SAYA membayangkan, dua anak usia SMP itu melesat, membeset jalanan sore yang licin karena gerimis kecil. Keduanya tidak mengenakan helm. Tak pula berjaket. Dua bersaudara. Sepupu, katanya. Satu perempuan. Satu lelaki.
Jalanan yang mulus, membuat siapapun tergoda untuk gas pol. Apalagi anak-anak tanggung yang emosinya masih sangat belum stabil.
Sebelah mereka, satu truck pengangkut batu dan pasir atau barang-barang berat, terparkir. Depannya, sebuah L300, dan tampaknya dengan kecepatan tinggi. Mungkin di atas 60 atau 70. Dua anak tanggung itu kagok. Motor segarang balapan, dan rem tidak kuasa menahan laju pesat.
Keduanya terpapar. Motor terbanting hingga berjarak 15 meter, namun tak rusak. Hanya tergeletak dengan roda yang masih berputar semakin lama semakin lemah. Belum ada plat nomor. Motor baru. Kedua anak terbaring di jalanan, dan orang-orang menjerit, mulai keluar dari rumah dan warung namun tak kuasa memberi bantuan. Satu tangan dari anak itu menggapai, meregang untuk terakhir kalinya.
Saya memalingkan muka. Apa perasaan orangtua mereka sekarang? Tentu tak sama dengan ketika mengizinkan anak-anak bau kencur mengendarai motor di jalanan bebas seperti ini. Tubuh anaknya saja masih tidak lebih besar daripada motornya itu sendiri.
Selasa sore itu mendung. Pasawahan Jawa Barat terasa muram. Saya hanya berjarak mungkin hanya kurang dari 30 detik dari kejadian tersebut.
—–
PS. Semoga menjadi pelajaran bagi orangtua atau orang dewasa manapun untuk memberi izin kepada anaknya mengendarai motor. Semoga kedua anak mendapatkan tempat yang baik di sisi-Nya. []
Kirim RENUNGAN Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word.