Oleh: Azeza Ibrahim Rizki
Aktivis Kajian Zionisme Internasional
PERADABAN Barat memiliki sejarah yang cukup panjang. Namun peradaban yang tengah mengangkangi dunia dengan pongah rupanya tumbuh dibantu oleh stimulus yang absurd.
Ketika sekularisme dan liberalisme berjaya di era Renaissance lewat runtuhnya kuasa gereja, Barat, sebagaimana dijelaskan Jostein Gaarder, (penulis novel Dunia Sophie) memasuki tahapan menjadi peradaban “Dewasa”. Dan sebagaimana manusia yang memasuki masa transisi dari kanak-kanak ke dewasa, Barat sebagai peradaban pun menghadapi krisis identitas.
Remaja yang mengalami krisis identitas seringkali berkutat dengan pertanyaan “siapa saya?”. Manusia-manusia yang hidup di masa “remaja” peradaban Barat pun mengajukan pertanyaan serupa, “siapa kami ini?”.
Jika di masa sebelumnya manusia-manusia Barat mendapat identitas sebagai ciptaan Tuhan, maka masyarakat Barat yang menjadi “dewasa” dengan mencampakkan Tuhan ini tidak lagi percaya bahwa mereka adalah keturunan Adam dan Hawa. Bible yang mereka tolak lewat nalar karena kelewat rancu, gagal menjawab hakikat jati diri manusia-manusia Barat.
Kecewa terhadap Kristen membuat Barat bersikap apatis terhadap semua agama. Tanpa tuntunan wahyu akhirnya sandaran mereka tinggalah panca indra, akal dan nalar.
Pada akhir abad ke 17 sampai abad ke 18, pencarian jati diri ini mulai menemukan bentuknya saat manusia mulai dianggap sebagai species bernama homo sapiens. Pesatnya perkembangan ilmu biologi yang digagas peneliti naturalis seperti John Ray (1627-1705), Carolus Linnaeus (1707-1778), dan Comte de Buffon (1707-1788) makin menggeser identitas manusia dari ciptaan yang mulia menjadi bagian kecil dari kerajaan hewan. Bahkan Carolus Linnaeus menempatkan manusia dan monyet dalam satu ordo primata . Langkah lebih berani diambil Comte de Buffon dengan mengatakan bahwa manusia secara biologis berkerabat dengan kera.
Penemuan identitas manusia Barat sebagai kerabat monyet yang kemudian dijustifikasi lewat teori evolusi, kemudian hari terbukti mampu mempengaruhi tatanan dunia.
Monyet Sebagai Inspirasi Barat yang Rasis dan Imperialis
Ide kaum naturalis bahwa mungkin monyet berkerabat dengan manusia disambut hangat oleh para penggagas teori evolusi. Selain membentuk dasar teori evolusi sendiri, ide kekerabatan manusia dengan monyet lantas mengembangkan ide lain.
Ide tersebut adalah, “Jika monyet adalah kerabat manusia, maka tentunya manusia pun bermacam-macam jenisnya sebagaimana monyet yang juga beragam jenisnya”. Ketika perkembangan sains justru merendahkan manusia sebagai bagian dari hewan, segera saja masyarakat Barat mencari dalih agar tetap dihormati walau statusnya tak lebih dari kerabat monyet.
Kasus manusia Piltdown adalah contoh kasus pergulatan emosional dari wangsa keturunan monyet yang tetap ingin dihargai. Lewat pemalsuan fossil tengkorak yang diklaim sebagai manusia pertama, masyarakat Barat mendapat legitimasi terhormat, bahwa mereka adalah keturunan monyet yang terbaik.
Penghormatan sebagai keturunan monyet terbaik tampaknya belum memuaskan masyarakat Barat yang haus pengakuan. Diskriminasi rasial pun muncul.
Lewat subtitle buku “The Origin Of Species” karya Charles Darwin yang berbunyi “The Preservation of Favoured Races in the Struggle for Life” (Melestarikan Ras Terpilih dalam Perjuangan untuk Hidup), Barat menjewantahkan ide superioritas kulit putih dan merendahkan golongan lain sebagai ras terbelakang.
Semangat reconquista Barat seolah menemukan bahan bakar baru saat superioritas kulit putih mendapat pembenaran saintifik. Dan dengan bekal rasisme inilah imperialisme Barat berjalan .
Jan Nederveen Pieterse, seorang professor sosiologi dari Universitas California memberi statement yang menarik terkait hubungan antara rasisme dan imperialisme:
“Racism is the psychology of imperialism, the spirit of empire, because racism supplies the element that makes for the righteousness of empire. Hence racism is not simply a by product of empire, but… part of intestines of empire.”
(Rasisme adalah psikologi dari imperialisme, semangat sekaligus jiwa dari imperialisme, sebab rasisme memberi element “kebenaran” dan “keadilan” bagi imperialisme. Oleh karena itu, rasisme bukan sekedar produk dari imperialisme, tapi bagian dari jeroan imperialisme.)
Siapa yang menyangka, berawal dari ide bahwa manusia adalah kerabat monyet, Barat sebagai peradaban bangkit berjaya dengan menjajah dunia lewat imperialismenya. Dalam sejarah manusia, peradaban Barat adalah satu-satunya peradaban yang menggunakan dalil sains untuk membenarkan penjajahan dan penindasan.
Era Postmodern, Era Monyet Pintar
Ketika Barat memasuki era postmodern, hubungan antara manusia dan monyet dalam realitas tidak banyak berubah. Walau masih dianggap kerabat manusia, monyet-monyet masih berstatus hewan.
Sementara dalam dunia ide, hubungan manusia Barat dan monyet memasuki tahap baru. Lewat film adaptasi dari sebuah novel, Amerika memperkenalkan film Planet of The Apes pada tahun 1968. Walau mungkin bukan yang pertama, film ini menyuguhkan sebuah ide tentang “peradaban” monyet.
Ide nyeleneh ini tampaknya mendapat sambutan baik dari masyarakat Barat sendiri. Film Planet of The Apes pun menjadi frachise yang menghasilkan banyak reboot, remake, dan sekuel.
Jika dicermati lebih dalam, fiksi seperti Planet of The Apes tidaklah muncul dari khayalan kosong semata. Konsep evolusi Darwin bisa dibilang menjadi dasar ideologi dari franchise ini. Planet of The Apes sendiri, jika ditinjau dari sisi lain, dapat disebut sebagai self fulfilling prophecy terkait teori evolusi. Ketika alam belum menunjukkan tanda-tanda “perubahan” atas monyet modern, tampaknya Hollywood perlu “membuktikan” evolusi monyet lewat film-film propagandanya.
Selain franchise film Planet of The Apes, di tahun 2006 kita dapati serial animasi Curious George yang juga kental dengan nuansa darwinisme nya. Jika franchise Planet of The Apes menyasar kalangan dewasa, Curious George dirancang sedemikian rupa untuk anak-anak agar mereka terbiasa dengan tema evolusi sejak dini.
Dus, di era postmodern yang rusak sistem nilainya, monyet perlahan-lahan dicitrakan menjadi semakin manusiawi.
Monyet dan Kiamat Sebagai Stimulus Semangat Hidup Barat
Jika di masa Renaissance Barat galau tentang identitas dirinya, kini di era postmodern, mereka kembali galau terkait masalah eksistensi dan tujuan hidup. Kegalauan ini mudah dipahami jika kita merujuk kepada identitas diri yang mereka sematkan sendiri.
Ketika ilmuan Barat bermufakat bahwa manusia adalah kerabat dekat dari monyet, sadar tidak sadar mereka telah menjadikan tujuan hidup manusia sama dengan tujuan hidup binatang. Akibatnya, terjadi pergulatan konsepsi yang kuat dalam benak masyarakat Barat. Pergulatan ini terjadi karena akal budi manusia yang luhur tak mungkin didamaikan dengan sifat asasi hewan yang tidak mengenal peradaban.
“Jika kita keturunan hewan, mengapa tujuan hidup kita harus berbeda dengan hewan?”, “Apa gunanya budi pekerti jika kita sejatinya adalah hewan?”, “apakah manusia lebih baik daripada hewan?”. Pertanyaan-pertanyaan semacam inilah yang membuat galau masyarakat Barat. Walau tampak luaran mereka maju pesat, sejatinya isi epistemologi mereka sedang mengalami krisis berat.
Kegalauan eksistensi dan tujuan hidup ini membuat masyarakat Barat terjebak dalam dekadensi moral, ambiguitas hukum, dualisme, dan kerancuan standart ganda. Banyak kemudian yang terjebak pada tindakan ekstrim, maraknya penembakan liar yang dilakukan oleh warga sipil di Amerika adalah salah satu contoh.
Masyarakat galau semacam ini memerlukan stimulus baru agar hidup mereka lebih terarah. Disinilah media memainkan perannya untuk mengontrol isu agar “semangat” hidup masyarakat Barat menjadi lebih terarah.
Dalam kurun satu dekade terakhir, hampir setiap tahunnya kita saksikan Hollywood hampir selalu merilis film-film terkait “akhir dunia” alias kiamat. Dari tinjauan psikologi komunikasi, film-film ini selain berfungsi sebagai hiburan, ia juga memiliki nilai tambah berupa revitalisasi semangat hidup.
Ketika masyarakat Barat mengalami krisis semangat hidup akibat kekacauan pola fikir, media menawarkan semangat “hidup baru” lewat rekonstruksi yang diinspirasikan lewat film-film berbau kiamat. Masyarakat Barat diajari menghargai hidup lewat ketakutan dan ketegangan yang disuguhkan oleh film-film tersebut.
Yang menarik dari film-film berbau apocalypse ini adalah remake terbaru dari Planet of The Apes, yaitu Dawn of The Planet Of The Apes. Walau idenya masih berkutat disekitar punahnya manusia secara perlahan dan berjayanya peradaban monyet, Dawn of The Planet of The Apes memiliki banyak alegori yang mencerminkan posisi peradaban Barat ditengah percaturan politik dunia.
Sebagai sekuel dari Rise of The Planet of The Apes, film Dawn of The Planet of The Apes ingin menegaskan bahwa semangat evolusi adalah bagian yang tak terpisahkan dari peradaban Barat.
“I always think ape is better than human, I see now how like them we are.”
– Caesare (Dawn of The Planet of The Apes)
Alegori dari redupnya peradaban manusia akibat rekayasa virus mematikan (namun membuat monyet lebih cerdas) adalah gambaran krisis dari peradaban Barat saat ini. Dawn of The Planet of The Apes menunjukkan pada kita bahwa sumber daya terakhir manusia saat itu hanyalah tumpukan persenjataan dan amunisi.
Sedangkan alegori dari naiknya peradaban monyet adalah penggambaran dari mulai munculnya peradaban baru yang menyaingi peradaban Barat. Kita tentu masih ingat bahwa Barat memiliki panggilan rasis untuk orang Arab dengan sebutan dessert monkey (monyet padang pasir), perlahan, apa yang dulu mereka sebut sebagai dessert monkey mulai menunjukkan eksistensi yang signifikan.
Selain masih memelihara semangat rasisme secara tersembunyi, film ini juga menyuguhkan bahwa pemicu perang adalah dari pihak monyet yang merupakan alegori peradaban baru. Pengkhianatan sosok Koba dalam film ini tampak terlalu dipaksakan demi menjaga citra peradaban Barat yang mulai runtuh itu.
Pada akhirnya, film Dawn of The Planet of The Apes tidak hanya menjadi inspirasi bagi masyarakat Barat secara umum, tapi juga bagi para pemuja evolusi dan para pecinta perang. Karena dalam setiap hal, termasuk komoditas hiburan, pasti ada ideologi yang menjadi dasarnya. []