SIANG cerah di Kuala Lumpur, usai menjemput anak-anak latihan karate di sekolah, saya menemani suami menuju area Gombak untuk ujian qiroat. Beberapa menit jalanan macet, sembari memangku bayi, kubuka `whatsapp dan membaca beberapa berita gembira dari sisters di Krakow. Setahun terakhir ini, kami ‘absen kelas skype’ (seusai masa hectic persalinanku dan pindahan appartemen), namun kami melanjutkan berbagi kabar berita melalui grup Whatsapp, Walhamdulillah!
“Sekarang Aneta dan Kasia telah menemukan kekasih hati, keduanya melangsungkan pernikahan dengan brothers yang merupakan pendatang di Poland,” ucapku, di samping sang supir ganteng yang tengah menanti lampu merah.
“Alhamdulillah… barokalloh buat mereka…” ujar Mas Anggana.
“Trus, ingat kan dengan Brother Feroz? Walhamdulillah pas kita pindah ke Kuwait, beliau pulang ke UK, dan sekarang anaknya dua…masya `Allah, ini istrinya lagi senang menceritakan bayi mereka…” sambungku lagi.
“Wah Alhamdulillah, iya, ingat… dulu mereka agak ketakutan dengan threatment di hospital Krakow, sebab selalu perlu penerjemah di rumah sakit, karena tidak bisa berbahasa lokal….” Mas Angga turut senang mendengar kabar sahabat kita tersebut.
“Errrrm, tapi sist Em, dia hamil lagi dengan ‘yang lama’… innalillahi…” Sist Em adalah istri yang di-mut’ah oleh pendatang pemeluk syi’ah. Sewaktu kami berada di Krakow, beliau bercerita bahwa kontrak pernikahannya adalah enam bulan. Lalu suaminya kembali ke tanah air, sementara sist Em telah berbadan dua. Dan kini anaknya seusia keponakanku, berlanjut memiliki ‘adik baru’, setelah sist Em mau dimut’ah kembali.
“Sejak kita di dekatnya pun, hanya bisa menyampaikan. Hasilnya adalah urusan Allah azza wa jalla. Jadi, minta sama Allah saja, semoga Allah ta’ala menolongnya, melimpahkan hidayah dan taufiqNya untuk bertaubat, aamiin…” tanggapan Mas Angga.
Seingatku, beberapa sisters di Krakow telah saling mengingatkan tentang bahaya kawin kontrak ini, tetapi kaum pendatang pemeluk syi’ah yang bergentayangan di Eropa memang cukup banyak. Apalagi jika di awal pertemanan, taktik ‘taqiyyah’ dijalankan, maka kita memang harus lebih waspada dan tak pernah lelah untuk mempelajari al-Islam keseluruhan, berguru pada ahlul quran dan sunnah rasulNya SAW, sehingga pemahaman tidak mudah tercemar. Di wilayah Islam minoritas seperti Poland, muslimin berteman akrab dengan pemeluk syi’ah adalah hal biasa, dan itu terjadi pada sahabat-sahabat muallaf.
Sist Volha, salah satu sisterku nan cerdas sudah pernah berkata, “Aku bisa donk membedakannya, mana brother muslim, dan mana orang yang syi’ah…” ujarnya, dahulu dengan berkedip. Meskipun ia sangat ramah dan berteman dekat dengan para tokoh agama lain, sister kita ini tegas memegang prinsip. Jika seseorang mendekatinya dan mengatakan “I am muslim…”, maka ia belum langsung percaya. Namun ketika ada yang berkata, “I am muslim, of course sunni!” “Nah itu tandanya Islam, sist, hahahaha…” ujarnya.
“Kita minta sama Allah, petunjuk untuk membedakannya…dan minta petunjuk ketika ada teman baru atau berada di lingkungan baru juga…” sambungnya, yang kini tengah berbahagia karena telah bersama suami, dan menetap di Mesir, beliau menikah dengan brother asal Egypt.
Suasana berbeda ketika saya kembali ke Kuala Lumpur, kucoba menelepon seorang jiran lama (sewaktu masih di Kuala Lumpur, 2008). Jiran ini adalah seorang tenaga kerja wanita Indonesia, pintu rumah majikannya berseberangan dengan rumah kami dahulu. Saat kutelepon, dia gembira sekali, terdengar kegirangan dalam suaranya. “Mana ada kawan di sini, saya bu’…” ujarnya. “Saya kaget ibu’ balik ke KL lagi, waaaah, nanti saya datang tempat ibu’ yaaah…”
“…Mbak, masih di tempat lama, kerjanya? Serius, mbak?” sepotong percakapan kami, tanyaku terkejut, sebab berarti sudah belasan tahun beliau mengabdi di kediaman majikan yang keturunan Chinese, dan hampir setiap hari beliau memasak menu non-halal.
“Iya… gimana lagi, bu’… di sini sudah aman, saya sering sholat kok bu’… cuma gak puasa aja…”
Waaah menangis hatiku mendengar kepolosannya, sholat wajib tetaplah tak dijalankan lima waktu, & puasa ramadhan ditinggalkan. Dan ini terjadi di sebuah negeri muslim mayoritas, wallohi, sangat berkebalikan dengan semangat dan antusiasme sahabat muallaf di negeri minoritas. Faghfirlii…
“Bu’??? Ibu’ telepon-an lagi nanti yah? Simpan terus nomor saya yah bu’, saya seneeeng sudah ditelepon ibu’…hihihihi, kangen sama abang sulung!”
“Ooh, eh.. nggih, insyaa Allah mbak yo… wassalamu’alaykum…” kututup telepon dengan air di pelupuk mata.
Menelusuri jalan pulang ketika mampir di kedai makan favorit kami, tak kusangka berjumpa lagi dengan seorang paman yang biasa berkursi roda, beliau sudah lama ‘beredar di dekat masjid’ daerah kampung baru, masyaAllah!
Paman ini kursi rodanya ‘dimodifikasi’ jadi lebih modern, terlihat ada modifikasi dengan alat sederhana, bukan jenis kursi roda canggih yang biasa kulihat di tramwajem Krakow (Catatan CintaNya di Krakow-2012), namun senyum semangat si Paman jauh lebih ceria dari pada pekursi roda di sana. Subhanalloh walhamdulillah, “Minta sama Allah ~kekuatan, makanya bisa senyum dan senang aja hari-hari, neng…” celetuknya kalau ditanya.
Aiiih duhai diri, terkadang hamba lupa akan keterlibatanMu di setiap detik kondisi, seluruh manusia di lingkungan sekitar adalah perantara untuk kian bersyukur dan bersabar menjalani ibadah keseharian di hadapanMU, kanan dan kiri terhampar pelajaran hidup nan berharga.
Bayiku sudah bisa menyeletuk, “Tapapa tapapa…”(sambil geleng-geleng &tersenyum), biasanya ia mengatakan ini ketika melihatku menangis, kami yang mendengarnya memaknai dengan ‘tidak apa-apa’. Seolah ia memberikan dukungan penuh, “no problem, tidak apa-apa, ummi…” di saat aku merindukan ombaynya (ombay= nenek, bahasa Komering, SumSel). Setiap kumulai menuliskan sesuatu, sejak maret 2015, biasanya terhenti dengan derasnya air mata, sebab setiap mengetikkan jemari selalu hadir ingatan tentang mamanda ; sang pembaca awal setiap tulisanku. Padahal justru diri ini lupa, beliau allahyarhamah sudah berpesan, “Tatkala suasana sedih, senang, duka, gembira, marah, kesal, minta sama siapa? Mintanya sama yang ngasih rasa, sama Allah ta’ala saja…Ketika gembira, minta sama Allah supaya tidak terlena dalam mengingatNya. Ketika sedih, minta sama Allah supaya tidak sesal berkepanjangan dan terjauh dari kufur atas nikmatNya…” kalimat indah mutiara ilmuNya.
Allahu Robbi, ampunilah hambaMu ini, faghfirlii…
Alhamdullillahilladzi hamdan katsiron thoyyiban mubarokan fiih kamaa yuhibbu robbuna wa yardho. Allahumma sholli ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Dengarkan bisikan sudut hati kita, sahabatku… La Tahzan, Innallaha Ma’ana, Ramadhan Kareem! []
(@bidadari_Azzam, KL awal Ramadhan 1437h)