Rasulullah SAW bersabda: “Aku tidak khawatir kalian miskin akan tetapi aku khawatir (kalian mendapatkan) dunia (lalu) kalian bersaing dalam urusan dunia itu,” (H. R. Ahmad).
BEGINILAH Rasulullah SAW memperingatkan umatnya. Beliau menyampaikan kekhawatirannya tentang nasib umatnya sepeninggal beliau. Ternyata beliau tidak lebih khawatir dengan ujian dalam bentuk kenestapaan, kemiskinan, kekurangan dana. Yang lebih Nabi SAW khawatirkan justru manakala umat Islam diuji dengan sukses duniawi.
Memang, kita sering kali kurang sadar bahwa sesungguhnya kebahagian, keberuntungan, keberhasilan, dan segala kebaikan adalah ujian dari Allah SWT. Acap kali kita sadar sedang diuji manakala ujian yang datang berupa kenestapaan dan kepedihan. Padahal Allah SWT menegaskan:
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (QS. 21:35).
BACA JUGA: Pembagian Harta Kekayaan Khaibar
Pejuang yang sukses bukanlah pejuang yang hanya bertahan dan istiqamah di saat mendapat terpaan badai dan hantaman ombak. Pejuang yang sukses adalah juga mampu istiqamah di saat mendapat tiupan angin sepoi-sepoi dan kucuran madu. Ada banyak perilaku buruk yang mungkin muncul saat datang ujian yang membahagiakan, bila para pejuang nihil atau kurang kesiapan mental (ma’nawiyyah) untuk menghadapinya. Di antara perilaku-perilaku yang menunjukkan ketidaktahanan mental itu adalah:
Pertama, merasa paling berhak memperoleh keuntungan materi karena merasa paling berjasa. Ujian ini pernah dialami oleh para sahabat yang mulia. ‘Ubadah, salah seorang sahabat Rasulullah SAW menceritakan bahwa surah Al-Anfal turun sebagai arahan kepada para sahabat terkait dengan harta rampasan perang. Saat ditanya tentang turunnya surah tersebut, ‘Ubadah menjelaskan, “Surah itu turun berkenaan dengan kami, saat kami berselisih paham tentang (pembagian) harta rampasan perang dan akhlak kami menjadi buruk. Maka Allah mencabutnya dari tangan kami dan menyerahkannya kepada Rasulullah SAW. Lalu beliau membagi-bagikannya di kalangan kaum Muslimin secara merata.” (HR. Ahmad)
Lebih jelas tentang dinamika sebagian sahabat terkait dengan ghanimah itu dijelaskan dalam hadits lain, juga dari ‘Ubadah. Beliau mengatakan, “Kami keluar bersama Rasulullah SAW (menuju Badar) dan aku turut serta dalam itu. Kedua pasukan pun bertemu (bertempur) lalu Allah mengalahkan musuh. Sebagian kaum Muslimin mengejar musuh, mengalahkan dan membunuhi mereka. Sekelompok lain menuju tumpukan ganimah menghimpun dan mengumpulkannya. Dan sebagian lain melindungi Rasulullah SAW dari serangan musuh. Ketika malam tiba dan sebagian orang bergabung dengan sebagian lain, orang yang mengumpulkan ganimah mengatakan, ‘Kamilah yang mengumpulkan dan menampung ganimah. Jadi tidak ada orang yang berhak selain kami.’ Orang yang mengejar musuh mengatakan, ‘Kalian tidak lebih berhak dari kami karena kamilah yang mengejar musuh dan mengalahkannya.’ Dan orang yang melindungi Rasulullah SAW mengatakan, ‘Kami takut musuh menyerah Rasulullah SAW secara tiba-tiba. Makanya kami sibuk mengamankan beliau.’ Maka turunlah surah Al-Anfal.” (HR. Ahmad) Mereka akhirnya menyadari kesalahan mereka dan kembali kepada ketaatan kepada Rasulullah SAW. Tentu saja kejadian itu sendiri memang untuk menjadi pelajaran bagi kaum Muslimin sesudahnya.
Kedua, muncul kecemburuan dari orang yang tidak memperoleh keuntungan material dan tidak mendapatkan ‘kue’ hasil perjuangan. Kemenangan bila sudah mewujud dalam bentuk materi memang berpotensi memunculkan rasa cemburu. Jika rasa cemburu tidak teratasi tidak mustahil berubah menjadi iri dengki. Dan jika sudah menjadi iri dengki tentu saja ini ‘lampu merah’ alias tanda bahaya bagi sebuah perjuangan. Ketika perjuangan belum mendapatkan fasilitas duniawi, ia tidak punya beban kecemburuan dan iri dengki. Karena memang tidak ada yang dapat diperebutkan. Akan tetapi ketika ada serpihan-serpihan dunia yang bisa diraba, dirasakan, dan dinikmati, syetan akan hadir untuk membelokkan orientasi perjuangan.
Qiyadah (pimpinan) dakwah memang juga akan diuji kebijakan, konsistensi, dan kepiawaiannya dalam mengambil keputusan-keputusan yang beresiko menyebabkan seseorang atau sejumlah orang tidak kebagian serpihan dunia tadi. Dan di lain pihak, prajurit dakwah juga diuji dalam hal tsiqah (kepercayaan) kepada qiyadah yang telah mengambil keputusan dalam rangka maslahat yang besar namun tidak sepenuhnya dipahami oleh para prajurit. Peristiwa pembagian ganimah Hunain telah memberi pelajaran penting untuk kita. Dengan pertimbangan kemaslahatan dakwah, Rasulullah SAW memprioritaskan para thulaqa (orang-orang yang baru masuk Islam dan dibebaskan dari pembalasan atas kesalahan mereka) dalam pembagian ganimah. Sedangkan kaum Anshar tidak mendapatkan sedikit pun. Kecemburuan muncul karena kaum Anshar belum memahami maslahat dakwah yang dituju oleh Rasulullah SAW dengan cara seperti itu. Pada akhirnya mereka menerima dengan puas keputusan Rasulullah SAW setelah memahai berbagai konsiderannya.
Meskipun tentu saja pada akhirnya pengelolaan suasana seperti ini (kecemburuan) tidak dalam semua dapat melulu mengandalkan ke-tsiqah-an. Kerap kali kita berhadapan dengan kasus-kasus yang sarat muatan sisi-sisi manusiawi yang harus dijembatani dengan penyelesaian yang pragmatis. Ini juga punya landasannya dalam Quran: “Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS. 59:7)
Ketiga, terjadi pengkhianatan terhadap amanah dan prinsip-prinsip perjuangan. Tidak kurang-kurang contoh di alam kehidupan luas yang membuktikan bahwa godaan jabatan dan kekayaan memang sangat efektif membelokkan arah perjuangan. Kita kenal orang-orang yang semula berada dalam organisasi yang memiliki idealisme tinggi. Akan tetapi tidak ada yang tersisa dari idelaisme itu selain catatan sejarah yang mulai kusam. Pantas Allah SWT mengingatkan kita dengan sangat keras:
“Dan ingatlah (hai para muhajirin), ketika kamu masih berjumlah sedikit, lagi tertindas di bumi (Mekah), kamu takut orang-orang (Mekah) akan menculik kamu, maka Allah memberi kamu tempat menetap (Medinah) dan dijadikan-Nya kamu kuat dengan pertolonganNya dan diberi-Nya kamu rezki dari yang baik-baik agar kamu bersyukur. Hai orang-orang beriman, janganlah kamu,mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan juga janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanya sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. 26-8:28)
“Alur cerita” yang dapat saya tarik dari ketiga ayat di atas adalah: perjuangan Islam biasa bermula dari dukungan segelintir orang yang tidak lepas dari rasa takut akan intimidasi dan sambaran orang-orang yang merintanginya. Lalu Allah memberikan naungan atau perlindungan yang karenanya dakwah bisa dilakukan secara lebih leluasa dan terbuka. Ini membuahkan kemenangan dan dukungan yang lebih kuat terhadap perjuangan. Kondisi ini membuka banyak peluang riziki. Bahkan begitu mudahnya. Namun Allah ingatkan bahwa rizki hak kaum Muslimin hanyalah yang thayyibat. Namun yang thayyibat itu pun –apa lagi yang khabitsat, busuk atau haram- berpotensi menggoda pejuang untuk berkhianat, baik kepada Allah, Rasulullah SAW, atau khianat terhadap amanah yang diembankan kepadanya. Karenanya diingatkan pula bahwa harta dan keturunan adalah batu ujian dan bukan pahala dari perjuangan.”
BACA JUGA: 4 Tipe Orang dalam Menghadapi Harta
Keempat, hilang semangat perjuangan karena merasa sudah mencapai tujuan. Ketika capaian duniawi dan sukses material dipersepsi sebagai imbalan perjuangan, dan bukannya sebagai ujian, seorang pejuang akan sudah merasa sampai di tujuan karena sudah mencapai bagian tertentu dari kehidupan dunia. Akibatnya dia tidak lagi mempunyai semangat juang. Letih sedikit dia tidak mau. Jarak yang dekat dirasanya jauh. Allah SWT mengingatkan kita agar jangan sampai seperti orang munafik. Firman-Nya, “Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu, keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak berapa jauh, pastilah mereka mengikutimu, tetapi tempat yang dituju itu amat jauh terasa oleh mereka. Mereka akan bersumpah dengan (nama) Allah: ‘Jikalau kami sanggup tentulah kami berangkat bersama-samamu.’ Mereka membinasakan diri mereka sendiri dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta.” (QS. 9:42)
Kelima, gaya hidup dan kesombongan. Dengki adalah penyakit orang gagal. Sedangkan penyakit orang “sukses” adalah sombong dan hidup melampaui batas. “Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas. Karena dia melihat dirinya serba cukup.” (QS. 96:6-7)
Karenanya, untuk membingkai kemenangan penting untuk menegaskan standar sukses hakiki: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga maka sungguh ia telah sukses. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS. 3:185). []