Oleh: Indah Noviariesta
Pegiat organisasi Gerakan Membangun Nurani Bangsa (Gema Nusa), menulis esai dan prosa di berbagai media cetak dan online.
indahnoviariesta@yahoo.co.id
ADA sasaran yang ingin dicapai bangsa Israel – khususnya kaum Zionisme – untuk menaklukkan hegemoni politik dan ekonomi dunia. Berdirinya organisasi Freemasonry sejak 1717 di Inggris tak lepas dari peran mereka untuk memengaruhi citra dan selera masyarakat dunia pada satu kiblat peradaban dunia. Buku “The Jacatra Secret” karya Rizki Ridyasmara (2013) memberikan garis besar tentang proses penyebaran organisasi ini secara luas di seluruh dunia. Di Indonesia, telah berdiri sejak masa Hindia Belanda pada 1764, dan baru dibubarkan di masa Presiden Soekarno pada 1962.
Tetapi, jejak-jejak pengaruh ajaran Freemason masih bisa diteliti dan ditelusuri secara ilmiah, juga tempat dan lokasinya masih mudah dilacak di beberapa titik dari Jakarta, Bandung hingga Surabaya. Oleh para penganutnya, ajaran Freemason di Indonesia disebut “Tarekat Mason Bebas”, yakni suatu aliran kebatinan yang berdasarkan ajaran Talmud Kabbalah yang bergerak mencita-citakan umat manusia berkiblat ke negeri Israel.
BACA JUGA: Yahudi, Ditetapkan Sebagai Bangsa yang Kebingungan di Muka Bumi
Gerakan yang diprakarsai kecerdasan otak Yahudi ini berangkat dari anggapan bahwa keturunan Yahudi adalah manusia terpilih kekasih Tuhan. Karenanya semua kepercayaan dunia – termasuk Kristen dan Islam – perlu menginduk pada ketetapan politik yang diprakarsai oleh mereka. Gerakan liberalisme yang mengibarkan pola dan gaya hidup hedonis ini menjelma sebagai anutan ideologis-pragmatis. Sedangkan di Indonesia dinamakan sebagai tarekat (way of life) oleh para penganutnya.
Generasi Yahudi
Bukan rahasia umum, ketika para sosiolog dan antropolog mengadakan penelitian tentang tabiat dan karakteristik kaum Yahudi di Israel. Kita dapat memahami mengapa para orang tua keturunan Yahudi sangat protektif terhadap perkembangan dan pertumbuhan anak-anak didik mereka.
Sejak usia dini, para ibu sudah terbiasa menganjurkan anak-anak Yahudi mengonsumsi susu, korma dan kacang almond (badam). Untuk makanan utamanya adalah roti, salad, dan ikan tanpa kepala. Di samping itu, menjadi kewajiban bagi ibu hamil untuk mengonsumsi pil minyak ikan. Seperti halnya orang-orang Jepang, anak-anak Yahudi juga gemar sekali mengonsumsi ikan. Sebelum sarapan pagi, anak-anak biasanya makan buah-buahan terlebih dahulu, baru kemudian makanan utama yang berkarbohidrat seperti roti, nasi dan lain-lain.
Jarang ditemukan orang Yahudi – baik remaja maupun orang dewasa – yang mengonsumsi rokok. Di Jerusalem sendiri, toko-toko tidak menyediakan rokok. Penemuan dari para ilmuwan yang meneliti DNA dan gen di Israel, bahwa nikotin dapat melekat pada gen, serta merusak sel utama pada fungsi otak manusia. Jika ada orang bertamu sambil merokok di rumah seorang warga keturunan Yahudi, tidak ragu-ragu mereka akan membuka pintu agar sang perokok duduk di luar rumah saja.
Dari sisi linguistik, anak-anak keturunan Yahudi pada umumnya menguasai tiga bahasa, Hibrani, Arab dan Inggris. Sejak balita mereka sudah dilatih piano dan biola. Mereka sepakat dengan pendapat para saintis, bahwa suara-suara irama dan melodi dari alunan musik, dapat merangsang fungsi otak hingga meningkatkan IQ. Untuk sekolah tingkat SD, pendidikan matematika yang diajarkan langsung berbasis perdagangan (niaga). Sedangkan kegiatan olahraga yang paling diutamakan adalah lari, memanah dan menembak. Ketiga olahraga ini dapat melatih fungsi otak depan agar para pelajar menjadi tekun dan fokus pada potensi yang mereka geluti. Para guru dan orang tua begitu serius dalam menekuni proses ini, karena – bukan hanya soal tradisi – tapi menjadi kewajiban bagi orang tua mendidik anak-anak yang cerdas dan berkualitas.
Berpikir dengan hati
Dalam perspektif lain, investasi ilmu untuk menciptakan generasi unggul ini menjadi proyek yang terlampau ambisius. Paham militerisme Israel yang kelewat rasional, menganggap jatuhnya satu korban anak Yahudi dipandang lebih berharga daripada sepuluh warga Palestina, baik yang Islam maupun Kristen. Kita bisa saksikan bersama, bagaimana perlakuan mereka yang biadab (27 Desember 2008), ketika agresi militer mereka di Jalur Gaza menembaki para penduduk yang mencapai 1300 orang, dan setengah dari korban-korban itu ternyata adalah anak-anak warga Palestina.
Karena yang menjadi fokus perhatian adalah evolusi otak (brain) yang mengembangkan pola pikir rasional dan ilmiah (mind), maka pemikiran anak-anak muda Yahudi cenderung terbuka dan vulgar. Hal itu dimungkinkan karena segala sesuatu yang dipikirkan dengan otak berasal dari hasil penerimaan berbagai getaran dari lingkungan oleh sensor pancaindera (organ tubuh), yang kemudian dikirimkan ke otak melalui sistem saraf. Proses tranfer informasi dari sensor pancaindera ini memungkinkan segala informasi dapat diterima tanpa proses sanering untuk mempertimbangkan baik atau buruk, berdampak positif ataukah negatif.
Maraknya sistem informasi di era milenial ini, membuat orang yang belum terbiasa mengolah kepekaan hati nuraninya, mudah terjerumus dalam arus selera publik. Hingga cenderung melahirkan pola komunikasi tanpa pikiran jernih, bijak dan penuh kesantunan. Kekerasan tindakan militerisme Israel (zionisme) telah keluar dari khittah dan pemikiran yang berlandaskan semangat kemanusiaan. Untuk itu, sangat mencederai nilai-nilai humanisme universal, yang juga dianut oleh pakar-pakar perdamaian dari kaum Yahudi sendiri. Misalnya, sastrawan Yahudi Elie Wiesel yang pernah dianugerahi nobel perdamaian (1986), justru karena pembelaannya terhadap hak-hak para lansia warga Palestina yang diperlakukan semena-mena oleh militerisme Israel.
Sensor hati
Kemampuan perasaan manusia memiliki sensor abstrak yang bersifat sensitif, tapi punya kelebihan ketimbang sekadar sensor pancaindera yang hanya berupa fisik atau organ tubuh semata. Setiap informasi yang ditangkap oleh sensor hati pada umumnya melalui proses olah hati (bukan olah pikir), yakni suatu proses merasa dengan kalbu untuk mempertimbangkan suatu karya tulis akan berdampak baik atau buruk.
Apakah suatu penemuan ilmiah yang mutakhir layak diteruskan ataukah tidak. Jika dampaknya membumihanguskan peradaban manusia (mafsadah), maka tentu saja harus dihentikan. Jika diadakan ujicoba nuklir – misalnya – di perairan Laut Aceh, Lombok, Palu dan Donggala, akan mengakibatkan perusakan dan penghancuran tatanan sistem (seperti dalam film Game of Thrones), maka tentu saja masyarakat dunia harus bergerak untuk menghentikan ulah dan tindakan mereka.
BACA JUGA: Kapan Bani Israel Menjadi Yahudi?
Dalam proses olah rasa, kiranya perlu ditegaskan, bahwa orang yang memiliki sensor hati yang sangat sensitif, di mana ia sanggup menangkap sinyal dan merekam getaran yang sangat lembut dan halus, tetapi sangat akurat, itulah yang dinamakan “nur ilahi” (kepekaan hatinurani).
Olah rasa yang dihasilkan dari kepekaan nurani ini dapat membedakan mana yang terbaik daripada yang baik, bahkan mana yang terpenting daripada yang penting. Dalam istilah lain (bahasa Arab) dikenal juga kata “fu’ad” yang berarti kalbu yang membuka pintu masuk spiritual bagi turunnya inspirasi, intuisi, hingga prediksi tentang apa yang akan terjadi.
Untuk itu, Hafis Azhari, penulis novel Pikiran Orang Indonesia menyimpulkan, “Berilmu tanpa iman akan menjadikan agama sebagai bahan ejekan, sebaliknya beriman tanpa ilmu akan menjadikan agama sebagai berhala. Namun, keseimbangan antara keduanya, akan melahirkan manusia beragama (homo religious) yang dewasa.” []
Kirim tulisan Anda ke Islampos. Isi di luar tanggung jawab redaksi. Silakan kirim ke: islampos@gmail.com, dengan ketentuan tema Islami, pengetahuan umum, renungan dan gagasan atau ide, Times New Roman, 12 pt, maksimal 650 karakter.