TIGA indikator ini merupakan tanda kebahagiaan dan keselamatan. Jika tiga hal ini dilaksanakan secara sempurna, maka seseorang bisa mengetahui nikmat Allah yang sebenarnya.
Selain itu ada ujian yang berupa nikmat atau cobaan berupa limpahan pemberian. Maka hendaklah setiap orang mewaspadai hal ini, sebab dia berada di antara anugerah dan hujjah, dan banyak orang yang timpang dalam membedakan dua hal ini.
2. Membedakan antara bagian dan kewajiban
Harus ada pemilahan antara hak-hak yang harus engkau penuhi, seperti kewajiban-kewajiban ibadah, ketaatan dan menjauhi kedurhakaan, dan hak yang menjadi bagianmu.
BACA JUGA:Â Taubat Tak Diterima, Mengapa? (1)
Apa yang menjadi bagianmu adalah mubah menurut ketetapan syariat, dan apa yang menjadi kewajibanmu harus engkau penuhi dan engkau harus memberikan hak kepada siapa pun yang
berhak menerimanya.
Banyak orang yang mencampur aduk antara kewajiban dan haknya, sehingga dia sendiri menjadi kebingungan antara mengerjakan dan meninggalkan.
Banyak orang yang sebenarnya dia boleh mengerjakan sesuatu namun dia justru meninggalkannya, seperti orang yang raj in beribadah dengan meninggalkan apa yang sebenarnya boleh dia kerja-kan, seperti meninggalkan hal-hal yang mubah, karena dia mengira bah-wa hal itu tidak boleh dia kerjakan.
Begitu pula sebaliknya, orang yang rajin beribadah dengan mengerjakan sesuatu yang sebenarnya harus dia tinggalkan, karena dia mengira hal itu merupakan haknya.
Yang pertama seperti orang yang rajin beribadah dengan tidak mau menikah, tidak mau memakan daging, buah-buah, makanan yang lezat dan pakaian yang bagus.
Karena kebodohannya dia mengira bahwa semua itu merupakan larangan baginya, sehingga dia harus meninggalkannya, atau dia berpendapat bahwa dengan meninggalkannya akan membuat ibadahnya bertambah afdhal.
Dalam Ash-Shahih disebutkan pengingkaran Nabi SAW terhadap beberapa shahabat yang tidak mau menikahi wanita, terus-menerus berpuasa dan shalat malam. Yang kedua seperti orang yang rajin beribadah, namun bid’ah. Dia melihat cara ibadahnya itu benar, karena begitulah yang banyak dilaku-kan orang.
3. Tidak ridha terhadap ketaatan yang dilakukan
Engkau harus tahu bahwa setiap ketaatan yang engkau ridhai, akan menjadi beban dosa bagimu, dan setiap kedurhakaan yang dituduhkan saudaramu kepadamu, maka terimalah tuduhan itu dan anggaplah bahwa memang itulah yang benar.
Sebab keridhaan seorang hamba terhadap ketaatan dirinya merupakan bukti baik sangka terhadap diri sendiri dan kebodohannya terhadap hak-hak ubudiyah serta tidak tahu apa yang dituntut Allah darinya, lalu akhirnya melahirkan takabur dan ujub, yang dosanya lebih besar dari dosa-dosa besar yang nyata, seperti zina, minum khamr, lari dari medan peperangan dan lain-lainnya.
Orang-orang yang memiliki bashirah justru lebih meningkatkan istighfar setelah mengerjakan berbagai macam ketaatan, karena mereka menyadari keterbatasannya dalam melaksanakan ketaatan itu dan merasa belum memenuhi hak-hak Allah sesuai dengan keagungan-Nya.
BACA JUGA:Â Taubat Tak Diterima, Mengapa? (2-Habis)
Allah juga memerintahkan agar Rasulullah SAW senantiasa memohon ampunan dalam setiap kesempatan dan sehabis melaksanakan tugas-tugas risalah atau setelah melaksanakan suatu ibadah. Dalam surat terakhir yang diturunkan, Allah juga tetap memerintahkan beliau untuk memohon ampunan,
“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima taubat,” (QS. An-Nashr: 1-3).
Maka Umar bin Al-Khaththab dan Ibnu Abbas memahami turunnya surat ini sebagai isyarat telah dekatnya ajal beliau. Seakan-akan Allah hendak memberitahukan hal ini kepada beliau, dengan memerintahkan agar beliau memohon ampunan sehabis mengerjakan setiap tugas.
Dengan kata lain, surat ini semacam pemberitahuan: Engkau telah rampung mengerjakan kewajibanmu dan tidak ada lagi kewajiban yang menyisa setelah itu. Maka jadikanlah istighfar sebagai kesudahannya.
Taubat sebagai persinggahan pertama dan terakhir. Jika seorang hamba sudah berada di persinggahan muhasabah ini secara benar, maka ada persinggahan lain, yaitu taubat.
Dengan muhasabah dia bisa membedakan mana yang menjadi haknya dan mana yang menjadi kewajibannya. Maka selanjutnya dia harus tetap membulatkan tekad dan ambisi dalam melanjutkan perjalanan menuju Allah sampai akhir hayatnya.
Taubat merupakan awal persinggahan, pertengahan dan akhirnya. Seorang hamba yang sedang mengadakan perjalanan kepada Allah tidak pernah lepas dari taubat, sampai ajal menjemputnya. Sekalipun dia ber-alih ke persinggahan yang lain dan melanjutkan perjalanannya, taubat selalu menyertainya.
Taubat merupakan permulaan langkah hamba dan kesudahannya. Kebutuhannya terhadap taubat amat penting dan mendesak, tak berbeda dengan permulaannya.
BACA JUGA:Â Kisah Ahli Maksiat yang Bertaubat dan Menjadi Ahli Surga
Allah befirman, “Dan, bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kalian beruntung,” (QS. An-Nur: 31).
Ayat ini turun di Madinah. Di sini Allah mengarahkan firman-Nya kepada orang-orang yang beriman dan orang-orang pilihan-Nya, agar mereka bertaubat, setelah mereka beriman, bersabar, berjihad dan berhijrah.
Bahkan Allah mengaitkan keberuntungan dengan satu sebab, dan juga menggunakan kata “supaya”, yang mengindikasikan pengharapan. Dengan kata lain, jika kalian bertaubat, maka diharapkan kalian akan beruntung. []
Referensi: E-book Madarijus Salikin (Pendakian Menuju Allah)/Ibnu Qayyim Al-Jauziyah/Pustaka Al-Kautsar/1999