PERNIKAHAN pasangan beda agama merupakan sebuah polemik. Islam sendiri melarang hal itu.
Sepasang insan yang ingin mengikat tali pernikahan seharusnya ada dalam satu keyakinan. Maka, tak jarang sebelum menikah, pasangan yang berbeda agama biasanya saling mempelajari agama masing-masing pasangannya hingga memutuskan menjadi mualaf atau sebaliknya, menjadi murtad.
BACA JUGA: Apakah Seorang Mualaf Langsung Diajarkan Syariat Islam?
Hal ini pun tak serta merta berjalan mulus. Tak jarang seseorang yang telah menjadi mualaf dan ingin menikah dengan seorang muslim justru terbentur restu dariorang tuanya yang nonmuslim. Nah, bagaimana jika hal seperti itu terjadi?
Bolehkah mualaf tersebut menikah tanpa restu? Atau, bolehkah dia menyembunyikan status pernikahannya untuk meredam permusuhan yang mungkin terjadi dengan keluarganya?
Dikutif dari laman Islamqa, terkait pertanyaan serupa, jawabannya di dasarkan pada hukum fiqih. Jika seorang wanita masuk Islam sedangkan walinya tidak masuk Islam, maka mereka tidak dapat menjadi wali baginya.
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Adapun orang kafir, tidak dapat menjadi wali bagi wanita muslimah walau bagaimanapun, berdasarkan ijmak para ulama. Di antara mereka adalah Malik, Syafii, Abu Ubaidah dan Ashhaburra’yi. Ibnu Munzir berkata, ‘Telah sepakat dengan pendapat ini orang yang kami ketahui dari ahli ilmu.” (Al-Mughni, 9/377)
Berdasarkan hal tersebut, maka tidak ada hak wali seorang bapak nonmusim bagi anaknya yang muslim dalam masalah nikah. Perwalian itu pindah kepada kerabat dari ashabah yang terdekat dari jalur bapak, seperti kakek, saudara laki-laki dan paman. Jika tidak ada kerabat yang muslim, maka dapat diwakilkan dengan wali hakim.
BACA JUGA: Menikah Tanpa Restu Orang Tua, Bolehkah?
Jika keluarga yang nonmuslim tersebut belum dapat menerima rencana pernikahan dan ada kekhawatiran menikah tanpa restu, maka pernikahan boleh dilakukan tanpa sepengetahuan kedua orang tua dan resepsi pernikahan bisa ditunda.
Kapan pun pihak keluarga menerima pernikahan itu, maka resepsi bisa dilakukan atau diulang di hadapan mereka secara simbolik agar kerusakan, seperti terputusnya silaturrahim, atau reaksi negative mereka terhadap Islam dapat dihindari. []
SUMBER: ISLAMQA