BERDOA memohon kebaikan itu sangat dianjurkan, baik untuk kebaikan di dunia ataupun di akhirat. Sayangnya, manusia acapkali memohon kehidupan yang baik di dunia, namun kadang lupa meminta kematian terbaik. Lho, memangnya boleh meminta kematian kepada Allah?
Allah SWT berfirman:
“Tiap-tiap yang bernyawa pasti akan mati…” (QS Al Ankabut: 57)
Jika sudah jadi suatu kepastian mengapa harus dipintakan? Memangnya boleh meminta kematian?
Jawabannya tak lain bahwa sebagaimana hidup, mati pun perlu perencanaan? Maka, bukan hanya boleh, malah perlu. Bukankah seetiap muslim pasti mendambakan khusnul khotimah atau mati syahid?
Tapi, jangan salah persepsi. Merencanakan kematian yang dimaksudkan ini bukana berarti menyusun rencana bunuh diri. Maka, untuk lebih jelasnya bisa kita ketahui dari kisah sahabat berikut ini:
1. Sa’ad bin Abi Waqqash dan Abdullah ibnu Jahsyi
Di malam perang Uhud,Saad bin Abi Waqqash berdoa kepada Allah agar bertemu musuh yang kuat dan mengalahkannya dan mengambil rampasannya.
Berbeda dengan Abdullah ibdu Jahsyi. Ia memanjatkan doa kepada Allah bersama Sa’ad bin Abi waqqash, namun do’anya beerbeda.
“Ya, Allah aku bersumpah kepada-Mu! Bahwa besok pagi aku akan bertemu musuh. Aku akan membunuh mereka, dan mereka akan membunuhku. Lalu mereka akan membedah perutku, mengiris hidungku, dan mencacah telingaku. Lalu aku akan menghadap-Mu dan Engkau bertanya kepadaku, ‘Demi siapa ini semua?’ dan aku akan menjawab, ‘Untuk-Mu,” ujar Abdullah ibnu Jahsyi dalam doanya.
Jika, Sa’ad bin Abi Waqqash meminta kehidupan atau kejayaan, Abdullah ibnu Jahsyi justru mengharapkan kematian.
Dengan menitikkan air mata, selepas perang, Sa’ad bin Abi Waqqash mengisahkan, “Kami mendapatkan apa yang kami mohon. Tapi doa Abdullah lebih baik dari doaku…Daan dia berdoa untuk menghadap kepada Allaha dalam keadaan yang paling diridhoi-Nya. Dia mendapatkannya…dia mendapatkannya…”
2. Umar bin Khattab
Suatu hari Umar bin Khattab pernah mengajukan permohonan yang membuat Hafshah, putrinya terkejut. Permohonan itu ia ucapkan kala berdoa. Kebetulan Hafshah mendengar doa ayahnya itu.
“Ya, Allah, matikan aku sebagai syahid di tanah Nabi-Mu,” pinta Umar bin Khattab.
Sontak sang putri yang amat menyayanginya itu berseru, “Ayah, Apakah engkau ingin syahid di Madinah ini, di Haram Nabi Shalallahu alaihi wa sallam? Mengapa bukan di medan Jihad Syam atau Persia? Apakah itu berarti musuh-musuh Allah akan kembali menyerang dan menghancurkan kota penuh berkah ini?”
Apa jawab Umar bin Khattab?
“Hafshah putriku, Allah maha kuasa untuk mengabulkan permohonan hamba-Nya tanpa mengubah karunia-Nya bagi yang lain,” kata Umar bin Khattab.
Apa yang kemudian terjadi?
Umar bin Khattab mendapati doanya terwujud. Ia syahid di tangan seorang pendendam dari Persia bernama Abu Lu’lu. Ia syahid setelah mendapatkan tikaman. Bukan di medan perang, tapi di haram Nabi Shalallahu alaihi wa sallam yaitu Madinah.
Selain dua kisah di atas, ada pula kisah seorang sahabat yang menolak rampasan perang dan berkata kepada Nabi Salallahu alaihi wa sallam.
“Tidak, ya Rasulullah, bukan untuk ini. Aku berperang untuk ini!” ujarnya sambil menunjuk satu titik di nadi lehernya.
Rasul berkata, “Kalau dia jujur kepada Allah, dia akan mendapatkan yang dicitakannya.”
Lalu, apa yang terjadi?
Pada perang yang ia ikuti berikutnya, ia dapatkan sebuah anak panah menancap tepat di titik yang ditunjukkannya dulu.
Kematian memang takdir Allah. Namun, sama halnya sikap kita terhadap takdir lainnya seperti jodoh dan rezeki dalam kehidupan yang sifatnya masih misteri, sebab itu pulalah kita diberikan keleluasaan untuk merencanakan atau mencitakannya. Jadi, kenapa tidak meminta kematian terbaik? Toh, semuanya bergantung pada kuasa Allah. Manusia hanya perlu berupaya dan berdoa, melakukan yang terbaik, termasuk dengan merencanakannya. []
SUMBER: JALAN CINTA PARA PEJUANG | SALIM A. FILLAH | PRO U MEDIA