PADA masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Al-Qur’an belum dibukukan dalam satu mushaf karena masih ada kemungkinan turunnya naskh mansukh (ayat-ayat yang dihapus dan diganti). Maka pada saat itu, Al-Qur’an masih berceceran di dalam dada para sahabat (penghafalnya), ditulis terpisah di pelepah kurma, batu pipih, kulit kering, dan lain sebagainya.
Namun ketika para penghafal Al-Qur’an dari kalangan sahabat banyak terbunuh di perang Yamamah, Abu Bakar bermusyawarah dengan Umar bin Khattab untuk segera mengumpulkan Al-Qur’an. Umar sendiri khawatir Al-Qur’an mulai hilang seiring dengan para penghafalnya yang gugur di medang perang.
BACA JUGA: 4 Jenis Buah Kaya Manfaat yang Disebutkan dalam Alquran
Abu Bakar yang saat itu sudah dipilih menjadi khalifah, merasa ada sedikit yang mengganjal di hatinya. Ia berkata, “Apakah aku akan melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rasulullah?”
Umar pun menjawab, “Demi Allah, ini adalah kebaikan.”
Umar pun terus mendesak Abu Bakar agar mau menerima saran kebaikan itu. Atas izin Allah dengan segala petunjuk-Nya, Abu Bakar menerima saran itu lalu memerintahkan Zaid bin Tasbit untuk mengemban tugas ini.
“Engkau adalah pemuda yang cerdas dan kami tidak pernah menuduhmu (dengan tuduhan buruk apapun). Dahulu engkau juga salah satu penulis wahyu, maka cari dan kumpulkanlah Al-Qur’an.”
BACA JUGA: Sebutan Hari Akhir dalam Alquran, Apa saja?
Metode yang digunakan Zaid bin Tsabit dalam mengumpulkan Al-Qur’an adalah ia tak mau mencatat sekedar dari hafalan para sahabat. Akan tetapi, hafalan tersebut harus disertakan dan disaksikan oleh dua orang bahwa sahabat itu memang benar pernah mencatat ayat tersebut di hadapan Rasulullah. []
Sumber: Abu Jannah. Sya’ban 1438 H. Serial Khulafa Ar-Rasyidin, Abu Bakar ash-Shiddiq. Jakarta: Pustaka Al-Inabah.