Michael Levitt, ahli biofisika dari Stanford University sekaligus peraih anugerah Nobel Prize di bidang kimia, memprediksi wabah virus corona COVID-19 bakal segera berakhir dalam waktu dekat. Pernyataan Levitt itu menjadi penguat bagi seluruh dunia yang kini tengah berjuang melawan pandemi tersebut.
Sebelumnya, Levitt mengestimasi dengan tepat bahwa China akan melalui wabah virus corona justru saat tren kasus sedang berada di puncak, jauh sebelum perkiraan serupa dibuat oleh pakar kesehatan lain.
Sejak pertengahan Februari hingga awal Maret, jumlah kasus penyakit yang dibawa oleh virus SARS-CoV-2 di China dilaporkan menurun. Johns Hopkins mencatat, kasus baru yang muncul tak sampai menyentuh angka 100.
BACA JUGA: Polisi Amankan 36 Muda-Mudi di Ngawi yang Tetap Berkerumun di Tengah Wabah Corona
Menurut laporan Sky News, pada 22 Maret, China memperoleh 92 kasus baru COVID-19, enam kematian, dan 505 orang dinyatakan telah negatif virus corona alias sudah sembuh.
Di China, kira-kira ada enam orang yang terinfeksi virus corona dari 100.000 populasi. Jumlah itu tak ada apa-apanya jika dibandingkan Italia yang menerima 98 kasus dari 100.000 populasi.
Kondisi di China pun belakangan berangsur pulih. Sejumlah tenaga medis yang diperbantukan dari luar Provinsi Hubei pun mulai pulang ke wilayah masing-masing.
Kepada Los Angeles Times, Levitt menyebut kondisi serupa juga bakal menghampiri negara-negara yang ikut terdampak wabah. Menurutnya, pemulihan situasi akibat COVID-19 akan mulai bisa terwujud terutama di daerah-daerah yang disiplin menerapkan aturan physical distancing atau menjaga kontak fisik dengan orang lain.
“Yang kita butuhkan adalah mengendalikan kepanikan… kita akan baik-baik saja,” ujarnya.
Ia sekaligus membantah prediksi banyak ahli epidemiologi dunia yang memperingatkan pandemi COVID-19 bakal berlangsung berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun dengan efek kerusakan sosial yang masif serta merenggut jutaan nyawa.
Levitt mengatakan data di lapangan tidak mendukung skenario tersebut. Apalagi negara-negara terdampak mulai menjalankan langkah-langkah physical distancing, bahkan yang lebih ekstrem lagi, mengambil kebijakan lockdown demi memutus rantai penularan.
“Angka-angka (kasus) masih berisik tetapi ada tanda-tanda jelas pertumbuhan (kasus) melambat,” ujar Levitt.
Ia menambahkan, mandat untuk menjaga jarak sosial dan vaksinasi flu sama-sama penting untuk memerangi wabah. Dalam kesempatan yang sama, ia juga menyalahkan ulah sebagian media karena menyulut kepanikan.
Padahal, ketika China mulai melaporkan kenaikan angka kematian pasien COVID-19, perhitungan Levitt masih optimistis kalau jumlah kematian akan melambat dalam sepekan mendatang. Laporannya sempat viral di media sosial. Dalam estimasi tersebut, dia memprediksi wabah mencapai puncaknya pada pertengahan Februari dengan total sekitar 80.000 kasus dan 3.250 kematian.
BACA JUGA: Penjelasan UAS soal Hukum Meninggalkan Shalat Jumat dan Fardhu Berjamaah saat Wabah Corona
“Pada 16 Maret, China telah mencatat total 80.298 kasus dan 3.245 kematian,” ujarnya.
Terhitung sejak empat bulan mewabah, pandemi COVID-19 telah menginfeksi 471.783 orang di seluruh dunia, merenggut 21.306 nyawa, dan 114.858 orang berhasil dinyatakan sembuh. Sejumlah negara menerapkan isolasi total, menutup total akses keluar-masuk. Imbauan physical distancing digalakkan di mana-mana.
Mengutip Levitt, menjaga jarak bakal ampuh mengakhiri pandemi ini. Seluruh dunia menghadapi satu musuh yang sama, virus yang dengan mudah menyebar antar manusia ke manusia. Saling memberi jarak menjadi solusi terbaik. Jika semua orang disiplin menerapkannya, pandemi ini akan lekas berlalu. []
SUMBER: KUMPARAN