Muadz bin Jabal bin Amr bin Aus al-Khazraji, atau “Abu Abdurahman” adalah salah seorang sahabat nabi, termasuk golongan Anshar yang pertama masuk Islam. Muadz merupakan pemuda yang memiliki badan tegap dan gagah. Ia memeluk Islam sejak berusia 18 tahun.
Dua hari berturut-turut Muadz bermipi, “Wahai Muadz, dapatkah kau lelap tertidur sedangkan Rasulullah sudah berada di dalam tanah?” Muadz seketika itu terbangun sembari menjerit hingga suaranya memecah keheningan malam di negeri Yaman. Keringat dingin bercucuran. Jantungnya berdegup kencang. Untuk kedua kalinya suara itu mendatanginya dalam mimpi.
Muadz bergumam lirih dalam hatinya, “Ya Rasulullah, apa yang terjadi kepadamu?”
BACA JUGA: Uzlah Rasulullah di Gua Hira’
Keesokan harinya, orang-orang menemui Muadz. Mereka bertanya apa yang terjadi kepadanya semalam.
Muadz menjelaskan isi mimpinya itu kepada orang-orang, “Dua hari berturut-turut aku mendapatkan mimpi yang sama, namun aku tidak mengerti apa maksud mimpiku. Mimpi itu membuatku terkenang Rasulullah. Berikan Al-Qur’an kepadaku, karena Rasulullah selalu membacanya ketika beliau mendapat mimpi yang sulit dipahami.”
Seseorang mengulurkan Al-Qur’an kepada Muadz. Ia pun membukanya dan tepat surat az-Zumar ayat 30 yang artinya, “Sesungguhnya kamu akan mati’ dan sesungguhnya mereka akan mati.” Mu’adz jatuh pingsan setelah membacanya.
Setelah sadar, ia membuka Al-Qur’an kembali. Ayat yang terlihat olehnya adalah surat Ali Imran ayat 144, “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang. Maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur..”
Usai membaca ayat ini. Mu’adz menjerit. “Wahai, Abul Qasim!” Hatinya semakin runyam. Berikutnya ia berkata kepada orang-orang, “Jika apa yang kulihat ini benar. kita kehilangan pemimpin kita, saudara-saudaraku. Betapa sedihnya berpisah dengan beliau….”
Dan hari itu, Mu’adz memutuskan untuk kembali ke Madinah. Mimpi-mimpi itu seperti panggilan dari sang kekasih yang dicintainya; Muhammad al-Musthafa.
BACA JUGA: Merah Putih adalah Bendera Rasulullah SAW
Tiga hari sudah Mu’adz menempuh perjalanan. Sayup-sayap, ia mendengar seseorang melantunkan ayat suci Al-Qur’an. Ayat yang dibaca orang itu adalah surat Ali Imran: 185 yang artinya, “Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan hanya pada hari Kiamat sajalah diberikan balasan yang sempurna. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga. maka dia mendapatkan kemenangan. Dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya.”
Hati Mu’adz bergetar. Perasaannya tak nyaman. Ia mendekati orang itu dan bertanya,”Wahai Fulan, bagaimanakah kabar Rasulullah?”
Orang itu menjawab, ”Rasulullah telah meninggal dunia.”
Mu’adz tak kuasa menahan rasa sedih. Mimpi-mimpinya semakin nyata. Rupanya mimpi itu adalah kabar dari-Nya, dan bukan bisikan setan semata. Ia jatuh pingsan. Setelah ia sadar, orang itu menyerahkan sepucuk surat dari Abu Bakar untuknya dengan stempel Rasulullah. Air mata Mu’adz bercucuran saat melihat stempel itu. Wajah teduh Rasulullah terbayang dalam ingatnya. Kerinduan kepada rasul tercinta semakin terasa.
Menjelang Subuh, Mu’adz tiba di Madinah dan bertemu dengan para sahabat. Terdengar olehnya suara azan berkumandang.
Asyhadu alla ilaha illallah….”
Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah…,” sambung Mu’adz lirih. Air mata mengalir kembali. Dadanya terasa sesak. Rasa rindu dan luka menyatu hingga tak memberinya ruang untuk berdiri tegak. Mu’adz ambruk kembali.
Salman al-Farisi yang berada di sampingnya turut berkaca-kaca.
“Wahai, Bilal,” ucap Salman, “serukan azan di telinganya agar ia Sadar kembali. Ia adalah Mu’adz bin Jabal yang baru tiba dari Yaman.”
Bilal mendekati Mu’adz, lalu berbisik kepadanya. “Bangunlah, Muadz. Aku mendengar Rasulullah mengirimkan salam kepadamu”
Mu’adz tersadar dan berteriak-teriak dengan keras. Sejuta penyesalan bertumpuk-tumpuk dalam hatinya lantaran tak sempat menjenguk dan melihat Rasulullah untuk yang terakhir kalinya. Mu’adz menangis pilu hingga basah pipi dan jenggotnya.
“Wahai Mu’adz, kami merasakan kepedihanmu, marilah aku antarkan kau kepada ahli bait untuk mengobati rasa rindumu kepada Rasulullah,” ucap Bilal.
Mu’adz menurut. Bilal lantas mengantarnya kepada Aisyah yang tengah berada di rumah Fatimah. Melihat keduanya, lagi-lagi Mu’adz tak kuasa menahan kedua kakinya untuk tegak berdiri. Segala yang berhubungan dengan Rasulullah membuatnya luluh. Ia kembali luruh. Telimpuh dalam kesedihan.
Ketika ia sadar kembali, Fatimah berkata, “Wahai Mu’adz, Rasulullah pernah bersabda, ”Sampaikan salamku kepada Mu’adz. Kabarkan padanya kelak ia akan menjadi imam para ulama pada hari Kiamat!”
BACA JUGA: Belajar Menjadi Suami Romantis dari Rasulullah
Air mata Mu’adz bercucuran. Kekasih yang dicintainya itu tak pernah melupakannya. Meski Rasulullah jauh darinya, beliau tetap mengingatnya dan mengucapkan namanya.
“Wahai Rasulullah, alangkah pedihnya perpisahan ini,” bisik Mu’adz sembari melangkah menuju makam Rasulullah. Hanya pusaralah yang ia dapati. Madinah yang bercahaya terasa meredup tanpanya lagi.
Sepeninggal Rasulullah, Mu’adz bin Jabal melanjutkan hidupnya untuk berdakwah. Pada tahun 18 H, ia harus kembali kepada Allah dalam usia 33 tahun. Ia menghembuskan nafas terakhirnya di Urdun setelah sebelumnya berucap, “Ya Allah, Engkau Mahatahu. Tidaklah aku menyukai dunia untuk membangun istana dan mengalirkan Sungai. Aku mencintai dunia karena tiga hal saja! yaitu puasa di siang hari, Qiyamul Lail di malam hari, dan berkumpul dengan para alim di majelis zikir. Dulu aku sangat takut kepada-Mu, namun hari ini aku ingin bertemu dengan-Mu….” []
Sumber: 77 Cahaya Cinta di Madinah/ Penulis: Ummu Rumaisha/ Penerbit: al-Qudwah Publishing/ Februari, 2015