Oleh: Hidayah Hariani (16530028)
Mahasiswi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir/B, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
DALAM perkembangan tradisi keilmuan, terdapat ilmuan barat yang mempunyai concern terhadap dunia Timur dikenal sebagai orientalis. Kaum orientalis ini mengkaji dunia Timur (termasuk Islam) berdasarkan sudut pandang Barat. Kajian orientalisme terhadap Islam tidak hanya terbatas pada satu bidang saja.
Menurut hemat penulis, hal semacam ini termasuk sebuah gagasan fantastis dan imajiner bagi kaum orientalis yang di tempa dengan semangat apolegetik. Sebab mereka ingin membuktikan bahwa kaum Muslimin secara politik lebih superior, tetapi secara religi memiliki keyakinan penuh bid’ah yang sangat inferior.
Dalam mengkritik dan mendekonstruksi Bible menjadi primadona di Barat, orientalis telah berhasil mendulang sebagai prestasi akademis yang diakui. Dari berbagai cendekiawan, scientis, dan filosof yang berbondong-bondong menyumbangkan karyanya dalam bidang ini. Kaum orientalis menganggap bahwa melakukan penelitian dan pengkajian terhadap Al-Qur’an merupakan tantangan baru.
Pun mereka melakukan penelitian mulai dari Al-Qur’an, tentang hadits Nabi Muhammad saw, periwayatannya sampai riwayat hidup Nabi Muhammad, saw dan Islam. Para orientalis mengkaji melalui aspek tafsir, pengambilan hukum dan juga orisinalitas teks Al-Qur’an. Khusus dari aspek yang terakhir disebutkan muncul seorang tokoh orientalis, yaitu Theodor Noldeke. Dalam pembahasan yang singkat ini, penulis ingin membahas tentang pemikiran Theodor Noldeke dalam studi Al-Qur’an.
Theodore Noldeke adalah seorang tokoh orientalis yang berasal dari Jerman. Ia memiliki reputasi besar dalam studi Al-Qur’an. Ia lahir pada tanggal 2 Maret 1837 di kota Hamburg, Jerman. Pendidikan tingginya ia tempuh di Universitas Gottingen dengan bekal penguasaan bahasa Latin dan Bahasa Semit. Ia belajar bahasa Semit kepada salah seorang sahabat ayahnya yang bernama H. Ewald dengan materi bahasa Arab, Persia beserta sastranya.
Studinya terhadap bahasa-bahasa semit ia lanjutkan dengan mempelajari bahasa Suryani kepada H. Ewald, dan bahasa Arami, yang ia gunakan dalam mengkaji kitab-kitab suci, kepada Bartheau. Kemudian ia juga mempelajari bahasa Sansekerta kepada Benfay dan ia teruskan saat menjadi Profesor di Universitas Kiel pada tahun 1864-1872.
Ia mempunyai motivasi tinggi terhadap studi al Qur’an. Hal ini terbukti dengan ia mengikuti perlombaan dalam penelitian mengenai sejarah al Qur’an. Tawaran hadiah sebesar 1.333 lebih Franc Prancis menjadi motivasi awal mengikutsertakan karyanya dalam lomba penulisan artikel yang diadakan oleh Akademi Inskripsi dan Sastra Paris.
Ia berangkat dalam penelitiannya dengan asumsi bahwa al Qur’an bukanlah kitab suci yang orisinal bagi agama Islam. Al Qur’an hanyalah sebuah kitab hasil penduplikatan Muhammad dari kitab-kitab terdahulu dan menuduh Muhammad hanyalah seorang impostor dan bukan seorang nabi, seperti yang selama ini diyakini umat muslim.
Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa motivasi yang digunakan Noldeke dalam penelitiaannya adalah dengan menggunakan pendekatan kritik, dengan maksud ingin menyatakan bahwa semua kitab suci yang ada adalah palsu, sedangkan yang benar adalah kitab suci agamanya sendiri yaitu Bible. Hal ini tidak mengherankan karena semua kalangan orientalis mengkaji Islam dengan dasar kebencian dan dendam, sehingga itu yang menjadi landasan berfikir mereka dalam melakukan serangan terhadap benteng keyakinan umat Islam yang disponsori oleh Gereja dan Universitas Barat.
Al-Quran merupakan kitab suci agama Islam yang menjadi rujukan dan standar utama dan pertama di dalam Islam. Oleh umat Islam, al-Quran telah diyakini orisinalitas, kebenaran, dan keterpeliharaannya. Al-Quran disepakati sebagai landasan dan sekaligus pedoman hidup di sepanjang sejarah Islam. Akan tetapi, Theodore Noldeke, salah satu orientalis yang menggugat orisinalitas dan otentisitas al-Quran dengan harapan untuk mengurangi kekuatan dan peran dalam masyarakat. Theodore Noldeke menggambarkan al-Quran sebagai duplikasi dari kitab-kitab yang sudah ada sebelumnya dengan melacak hubungan dan analisis semantik mufradat al-Quran dan kitab-kitab sebelumnya
Abrahan Geiger mengatakan bahwa Al-Quran terpengaruh oleh agama Yahudi dalam menyangkut hal keimanan, peraturan hukum, moral serta pandangan kehidupan. Dalam hal ini, Theodore Noldeke mengembangkan pemikiran dari Abraham Geiger. Pun Noldeke mengemukakan pendapatnya melalui pendekatan krtitik sejarah (historical criticism).
Pendekatan ini tertuju kepada data kebenaran informasi mencakup perbandingan antara sejarah dan legenda, antar fakta dan fiksi, antar realitas dan mitos. Indikatornya bisa jadi kontradiksi dari sumber informasi dengan sumber lainnya, variasi dan inkonsistensi berbagai versi meskipun berasal dari sumber yang sama. Pada dasarnya hampir mendekati metodologi filologis. Seperti Theodore. Noldeke dalam Geschicte des Qorans dengan edisi Arab bertajuk Tarikh al-Quran, yang mendaku-dalih bahwa cerita-cerita para Nabi, segenap ajaran dan pewahyuan dalam al-Quran berasal dari ajaran murni Yahudi.
Theodor Noldeke, ingin membuktikan bahwa apa yang diyakini umat Islam selama ini adalah salah. Ia meyakini bahwa Muhammad bukanlah seorang yang ummiy, melainkan ia sangat akrab dengan seni menulis yang saat itu dianggap sebagai derajat orang yang berilmu. Maka dari itu, Muhammad mampu untuk menduplikasi agama-agama terdahulu. Ia menyatakan bahwa ajaran yang ia bawa bukanlah merupakan produk dirinya sendiri, melainkan adalah produk yang ia ambil dari Kristen dan Yahudi.
Predikat ummiy yang cocok untuk Nabi Muhammad, menurut Theodore Noldeke ialah tidak mengenal kitab-kitab suci terdahulu kecuali sedikit (hanya melalui keterangan wahyu). Ketidakpahaman Nabi Muhammad di buktikan pertama kali oleh Malaikat Jibril di gua Hira’. Dimana Nabi di paksa, dengan tegas Nabi menjawab ما انا بقارئززز .
Muhammad sengaja tidak mau dianggap sebagai panutan yang mampu membaca dan menulis. Maka beliau mewakilkan kepada para sahabatnya untuk membaca al-Qur’an dan risalah-rislahnya. Muhammad juga sama sekali tidak pernah membaca kitab-kitab suci terdahulu dan informasi-informasi penting yang lainnya. Pendapat ini juga didukung oleh Muhammad ‘Abid al-Jabiri, menurutnya kata Ummiy adalah kebalikan dari “ahl al-kitab”. “ummiyyyun” ditujukan bagi orang-orang arab yang tidak faham terhadap kitab taurat dan injil, sebagaimana disebutkan dalam beberapa ayat (QS. Al-Baqarah: 78; Ali-Imran: 20 dan al-Jumu’ah: 2).
Pun seni menulis pada masa itu sudah menjadi hal yang banyak di masyarakat Arab menurut Theodore Noldeke. Mereka menggunakannya dalam menuliskan hal-hal yang penting dalam sosial mereka. Perlu diketahui, bahwa nabi Muhammad belum mendapatkan wahyu kecuali saat umurnya mencapai 40 tahun. Dan selama itu beliau tinggal di Makkah, yang saat itu merupakan sebuah desa terpencil, dan penduduknya sebagian besar buta huruf, dan sangat jarang sekali ada yang membaca sebuah buku atau menulis tulisan. Sedangkan kemampuan menulis hanya terdapat pada beberapa pembesar dan penguasa Makkah waktu itu.
Kemudian fakta lainnya adalah, bahwa dakwah Islam mempunyai tujuan untuk merubah system masyarakat dalam hal kaitannya dengan aqidah, pemikiran, dan kemasyarakatan. Maka dari itu yang menjadi musuh dakwah Muhammad adalah mereka yang termasuk para pembesar dan penguasa, sedangkan pengikutnya adalah para masyarakat biasa.
Maka, jika Muhammad bisa membaca dan menulis, pastilah para pengikutnya adalah para pembesar-pembesar tersebut, karena Muhammad dianggap sebagai orang yang sederajat dengan mereka. Dengan fakta ini, bisa dikatakan pula, apabila al Qur’an merupakan karangan Muhammad, maka akan banyak sekali muncul kitab-kitab semisal pada masa itu, karena asumsinya bahwa al Qur’an merupakan buatan manusia yang sama dengan yang lain, dan pada waktu itu sya’ir menjadi tren yang digemari banyak kalangan. []
OPINI ini adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim OPINI Anda lewat imel ke: redaksi@islampos.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.