saja.
Dia menyuruh saya melakukan yang sama secepatnya. Dia menyobek lakban, melekatkannya ke nomor plat motor, mencoba menyamarkan platnya. Langkah-langkah dan gerakannya betul-betul efisien dan terlatih. Saya hanya berdiri, terdiam sambil menatapnya tak percaya.
…“Kita akan menyerang Restoran Padang itu,” bisiknya, dengan suara sedingin seperti ketika dia mengatakan menu apa yang akan kami santap untuk makan malam.
“Restoran bukan minimarket?” sahut saya mengingatkan.
“Tapi daging rendangnya enak dan empuk,” sambil menatap saya serius, “Kadang-kadang kamu itu banyak cingcong kalau lagi dibutuhkan. Sudahlah, ayo!”
Saya mengendarai motor ke tempat parkir restoran itu. Diserahkannya kain yang membungkus senapan kepada saya. “Hey, saya belum pernah memakai senapan ini sejak kita menikah.”
“Memang kamu tidak perlu memakainya. Cukup pegang saja, mengerti? Kamu hanya mengikuti apa-apa yang saya katakan di dalam nanti.”
Sambil memegang senapan erat-erat, saya mengikuti istri saya dari belakang. Dan kami pun masuk melalui pintu utama.
Seorang perempuan memakai topi berlogo “Salero Bundo” nampak di belakang meja konter menyambut kedatangan kami dengan tersenyum. Untuk beberapa saat, sambil melirik ke arah perempuan, saya sempat merasa gugup. Tapi, rasa gugup itu hanya beberapa detik, dan saya berusaha mengendalikan diri sebisa mungkin.
Berhadapan secara mendadak dengan sepasang manusia yang mengenakan masker hitam dan helm yang tertutup rapat, perempuan setengah baya itu terkejut dengan pandangan tak percaya.
Dapat dimengerti. Tentu saja standar operasional bekerja di restoran Padang sama sekali tak pernah menjelaskan hal-hal mendadak seperti ini. Sesaat setelah melihat kami, perempuan itu terlihat kaku, dan tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
BACA JUGA: Mah, Aku Pengen Jadi Sandal
Secepat mungkin, saya keluarkan senapan dari balutan selimut, mengarahkannya ke jejeran meja pengunjung, sampai kemudian saya sadar kalau satu-satunya pengunjung yang ada hanyalah sepasang muda-mudi yang sedang memainkan handphone (mahasiswa Untirta, saya kira) yang keduanya tiba-tiba bertiarap di bawah meja kayu. Mereka sama sekali tidak terlihat akan memberikan ancaman yang berarti, jadi saya ayunkan senapan, lalu mengacungkannya ke meja konter.
Keseluruhan, ada tiga pegawai restoran saat itu. Seorang perempuan di balik konter, seorang pria berkulit pucat dengan wajah oval (mungkin si manajer), dan seorang pemuda yang selalu memasang wajah tanpa ekspresi. Mereka berdiri berjejer di belakang mesin kasir, menatap moncong senapan seperti sekumpulan wisatawan yang terpesona melihat bangunan menara Banten.
Tak seorang pun yang berteriak, dan tak seorang pun yang membuat gerakan mencurigakan. Senapannya betul-betul berat, jadi saya sandarkan tubuh senapan di samping meja kasir, sementara jari saya mengunci pelatuknya.
“Saya minta Bapak-Ibu jangan menyakiti kami, nanti saya akan berikan semua uang yang ada di kotak,” kata si manajer dengan mulut bergetar.
“Diam!” teriak istri saya keras.
Ia terdiam kaku, kemudian katanya lagi, “Uang di kasir memang tidak begitu banyak, tapi Bapak-Ibu boleh mengambil semuanya.”
“Turunkan penutup restoran dan matikan lampu plang,” sahut istri saya, seakan tak mendengar omongan si manajer.
“Sebentar,” kata si manajer, “kami tidak bisa melakukan itu, sebab akan bermasalah kalau restoran ditutup tanpa izin.”
Istri saya mengulangi perintahnya, sambil mengancam keras. Kontan, wajah sang manajer terlihat pucat. “Sebaiknya kalian melakukan apa yang dia perintahkan,” kata saya mengingatkan.
Manajer itu menatap moncong senapan di samping meja kasir, lalu dia menyerah dan menuruti perintah istri saya. Dia mematikan lampu plang restoran, menekan tombol pada panel, yang membuat pintu utama menutup secara otomatis.
Saya perhatikan orang itu, sambil berjaga kalau-kalau dia menghidupkan alarm anti maling. Seketika saya tersadar, kalau restoran-restoran di Kota Serang tidak pernah memasang alarm anti maling. Mungkin, sebelum-sebelumnya, tidak pernah ada restoran Padang yang kerampokan seperti ini, atau setidaknya ada orang yang menyerang tengah malam. Ini yang membuat cerita ini bermanfaat bagi Anda, hingga dapat dijadikan ilmu dan hikmah pelajaran dari penyerangan kami. Lalu, ke depannya kalian harus berhati-hati dan waspada.
Ketika pintu restoran menutup, terdengar berisik dan menjengkelkan. Suara bising yang cukup mengganggu seperti ember kosong yang dipukul dengan pentungan polisi.
“Duapuluh ayam goreng dan sepuluh nasi untuk dibawa pulang, cepat!” teriak istri saya dengan suara melengking.
“Kalau kalian mau, saya bisa memberi kalian uang yang ada di kotak kasir, bagaimana?” suara si manajer dengan raut serius, “jadi, kami akan berikan uang, dan nanti kalian bisa makan sepuasnya di tempat lain. Masalahnya, kami khawatir mengganggu neraca pendapatan kami nantinya…”
“Jangan banyak cincong, kalian ikuti saja apa yang dia minta!” teriak saya.
Mereka bertiga pergi ke dapur, dan saya mengikuti mereka sambil memoncongkan senapan. Si pemuda mempersiapkan beberapa potong ayam, daging rendang dan lauk-pauk lainnya, kemudian memasukkannya ke dalam kantong.
Saya minta satu kantong lagi untuk memasukkan nasi berikut sambal cabe hijau, sayur nangka dan daun singkong. Selama mereka bekerja, tidak ada yang berani bicara. Saya menyandarkan tubuh pada mesin pendingin yang sangat besar.
Aroma irisan-irisan daging berikut bumbu rendang di kenceng besar menguar ke udara, bertiup menerpa tubuh saya hingga menyusup ke area penciuman, kerongkongan hingga turun ke perut. Aroma itu menyebar ke pusat rasa lapar di dalam lambung saya.
Saya perhatikan beberapa pegawai melirik ke arah moncong senapan. Seketika, mata saya terasa perih, dan saya menggaruknya dengan ujung kelingking. Entah kenapa, mata saya selalu saja merasa perih ketika dalam keadaan gugup.
Rasa perihnya masih belum hilang karena helm yang bertengger di kepala membuat dahi saya berkeringat, dan beberapa tetes keringat jatuh dan membasahi bola mata saya. Untungnya mereka tidak tahu tentang hal ini, dan saya sendiri tidak bermaksud untuk memberitahukan hal ini kepada mereka.
BACA JUGA: Ikhwan Memesona itu Haram
Istri saya memeriksa daging rendang dan lauk-pauk yang disajikan di kantong plastik besar yang telah siap untuk dibawa pulang.
“Kenapa kalian harus melakukan ini?” si perempuan bertanya kepada saya. “Kenapa kalian tidak mengambil uangnya saja? Kalian kan bisa membeli makanan dan makan sepuasnya di tempat lain? Apa enaknya memakan duapuluh ayam goreng dengan daging rendang itu?”
Tanpa saya sadari, tiba-tiba saya mengangguk, seakan membenarkan omongannya. Dan istri saya terlihat jengkel melirik ke arah saya.
Lalu, istri saya langsung menjelaskan, “Coba perhatikan kalian bertiga, sebenarnya malam ini kami tidak bermaksud menodong kalian. Tadinya kami mau menyerang minimarket yang masih buka, tapi ternyata tidak ada minimarket buka di sekitar sini. Jadi, kami tidak ada rencana apa-apa untuk menyerbu restoran Padang ini. Hanya spontan saja.”
Mendengar kata-kata itu, mereka terlihat lega. Setidaknya mereka tidak banyak bertanya-tanya lagi. Setelah itu, istri saya memesan dua botol air mineral ukuran besar, lalu merogoh selembar uang dari sakunya, sebanyak duaribu perak, dan memberikannya kepada si perempuan.
Setelah itu, istri saya mengeluarkan sebuah gulungan tali tambang dari kantong jaketnya, lalu mengikat ketiga pegawai semahir dia menjahit kancing baju. Dia bertanya berulang kali kalau-kalau ikatannya terlalu kencang atau kalau-kalau ada yang mau pergi ke toilet terlebih dahulu.
Tapi tidak seorang pun dari mereka yang mau bicara. Seketika saya bungkus kembali senapan dengan kain, sedangkan istri saya mengambil tas belanjanya, dan kami pun bergegas keluar. Saya menegok ke arah dua muda-mudi yang bersembunyi di bawah meja, dan sepertinya kepala mereka menyembul sedikit ke permukaan, kemudian menunduk lagi.
Kami berkendara selama limabelas menit, sampai akhirnya menemukan tempat parkir yang kosong dan nyaman di depan sebuah gedung. Di situ, kami pun memutuskan untuk berhenti dan melahap nasi Padang dan lauk-pauk yang tersedia.
Beberapa saat kemudian, rasa lapar itu hilang seperti sinar matahari yang meruah saat fajar menyingsing. Cahaya matahari menimpa dinding bangunan, membuat warna dinding menjadi abu-abu, hingga kemudian plang-plang berukuran besar dari berbagai ukuran, terlihat dengan jelas dan bercahaya.
“Apakah yang kita lakukan ini bisa dibenarkan?” tanya saya pada istri.
Dia menghela napasnya, dan jawabnya santai, “Tentu saja tidak.”
“Lho? Bukankah kamu sendiri yang memimpin saya, Ibu Gubernur?” canda saya.
“Biarpun ada yang memimpin, tapi sebagai laki-laki yang baik, kamu harus tegas menyatakan yang salah sebagai kesalahan.”
BACA JUGA: Ia yang Duduk di Sebelah
“Jadi, koruptor harus tetap dinyatakan sebagai koruptor, meskipun atas perintah istri sendiri?”
“Ya, tepat sekali!”
Seketika itu, mobil patroli terlihat di kejauhan, menuju ke arah kami. Rupanya ada satu hal yang luput dari perhatian dan pemikiran kami, karena kami tidak sempat menyita handphone kedua muda-mudi yang diam-diam menghubungi pihak kepolisian dari bawah meja.
Kami pun segera menyalakan motor dan meluncur ke arah selatan. Kutukan kali ini semakin nyata. Mobil patroli itu melaju di belakang kami dengan kecepatan yang tak terbayangkan…. []
– Penulis adalah cerpenis dan pengajar sastra di pedalaman Banten Selatan, menulis cerpen dan artikel sastra di berbagai media massa dan media online, di antaranya Kabar Madura, Kabar Banten, Tangsel Pos, Satelit News, www.kompas.id, nusantaranews.co, klipingsastra.com, kawaca.com, simalaba.net, Jurnal Toddoppuli, Ahmad Tohari’s Web dan lain-lain.
zakariamuakhor@gmail.com