SETIAP diri pernah melakukan banyak kesalahan, dosa, dan berbagai kehilafan. Banyak di setiap hari, detik dalam hidup kita pergunakan dengan hal yang tidak bermanfaat. Padahal, hidup ini merupakan rezeki yang amat luar bisa, tetapi kita sering mengingkarinya.
Tatkala kita berbuat dosa, maka bertaubatlah, dengan bertaubat tetapi tidak untuk diulangi lagi. Alangkah baiknya sebelum kita bertaubat maka lakukanlah muhasabah diri, menyadari semua kesalahan diri. Karena, mendahulukan muhasabah akan menjadi lebih baik.
Kalaupun mendahulukannya juga tidak apa-apa, karena muhasabah tak bisa dilakukan kecuali setelah ada taubat yang sebenarnya. Yang pasti, taubat itu ada di antara dua muhasabah, yaitu muhasabah sebelum taubat yang hukumnya wajib dan muhasabah sesudah taubat yang hukumnya harus tetap dijaga.
BACA JUGA:Â Kisah Taubatnya Seorang Penari Terkenal Mesir
Taubat akan tetap terjaga jika berada di antara dua muhasabah ini, sebagaimana yang ditunjukkan firman Allah SWT, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat),” (QS. Al-Hasyr: 18).
Maksud “memperhatikan” dalam ayat ini ialah memperhatikan kelengkapan persiapan untuk menyongsong hari akhirat, mendahulukan apa yang bisa menyelamatkannya dari siksa Allah, agar wajahnya menjadi bersih di sisi Allah.
Umar bin Al-Khaththab pernah berkata, “Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab. Timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang dan berhiaslah kalian untuk menghadapi hari penampakan yang agung.” Menurut Abu Isma’il, pengarang Manalizus-Sa’irin, ada tiga pilar yang menopang muhasabah, yaitu:
1. Membandingkan antara nikmat Allah dan kejahatanmu
Maksudnya, engkau harus membandingkan apa yang berasal dari Allah dan apa yang berasal dari dirimu. Dengan begitu engkau akan mengetahui letak ketimpangannya, dan engkau juga akan mengetahui bahwa di sana hanya ada ampunan dan rahmat Allah di satu sisi, dan disisi lain adalah kehancuran dan kerusakan.
Dengan membandingkan seperti ini engkau bisa mengetahui bahwa Allah adalah Allah dalam pengertian yang sebenarnya, dan hamba adalah hamba dalam pengertian yang sebenarnya.
Engkau juga akan mengetahui hakikat jiwa dan sifat-sifatnya, keagungan Rububiyah Allah, hanya Allahlah yang memiliki kesempumaan, setiap nikmat berasal dari-Nya sebagai karunia, dan siksaan juga berasal dari-Nya yang ditimpakan secara adil.
Jika engkau tidak membuat perbandingan seperti ini, tentu engkau tidak akan bisa mengetahui hakikat dirimu sendiri dan Rububiyah Pencipta jiwamu. Jika engkau membuat perbandingan seperti ini, maka engkau akan tahu bahwa jiwamu adalah sumber segala kejahatan dan kekurangan.
BACA JUGA:Â Hukum Taubat dan Permasalahannya (1)
Sedangkan hukum yang dimilikinya adalah kebodohan dan kezhaliman. Andaikan tidak karena karunia Allah dan rahmat-Nya yang mensucikan jiwa itu, tentu ia tidak akan menjadi suci sama sekali.
Kemudian engkau juga bisa membandingkan antara kebaikan dan keburukan. Sehingga dengan membandingkan ini engkau bisa mengetahui mana yang lebih banyak dan mana yang lebih dominan di antara keduanya.
Perbandingan yang kedua ini merupakan perbandingan antara perbuatanmu dan apa yang datang dari dirimu secara khusus.
Seseorang tidak bisa membuat perbandingan ini jika dia tidak memiliki tiga indikator:
1. Cahaya hikmah
2. Buruk sangka terhadap did sendiri
3. Membedakan antara nikmat dan ujian.
Cahaya hikmah merupakan cahaya yang disusupkan Allah ke dalam hati orang-orang yang mengikuti para rasul. Dengan kata lain, cahaya hikmah adalah ilmu yang dimiliki seseorang sehingga dia bisa membedakan antara yang haq dan batil, petunjuk dan kesesatan, mudharat dan manfaat, yang sempurna dan yang kurang, yang baik dan yang buruk.
Dengan cahaya hikmah ini seseorang bisa melihat tingkatan-tingkatan amal, mana yang harus dipentingkan dan mana yang tidak dipenting-kan, mana yang harus diterima dan mana yang ditolak. Jika cahaya ini kuat, maka muhasabah juga akan kuat dan sempurna.
BACA JUGA:Â Hukum Taubat dan Permasalahannya (2-Habis)
Buruk sangka terhadap diri sendiri amat diperlukan, sebab baik sangka terhadap diri sendiri akan menghalangi koreksi dan kerancuan, sehingga dia melihat keburukan sebagai kebaikan, aib sebagai kesempurnaan.
Membedakan nikmat dari ujian, artinya membedakan nikmat yang dilihatnya sebagai kebaikan dan kasih sayang Allah serta yang bisa membawanya kepada kenik-matan yang abadi, dan membedakannya dengan nikmat yang hanya sekedar sebagai tipuan.
Sebab berapa banyak orang yang tertipu dengan nikmat, sementara dia tidak menyadarinya, tertipu oleh pujian orang-orang bodoh, terpedaya oleh limpahan Allah, dan justru kebanyakan manusia termasuk dalam kelompok yang kedua ini. []
Referensi: E-book Madarijus Salikin (Pendakian Menuju Allah)/Ibnu Qayyim Al-Jauziyah/Pustaka Al-Kautsar/1999