BEBERAPA hari lalu, istri saya nanya: “Ayah tetap masih belum berubah pikiran ga mau ngajarin aku naik motor?”
Demi mendapat pertanyaan itu, saya mengernyit, busyet dah ah, itu kan satu pertanyaan yang zaman taun kapan kita bahas.
Alih-alih jawab, saya balik nanya ke dia. “Emang sekarang kamu udah butuh naik motor sendiri gitu?”
“Ya ga juga sih …”
BACA JUGA:Â Â 6 Pesan Ayah pada Putrinya
“Apakah selama ini kamu pernah mendengar aku mengeluh kalau harus anterin kamu kesana kemari?”
Ketawa.
“Apakah,” saya meneruskan, “kamu melakukan semua perjalanan kamu, apapun dan kemanapun itu, yang memerlukan aku, dalam rangka bukan satu pun kebaikan?”
Dia ga jawab. Nyengir. Kayaknya sih. Soalnya sih, waktu itu percakapan terjadi di perjalanan sambil motoran gitu.
“Ada banyak cara seorang lelaki memanjakan istrinya. Ada yang menyerahkan sepenuhnya gajinya setiap bulan. Ada yang beliin barang-barang mewah. Ada yang ngajak makan atau kemping kemana gitu. Aku hanya bisa melakukan seperti ini padamu….
BACA JUGA:Â Ngomel
“Dan aku berharap, sungguh, bahwa aku akan mendapatkan sedikit saja, ya sedikit saja, kebaikan yang kau lakukan itu dengan mengantarmu ke sana ke mari ini… Aku melakukannya dengan ikhlas, dan selama itu, semoga kau tak pernah sekalipun mendengarkan aku mengeluh. Dan aku melakukan itu semua, juga karena suamimu … ”
Ga ada jawaban. Tapi saya tahu, ada yang hangat menyentung punggung saya. []