JAKARTA–Majelis Ulama Indonesia (MUI) ikut menanggapi gugatan terhadap larangan perkawinan antar teman sekantor ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sebelumnya pengaturan terkait dengan hal tersebut diatur dalam Pasal 153 Ayat 1 huruf f UU No. 3 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Pasal itu berbunyi, “Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja atau buruh mempunyai pertalian darah dan atau ikatan perkawinan dengan pekerja atau buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama.”
Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid Saadi berpendapat ketentuan tersebut merupakan pasal karet yang semangatnya tidak memberikan perlindungan kepada pekerja atau buruh melainkan lebih berpihak kepada pemilik perusahaan.
Karena di dalam pengaturan pasal tersebut seolah-olah memberikan perlindungan terhadap pekerja atau buruh yang memiliki pertalian darah dan atau ikatan perkawinan dengan pekerja atau buruh lainnya di dalam satu perusahaan.
“Tetapi semua itu dimentahkan kembali dengan adanya ketentuan pengecualian melalui perjanjian kerja atau kontrak kerja yang dituangkan dalam peraturan perusahaan, maka ketentuan dalam pasal 153 tersebut di atas menjadi batal,” ujarnya, Jumat (19/5/2017).
Alhasil, perjanjian kerja atau kontrak kerja lah yang pada akhirnya menentukan boleh atau tidaknya seorang pekerja atau buruh yang memiliki ikatan pernikahan dengan teman sekantornya itu bekerja dalam satu tempat pekerjaan.
Sedangkan dari segi agama, kata Zainut, tidak ada larangan menikah dengan teman sekantor sepanjang syarat dan rukun pernikahannya terpenuhi dan keduanya tidak ada hubungan nasab yang mengharamkan atau melarangnya.
Dia mengatakan apabila ingin diteliti lebih jauh pengaturan dalam UU No 3 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan khusus pasal 153 ayat 1 huruf f itu sebenarnya bukan mengatur larangan pada aspek pernikahan, tetapi lebih pada hubungan kerjanya.
“Jadi mohon kepada masyarakat untuk bisa mendudukkan permasalahan biar tidak ada kesalahpahaman,” katanya.
Meskipun demikian MUI menilai bahwa UU ini berpotensi untuk digugat di MK karena diduga bertentangan dengan konstitusi yaitu terkait dengan pasal 27 dan pasal 28 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan dan hak untuk melangsungkan pernikahan.
Untuk itu MUI mempersilakan kelompok masyarakat untuk mengajukan uji materi ke MK sebagai wujud kepedulian terhadap nasib para pekerja atau buruh dan sekaligus sebagai bentuk kesadarannya terhadap hukum. []
Sumber: Republika