SAAT Abu Musa ditunjuk Ali bin Abu Thalib sebagai wakilnya pada pertemuan dengan Muawiyah, Abu Musa sadar kalau ia tengah menghadapi bahaya besar. Tapi, perundingan memang pilihan terbaik. Kalau tidak, perang saudara akan terus berkobar. Ketika itu, Muawiyah diwakili Amr bin Ash. Lelaki yang disebutkan ini terkenal dengan ketajaman otak dan kelihaiannya yang luar biasa dalam mengolah kata-kata.
Pertemuan kedua wakil itu didahului dengan usulan Abu Musa. Isinya, agar kedua wakil menyetujui pencalonan dan pengangkatan Abdullah bin Umar sebagai khalifah kaum Muslimin. Jadi, bukan Ali atau Muawiyah. Jalan tengah ini diusulkan karena tidak seorangpun kaum Muslimin yang tidak mencintai, menghormati, dan memuliakan Abdullah bin Umar.
BACA JUGA: Khalifah Umar Mencari Keadilan
Namun, buat Amr bin Ash, usul ini justru dijadikan kesempatan emas. Ia paham sekali maksud Abu Musa. Dengan usul ini, Abu Musa merasa tidak terikat lagi dengan pihak yang diwakilinya, yakni Imam Ali. Sebuah ketulusan demi persatuan umat. Inilah peluang Amr. Secara sepihak, ia menerjemahkan usul Abu Musa sebagai penyerahan jabatan khalifah kepada pihak lain dari kalangan sahabat Rasul. Dan, bukankah Muawiyah juga sahabat Rasul?
Amr menemukan pintu yang lebar untuk mencapai tujuannya. Ia akan tetap mengusulkan Muawiyah. Bahkan, ia juga akan mengusulkan puteranya sendiri, Abdullah bin Amr sebagai calon. Dan memang, Abdullah bin Amr punya kedudukan tinggi di kalangan sahabat Rasulullah.
“Hai Amr,”ujar Abu Musa.” Apakah engkau menginginkan kemaslahatan umat dan ridho Allah?”
“Apa maksudmu, Abu Musa?”
“Kita angkat Abdullah bin Umar. Ia tidak ikut campur sedikitpun dalam peperangan ini. Dan tak ada tempat bagi Muawiyah di sini. Tak ada haknya.”
Amr bin Ash tergelak. “Apakah engkau tidak mengakui bahwa Ustman bin Affan dibunuh secara aniaya?”
“Benar!”
“Maka Muawiyah adalah wali dan penuntut darahnya. Sedangkan keturunan asal usulnya juga dari kalangan bangsa Quraisy yang mulia. Bukankah Allah telah berfirman, ‘Barangsiapa yang dibunuh secara aniaya, maka kami berikan kekuasaan kepada walinya.’ Di samping itu, Muawiyah adalah saudara Ummu Habibah, istri Rasul,” kilah Amr bin Ash.
“Memang betul. Tapi seandainya khalifah diperoleh dengan kemuliaan, maka Abrahah bin Shabbah—pemimpin pasukan gajah dari Yaman, lebih berhak jadi pemimpin. Dan apa artinya kemuliaan Muawiyah dibandingkan Ali? Benar, Muawiyah adalah wali Ustman. Tapi, bukankah yang lebih utama adalah putra Ustman sendiri?”
BACA JUGA: Ketika Kabah Dirobohkan Pertama Kali
“Kalau begitu, apa halangannya jika engkau mengangkat puteraku Abdullah yang memiliki keutamaan dan keshalehan. Ia lebih dulu hijrah dan sedemikian dekat dengan Rasulullah? Terus terang, Jabatan khalifah tidak cocok buat Abdullah bin Umar. Jabatan ini hanya untuk lelaki yang memiliki dua pasang geraham, yang satu untuk makan, dan sisanya buat memberi makan.”
Pertemuan itu belum juga menemukan pemecahan. Keduanya masih bersikeras. Akhirnya, keputusan final akan mereka serahkan kepada musyawarah akbar kaum Muslimin. Merekalah yang akan memilih siapa yang mereka sukai.
Ketika berlangsung musyawarah besar itu, Abu Musa berkata kepada khalayak ramai, “Saudara-saudaraku, kami telah meninjau sedalam-dalamnya. Kami tidak melihat jalan yang lebih tepat daripada menanggalkan jabatan kedua tokoh ini: Ali dan Muawiyah. Karena itu, kami serahkan pilihan itu kepada musyawarah kalian. Silahkan pilih siapa yang cocok menjadi khalifah. Mulai saat ini, sesungguhnya saya telah menanggalkan Ali dan Muawiyah dari jabatan mereka sebagai khalifah. Sekali lagi, hadapilah urusan ini. Pilihlah orang yang kalian sukai untuk menjadi khalifah kalian.”
Hadirin riuh. Kemudian, giliran Amr bin Ash berbicara. “Saudara-saudaraku, seperti yang kita dengar, Abu Musa telah berkata bahwa ia telah menanggalkan sahabatnya dari jabatan Khalifah. Dengan ini, saya kukuhkan sahabatku Muawiyah sebagai Khalifah. Ia adalah wali Amirul Mukminin, Ustman bin Affan, dan penuntut darahnya serta manusia yang paling berhak dengan jabatan ini!”
BACA JUGA: Khalifah Umar Menangis saat Berkunjung ke Rumah Ubaidah bin Jarrah
Sungguh, Abu Musa tak menyangka apa yang dikatakan Amr bin Ash. Amr telah menelikungnya. Memelintir kata-katanya. Abu Musa tak tahan menghadapi kejadian yang tidak disangka-sangka itu. Ia pun mengucapkan kata-kata keras sebagai tamparan kepada Amr.
Setelah kejadian itu, Abu Musa kembali mengasingkan diri. Di dekat Baitul Haram. Ia habiskan usia dan hari-harinya. Sementara dunia Islam tetap bergolak, menumpahkan darah. Turun-temurun. Semua itu, disebabkan oleh seseorang yang tidak amanah menjaga lidahnya. Bahkan, menjadikan lidah sebagai senjata ampuhnya. []