Oleh: Fathimah Fakhrunnisa, SE
dedah1968@gmail.com
“Ular Sanca tidak berbulu
Sudah pasti bukan teman Kangguru
Wahai Corona cepatlah berlalu
Karena mamaku tidak cocok jadi guru”
BEBERAPA pekan terakhir beredar pantun serta meme serupa mengenai anak yang tidak suka diajar oleh ibunya. Para siswa dan ibu membagikan postingan tersebut karena sangat menggambarkan keadaan saat ini.
Para ibu yang terbiasa melimpahkan tanggungjawab mendidik kepada guru, kini harus memangku kembali tanggung jawabnya. Tidak hanya work from home, tugas sebagai mom from home pun menjadi peer saat pandemi corona melanda. Biasanya sekadar memastikan anak makan, uang jajan terpenuhi, fisik sehat, sekarang memastikan anak belajar dengan baik dan memahami materi menjadi tanggung jawab baru sang ibu.
Sayangnya ketidaksiapan kebanyakan ibu terlihat saat mom for home ini berlangsung.
Dilansir republika.co.id, para ibu mengeluhkan stres karena harus mengawasi anaknya dalam pembelajaran di rumah. Mesya seorang wali murid mengeluhkan, “Ini anak-anak belajar di rumah jadi orang tua yang sibuk. Aku stres banget nih jadi pengawas. Materinya banyak banget,”. Belum lagi, tugas yang menumpuk karena kebingungan guru dalam memberi pembelajaran online, menambah beban orang tua dalam mengajarkan anaknya di rumah.
Ditambah lagi, rupanya tidak hanya sang ibu, sistem pendidikan pun juga tidak siap menghadapi adanya kebijakan belajar di rumah ini.
.
Sebagaimana dilansir news.detik.com, KPAI menerima pengaduan sejumlah orang tua yang mengeluhkan anaknya stres karena mendapat banyak tugas setiap harinya. Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti menyebutkan, “Seiring dengan 14 hari belajar di rumah, ternyata tugas yang harus dikerjakan anak-anak mereka di rumah malah sangat banyak, karena semua guru bidang studi memberikan tugas yang butuh dikerjakan lebih dari 1 jam. Akibatnya, tugas makin menumpuk-numpuk, anak-anak jadi kelelahan,”.
Kasihan, murid yang selayaknya memiliki perasaan bahagia dalam belajar, malah sebaliknya. Apalagi murid saat ini belajar di rumahnya sendiri yang seyogyanya adalah home sweet home atau rumahku surgaku. Namun, bukannya bertambah bahagia dan semangat, para murid malah merasa stress dengan beban orang tua dan sistem pendidikan yang tidak tepat. Begitupun dengan orang tuanya, yang seharusnya seorang ibu merasa bahagia dapat menemani anaknya, malah stres dengan bebannya.
Jika kita telaah, ketidaksiapan ibu dalam mendidik anaknya adalah hasil dari ide kesetaraan gender yang terus digaungkan oleh feminis barat. Feminis barat terus menggaungkan agar ada kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki bekerja? Perempuan juga harus bekerja. Laki-laki sibuk mencari nafkah? Perempuan juga harus sibuk mencari nafkah. Padahal sudah jelas bahwa peran perempuan sebagai ibu di rumah dalam mendidik anaknya sangatlah penting.
Islam memandang seorang wanita bekerja hukumnya mubah. Artinya boleh-boleh saja selama tidak menyepelekan kewajiban lainnya salah satuhnya sebagai ummu wa rabatul bait. Namun, feminis memutarbalikkan konsep ini. Feminis menjadikan bekerja wajib dan urusan rumah bisa didelegasikan pada yang lain.
Padahal, keberadaan ibu sebagai pendidik dan guru pertama anak sangatlah penting. Ibulah yang menjadi pembentuk karakter pertama seorang anak. Dari seorang ibulah lahir anak-anak hebat yang tidak hanya pintar akademik, namun juga berkepribadian islam dan berakhlak mulia.
Kembalinya ibu ke rumah, mom from home, atau lebih tepatnya mom at home, bisa menjadi sebuah momen timbal balik bagi kita, para ibu. Inilah momen bagi kita untuk melaksanakan kewajiban dan tanggungjawab kita dalam mendidik anak-anak kita.
Mari kita rangkul anak kita, ajak mereka mengobrol, bercanda, berdiskusi dan bantu mereka dalam memahami pelajaran. Jangan lupa, tanamkan pula nilai-niai islam dengan mengajaknya ibadah bersama, membaca siroh, menonton ceramah, bercerita nabi, sebagai bekal mereka hidup di luar sana nantinya. Jadikan momen karantina ini sebagai sarana mendekatkan diri kita dengan anak-anak kita. []
Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi di luar tanggung jawab redaksi.