SEBUAH kisah tentang mesin tik kepunyaan sahabat. Di tahun 95, seusai SMA, saya tak tahu mau jadi apa. Saya hanya merasa saya punya ketertarikan besar pada menulis. Waktu itu, saya ingin sekali menulis cerita seperti “Lupus” karya Hilman Hariwijaya dan atau “Balada Si Roy”-Gola Gong yang begitu menjajah saya.
Karena keterbatasan, saya hanya bisa menulis menggunakan kertas folio bergaris menggunakan bolpoin. Tulisan-tulisan pada tahun-tahun itu banyak saya simpan.
Ketika teman-teman seangkatan mulai kuliah, saya nyaris tidak punya kesibukan apapun selain menulis. Saya memutuskan untuk menulis untuk dapat uang, agar saya bisa kuliah—karena keluarga saya yang miskin tak mampu membiayai.
Maka, seorang karib yang rumahnya cukup jauh dari tempat tinggal saya, melulu saya pinjam mesin tiknya. Mesin tik yang sangat bagus. Untuk meminjamnya, saya berjalan kaki bolak-balik dari Simpang sampai Pasar Jumat, rumahnya. Saya meminjam mesin tik mungkin bisa lebih dari sebulan lamanya.
BACA JUGA: Si Doel Anak Sekolahan
Kalau ia perlu, maka rekan saya itu akan datang ke rumah saya menggunakan motornya dan mengambilnya untuk sepekan kemudian saya pinjam lagi. Ketika meminjam mesin tiknya itu, tak lupa saya selalu meminta kertas HVS yang ada di meja belajarnya. Begitulah.
Cerita pendek saya pertama yang dimuat sebuah majalah nasional pada Mei 1995, menggunakan mesin tik dia. Begitu juga dengan cerita-cerita lainnya.
Setahun kemudian, karib saya membeli komputer dengan sistem operasi pengetikan Word Star. Entah versi berapa. Dengan komputer dia, saya mentik cerpen saya yang dilombakan nasional di Majalah Matra tahun 1996.
Saya jadi juara ke-3. Honornya saya gunakan untuk masuk perguruan tinggi di Jatinangor. Saya ingat, karena satu dan lain hal, saya belum pernah sekalipun memberikan apapun kepada karib saya ini dari hasil keringat saya menulis. Maafkan saya.
BACA JUGA: Keluar dari Grup WA
Namun, kebaikannya tak pernah hilang dari kepala saya. Saya ceritakan kepada anak-anak saya di kala-kala tertentu. Beberapa waktu lalu, di kedai soto pagi dekat rumah, saya bertemu dengan kedua orang tuanya. Sudah agak sepuh, namun alhamdulillah, masih terlihat bugar.
Saya sungkem pada mereka berdua. Saya tunjukkan rasa hormat pada mereka sedalam-dalamnya telah melahirkan seorang sahabat bagi saya yang sangat berarti. []