Oleh: Mahmud Budi Setiawan
Peserta Pendidikan Kaderisasi Ulama Universitas Darussalam Gontor
JIKA kita masih diberi kesempatan hidup lagi, dari kematian kecil – tidur -, apa yang akan dilakukan? Masihkah tetap acuh dan semena-mena menggunakan kenikmatan besar itu? Padahal kita tidak tahu dan tak bisa menjamin apakah hingga pada detik yang akan datang kita masih tetap hidup.
Nikmat Allah SWT yang dikaruniakan kepada kita sungguh tak terkira sedangkan kesyukuran yang diekspresikan kita sama sekali belum sebanding dengan nikmat itu. Kita sudah paham dan tahu bahwa bila bersyukur Allah akan menambah nikmat, bila kufur siksa-Nya sungguh sangat pedih.
Ironisnya, ayat itu masih dijadikan sebagai “museum sejarah” yang tersimpan pada otak kita. Ia tidak bisa menggugah dan membangunkan kesadaran hati kita. Kita secara adil diberi kesempatan dan waktu yang sama, tapi sekali lagi itu hanya menjadi ‘aksesoris’ bagi kita. Lagi-lagi kita tak mampu menata, mengatur dengan kegiatan-kegiatan yang mengantarkan kita pada kesyukuran.
BACA JUGA: Muhasabah dan Rukun pada Diri Sendiri
Mungkin di depan umum kita berteriak-teriak lantang menyerukan: “Mari kita bersyukur. Mari tinggalkan kekufuran”. Sedangkan diam-diam dalam hati kita mentertawakan ucapan itu. Kita sebenarnya tak sungguh-sungguh serius mengamalkan isi kata-kata itu. Kita secara tak sadar sebenarnya sedang membuat lelucon yang sama sekali tak lucu.
Mungkin kita tak ingat dan tak sadar bahwa perbuatan kita itu akan menjadi bumerang bagi masa depan akhirat kita, namun sekali lagi kita mengacuhkannya. Kita ini adalah manusia yang punya tradisi sadar ketika kepepet; punya budaya ingat ketika sudah terpaksa; punya budaya insaf ketika sudah tertimpa mushibah; punya kebiasaan dzikir, kalau ditimpa bencana.
Kita masih belum lulus-lulus menjadi manusia seutuhnya, apalagi khalifah. Kita habiskan waktu untuk meng-ghibahi orang; mencari-cari kesalahan orang; memfitnah, menuduh, me-faith a comply, memojokkan, dan berbagai pekerjaan negatif lainnya. Sehingga ketika kita melihat orang lain bahagia, kaya, kecukupan, cermin batin kita cendrung memantulkan suudzan-suudzan. Ada orang punya mobil, kita bilang: Oh itu hasil korupsi. Ada orang punya rumah mewah, kita bilang: alhah paling-paling hasil mendzalimi orang lain.
Allah memberikan kita pikiran, memberikan kita akal tapi kita tak sungguh-sungguh menggunakannya. Kita masih cendrung la`ibun wa lahwun (bersenda gurau). Padahal kalau kita mau bercermin ke Al-Qur`an betapa banyak ayat-ayat yang menganjurkan dan mendorang untuk mendayagunakan akal.
Sebenarnya, banyak sekali peristiwa dan kejadian di luar diri kita yang perlu dinalar, dianalisa, dihikmahi, diarifi, namun kita juga tak terlalu serius dalam menyikapi dan menghadapinya.
Peristiwa itu datang tidak membuat kita terangsang untuk berpikir. Malah kalau menurut istilah Arab sebagai: mururul kiram (cepat landas tak berbekas) hanya sliweran saja tidak membuat kita arif dan bijaksana.
Makanya jangan heran orang di luar kita yang sudah jauh melangkahkan kakinya menuju pencapaian-pencapain monumental dan bertaraf internasional. Itu karena mereka lulus dalam mengoptimalkan fungsi akalnya dengan baik dan brilian.
Apakah kita tidak tergugah dengan pernyataan yang melecut jiwa kita: fabiayyi alaa`i Rabbikuma tukadzzibaan (dari nikmat Tuhan-mu yang mana lagi yang akan kamu dustakan). Ketika para jin mendengar ayat tersebut, langsung tergugah dan menjawabnya dengan penuh antusias. Sampai-sampai Rasul mengatakan jawaban jin lebih baik daripada manusia mengenai komentar ayat tersebut.
Demikian juga kalau kita kembangkan lebih jauh: Kita punya mata tapi tak kita pergunakan untuk menyerap informasi dari luar diri kita untuk dijadikan pengetahuan yang berisi hikmah sehingga membuat kesadaran radikal dalam hati kita.
Mata kita tak mampu melihat gejala-gejala diluar kita untuk dijadikan obyek tafakkur dan tadabbur.
Kita hanya menggunakannya untuk main-main, nonton hal-hal yang sebenarnya tidak mendukung kelulusan kita sebagai manusia bahkan semua itu tidak akan kita bawa mati.
Kita punya telinga, tapi tak mau mendengarkan yang baik-baik; kita punya tangan, kaki, tapi tak benar-benar digunakan untuk kepentingan yang membuat kita semakin dewasa dan arif dalam menilai kehidupan yang sementara ini. Bahkan kita punya hati, tapi hati sudah mengalami kerusakan fungsi.
Hati sebagai raja yang mengontrol jiwa dan raga sudah tak mempunyai pengaruh. Komando sudah dipegang oleh nafsu dan syahwat yang sangat dekat dan identik dengan langkah-langkah setan.
Coba bayangkan jika akhirnya semua itu dicabut dari kita semua. Apakah kita akan pilu menyesal seperti orang kafir di akhirat yang mengatakan:ya laitani kuntu turooba (andai saja aku jadi tanah saja). Ya laitani qoddamtu lihayaati (Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini)”.
Padahal, itu adalah harapan yang mustahil. Bagai memasukkan gajah melalu lubang jarum, sindir Al-Qur`an. Apakah kita mau mengikuti jejak kaum Nuh, Aad, Tsamuud, Madyan, Fir`aun dan lain sebagainya yang mengukir pelajaran penyesalan ketika sudah terlambat dan mustahil? Tentu saja jawaban ideal kita mengatakan tidak.
BACA JUGA: Musibah dan Muhasabah
Dalam hati kita sebenarnya masih ada potensi nafsu lawwamah (nafsu yang mengkritisi setiap apa yang kita lakukan), apalagi nafsu muthmainnah (nafsu yang berada pada level tenang dan menenangkan), tapi kalau yang hidup dan dominan malah nafsu ammarah bissu` yang selalu dominan mendorong pada tindakan dan perilaku negatif maka kita telah mengubur harapan kita sendiri menuju perubahan yang berarti.
Dan yang kita jalani saat ini, yang kita rasakan, yang kita bangga-banggakan masih berada taraf ketidaksadaran yang supra dahsyat.
Butuh berapa tahunkah kita mau merubah diri? Butuh berapa lamakah kita mau memperbaiki diri?
Apakah kita pasrah dan setuju dengan ungkapan malaikat yang menyatakan: Kenapa Engkau menciptakan makhluk yang kerjaanya hanya menumpahkan darah dan membuat kerusakan di muka bumi? Mungkin kita akan menjawab tidak. Tapi laku kita mengiyakannya. []