JAKARTA—Penyair terkemuka Indonesia Taufik Ismail membacakan puisi Palestina pada sesi acara “Tasyakur 5 Tahun” MINA (Mi’raj News Agency) di Aula Buya Hamka, Masjid Al-Azhar Kebayoran, Jakarta Selatan Senin (18/12/2017).
Dengan suara syahdu dan bergetar, sesekali terisak, Taufik Ismail membacakan puisi “Palestina, Bagaimana Bisa Aku Melupakanmu” di hadapan peserta tasyakur. “Saya tulis puisi ini dua puluh tahunan lalu, sampai kini masih terasa Palestina itu. Jarak empat ribu lima ribu kilometer terasa. Palestina negeri Islam yang terzalimi,” katanya mengawali puisinya.
Taufik Ismail budayawan kelahiran Bukit Tinggi 80 tahun silam itu, didampingi Taufiqurrahman, wartawan MINA, yang membacakan edisi bahasa Arab terjemahan Prof. Nabila Lubis.
Berikut puisi yang ia ciptakan tahun 1989 atau 27 tahun lalu itu.
“Palestina, Bagaimana Bisa Aku Melupakanmu.
Ketika rumah-rumahmu diruntuhkan bulldozer dengan suara gemuruh menderu, serasa pasir dan batu bata dinding kamar tidurku bertebaran di pekaranganku, meneteskan peluh merah dan mengepulkan debu yang berdarah.
Ketika luasan perkebunan jerukmu dan pepohonan apelmu dilipat-lipat sebesar saputangan lalu di Tel Aviv dimasukkan dalam fail lemari kantor agraria, serasa kebun kelapa dan pohon manggaku di kawasan khatulistiwa, yang dirampas mereka.
Ketika kiblat pertama mereka gerek dan keroaki bagai kelakuan reptilia bawah tanah dan sepatu sepatu serdadu menginjaki tumpuan kening kita semua, serasa runtuh lantai papan surau tempat aku waktu kecil belajar tajwid Al-Qur’an 40 tahun silam, di bawahnya ada kolam ikan yang air gunungnya bening kebiru-biruan kini ditetesi air mataku.
Palestina, bagaimana bisa aku melupakanmu.
Ketika anak-anak kecil di Gaza belasan tahun bilangan umur mereka, menjawab laras baja dengan timpukan batu cuma, lalu dipatahi pergelangan tangan dan lengannya, siapakah yang tak menjerit serasa anak-anak kami Indonesia jua yang dizalimi mereka – tapi saksikan tulang muda mereka yang patah akan bertaut dan mengulurkan rantai amat panjangnya, pembelit leher lawan mereka, penyeret tubuh si zalim ke neraka.
Ketika kusimak puisi-puisi Fadwa Tuqan, Samir Al-Qassem, Harun Hashim Rashid, Jabra Ibrahim Jabra, Nizar Qabbani dan seterusnya yang dibacakan di Pusat Kesenian Jakarta, jantung kami semua berdegup dua kali lebih gencar lalu tersayat oleh sembilu bambu deritamu, darah kamipun memancar ke atas lalu meneteskan guratan kaligrafi ‘Allahu Akbar!’ dan ‘Bebaskan Palestina!’
Ketika pabrik tak bernama 1000 ton sepekan memproduksi dusta, menebarkannya ke media cetak dan elektronika, mengoyaki tenda-tenda pengungsi di padang pasir belantara, membangkangi resolusi-resolusi majelis terhormat di dunia, membantai di Shabra dan Shatila, mengintai Yasser Arafat, Ahmad Yassin dan semua pejuang negeri anda, aku pun berseru pada khatib dan imam shalat Jum’at sedunia: doakan kolektif dengan kuat seluruh dan setiap pejuang yang menapak jalanNya, yang ditembaki dan kini dalam penjara, lalu dengan kukuh kita bacalah ‘la quwwatta illa billah!’
Palestina, bagaimana bisa aku melupakanmu.
Tanahku jauh, bila diukur kilometernya, beribu-ribu Tapi azan Masjidil Aqsha yang merdu Serasa terngiang-ngiang di telingaku.”
Pembacaan puisi disertai aplaus dan teriakan takbir “Allahu Akbar”, menggema di ruang konferensi. Seusai pembacaan puisi, Taufik Ismail mendapat sertifikat penghargaan dari Imaamul Musimin Yakhsyallah Mansur, selaku Pembina MINA. []
Reporter: Tommy Abdullah