JAKARTA–Majelis Ulama Indonesia telah menyatakan bahwa vaksin Covid-19 Sinovac yang diproduksi Sinovac Lifescience China dan diajukan Biofarma, hukumnya suci dan halal. Akan tetapi, soal kebolehan dan ketayiban vaksinasinya, dikembalikan pada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Keputusan tersebut diambil melalui sidang tertutup Komisi Fatwa MUI di Jakarta, Jumat (8/1/2021). Hasil sidang dibacakan secara langsung oleh Ketua MUI Bidang Fatwa KH Asrorun Ni’am Sholeh didampingi Ketua Komisi Fatwa MUI, Prof Hasanuddin AF, dan Direktur LPPOM MUI, Ir Muti Arintawati, MSi.
“Yang terkait aspek kehalalan, setelah dilakukan diskusi panjang penjelasan auditor, rapat Komisi Fatwa menyepakati bahwa vaksin Covid-19 yang diproduksi Sinovac Lifescience Co yang sertifikasinya diajukan Biofarma suci dan halal,” ujar Ketua MUI Bidang Fatwa KH. Asrorun Niam Sholeh, Jumat (08/01/21) di Hotel Sultan, Jakarta, sebagaimana dikutip dari laman resmi MUI.
BACA JUGA: Ini 6 Jenis Vaksin Covid-19 yang Resmi Digunakan di Indonesia
Sidang Komisi Fatwa MUI dilakukan setelah mendengarkan laporan dari dua orang auditor yang telah melakukan audit langsung ke tempat pembuatan vaksin Sinovac di China.
Dua auditor yang terbang ke China itu merupakan perwakilan dari LPPOM MUI yang kualifikasinya seorang saintis dan perwakilan dari Komisi Fatwa seorang yang ahli di bidang hukum Islam.
Menurut KH Asrorun Niam, meskipun sudah halal dan suci, fatwa MUI belum final karena masih menunggu keputusan BPOM terkait keamanan (safety), kualitas (quality), dan kemanjuran (efficacy).
“Akan tetapi, terkait kebolehan penggunaannya, ini sangat terkait dengan keputusan mengenai aspek keamanan, kualitas, dan efficacy BPOM. Ini akan menunggu hasil final ketayibannya. Fatwa utuhnya akan disampaikan setelah BPOM menyampaikan mengenai aspek keamanan untuk digunakan, apakah aman atau tidak, maka fatwa akan melihat,” ujar KH. Asrorun Niam.
Dikutip dari Republika, Jumat (8/1/2021), Ketua MUI Bidang Halal dan Ekonomi Syariah, KH Sholahudin Al-Aiyubi, menjelaskan, selama ini di komisi fatwa sudah ada aturan baku (manhaj) yang digunakan dalam penetapan produk halal.
Dia menjelaskan, dalam penetapan kehalalan produk obat atau vaksin, biasanya sangat tergantung pada kandungan media yang digunakan memproduksi obat atau vaksin tersebut. Kandungan media tersebut bisa berasal dari bahan yang najis dan ada yang tidak. Yang berbahan najis juga ada yang berbahan turunan babi dan bahan najis lainnya.
BACA JUGA: Vaksin Covid-19, Pfizer Temuan Ilmuwan Muslim Dinyatakan Halal oleh Ulama Inggris
Menurut dia, standar yang diterapkan komisi fatwa MUI selama ini, jika kandungan media berasal dari najis babi atau turunannya maka terkena kaidah intifa’ (pemanfaatan bahan dari babi) dan itu merupakan larangan dan menyebabkan produk tersebut dinyatakan tidak halal, meskipun di dalam produk akhir vaksin tersebut tidak terdeteksi kandungan bahan dari babi tersebut.
“Sekalipun setelah melalui proses purifikasi dinyatakan zero percent, tetap tidak diperbolehkan dan hasil akhirnya tetap dihukumi najis hukmi. Pendapat ini mengacu pada pendapat mayoritas ulama,” ujar KH Sholahudin Al-Aiyubi.
Sedangkan, jika media produksi menggunakan bahan najis selain babi, seperti bangkai kera atau benda najis lainnya maka terkena kaidah ikhtilath (atau percampuran).
Berbeda dengan kaidah intifa’, produk yang masuk dalam kategori ikhtilath bisa divonis hukumnya setelah melalui proses pencucian secara syari dan sains. “Nah, berdasarkan kajian syari dan sains, vaksin Sinovac produksi China tidak mengandung unsur babi,” ujar dia. []
SUMBER: MUI | REPUBLIKA